news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pada Hari Tani, Pak Tani Malah Enggan Anaknya Jadi Petani

Konten Media Partner
24 September 2021 13:07 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tri Kuntadi, petani Bantul sedang bekerja di sawahnya. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Tri Kuntadi, petani Bantul sedang bekerja di sawahnya. Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
“Enggak mau, saya kerja tiap hari di sawah dari pagi sampai sore ya biar anak saya enggak jadi petani seperti saya,” kata Tri Kuntadi, 47 tahun, petani asal Desa Potorono, Banguntapan, Bantul menjawab pertanyaan untuk Hari Tani 24 September, apakah akan mewariskan keahliannya bertani ke anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
Sinar kuning menerpa wajahnya yang basah oleh butir-butir keringat. Hari memang sudah menjelang maghrib, tapi Tri Kuntadi masih sibuk mengurus lahannya yang luasnya sekitar 2.000 meter. Lahan itu adalah lahan keluarga yang diwariskan secara turun temurun.
“Saya saja terpaksa jadi petani karena memang enggak ada pilihan lain,” lanjutnya.
Kuntadi memiliki dua anak, yang satu sudah duduk di bangku SMP, dan yang bungsu masih duduk di bangku SD. Banyak alasan yang membuatnya tak rela jika dua anaknya jadi petani, dan alasan paling kuat adalah karena bagi dia jadi petani tak ada enak-enaknya.
Sekarang, cari lahan susah, pupuk langka, setiap hari harus bergulat di sawah bersama lumpur dan teriknya matahari. Giliran panen, harganya malah anjlok.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya enggak pernah untung jadi petani itu,” ujarnya.
Alasannya masih bertani sederhana, sekaligus rumit: tak ada alternatif yang lebih bisa menjamin kesejahteraan keluarganya. Sebagai lulusan SMP, dia merasa tak punya keterampilan lain selain bertani yang sudah diajarkan sejak kecil oleh orangtuanya.
Dia memang tak pernah berharap dapat untung dari lahan yang dia tanami padi. Sudah bisa mencukupi kebutuhan pangan keluarga saja, syukur. Untuk mencukupi kebutuhan lainnya, dia harus kerja serabutan seperti mengolah lahan orang lain atau jadi kuli bangunan. Apapun asal dapurnya tetap mengebul dan anak bisa sekolah.
“Kalau kondisinya masih kayak gini saya yakin enggak ada yang rela anaknya jadi petani. Saya sendiri lebih milih anak saya jadi PNS yang sudah terjamin,” kata Tri Kuntadi.
ADVERTISEMENT
Butuh Jaminan Harga Jual
Nugroho, petani Sleman, memetik timun di kebun pertaniannya. Foto: Widi Erha Pradana
Di sebuah lahan pertanian seluas 5.000 meter di Berbah, Sleman, Nugroho, 55 tahun sedang sibuk mengurus tanaman kacang panjang yang baru semingguan ditanam. Di lahannya juga ada tanaman timun yang saat ini sudah mulai dia panen. Dia memang lebih memilih menanam hortikultura ketimbang padi, sebab baginya menanam padi jika hanya punya lahan beberapa meter tak akan pernah untung.
Sama dengan Tri Kuntadi, Nugroho juga tak rela jika nantinya anaknya jadi petani. Karena itu, dia berusaha sekuat tenaga supaya dua anaknya bisa mengenyam pendidikan setinggi mungkin, dengan harapan bisa mendapatkan bekal untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Anak pertamanya sudah lulus dari Agribisnis UNS, dan kini sudah bekerja di bagian manajemen sebuah perusahaan apotek. Sedangkan anak keduanya kini sedang menempuh S2 Pariwisata di UGM.
ADVERTISEMENT
“Saya pribadi inginnya anak jadi pengusaha, kalau untuk pertanian saat ini belum saya rekomendasikan,” kata Nugroho.
Menurutnya, kebijakan pemerintah saat ini belum berpihak pada petani, terutama soal urusan jaminan harga jual komoditas pertanian. Seperti yang belum lama terjadi beberapa waktu silam, ketika harga cabai anjlok sampai pada harga Rp 6 ribu per kilogram. Padahal untuk bisa untung, minimal harganya Rp 40 ribu per kilogram.
Hal ini bertolak belakang ketika harga cabai naik, pemerintah berusaha dengan cara apapun untuk menurunkan harganya, misalnya dengan membuka keran impor. Tapi ketika harga anjlok seperti kemarin, Nugroho merasa pemerintah tak hadir untuk petani. Tak adanya jaminan harga jual itulah yang membuat Nugroho tak berani, sekaligus tak tega menyuruh anaknya untuk bertani.
ADVERTISEMENT
“Kalau kita suruh mereka ke usaha yang enggak ada jaminan, apa enggak bodoh saya jadi orangtua? Kan cuma menyengsarakan anak,” lanjutnya.
Selain itu, sebagai petani dia juga merasa tak punya kekuatan apapun. Dalam rantai bisnis pangan, petani adalah seorang produsen. Tapi, petani adalah satu-satunya produsen yang tidak bisa menentukan harga. Normalnya, ketika seseorang akan membeli sesuatu, maka mereka akan menanyakan harga pada penjual atau pemilik produknya.
“Tapi saya malah tanya sama tengkulak yang mau beli, kan lucu. Saya yang mau jual malah tanya harga sama yang mau beli,” ujarnya
Petani Adalah Pejudi yang Paling Nekat
Nugroho, petani Sleman, memetik timun di kebun pertaniannya. Foto: Widi Erha Pradana
Tidak adanya jaminan harga membuat petani hanya bisa berjudi. Itu juga yang dilakukan oleh Nugroho, dia mencoba spekulasi untuk menanam berbagai jenis komoditas tanaman mulai dari timun, kacang panjang, cabai, sampai sawi. Mana yang sekiranya menguntungkan, dia tanam. Meskipun dia tahu, hasilnya akan sama saja.
ADVERTISEMENT
“Jadi gambling saja isinya,” kata Nugroho.
Baginya, menjadi seorang petani adalah menjadi pejudi yang paling nekat. Pasalnya, sudah tahu bakal rugi tapi tetap saja jadi petani. Lebih nekat ketimbang tukang judi beneran, karena bagaimanapun mereka masih punya kemungkinan untuk menang banyak.
“Karena itu, berjudilah dengan strategi yang bagus,” lanjutnya.
Makanya, jaminan harga menurutnya perlu ada supaya para petani tidak selamanya berjudi. Setiap komoditas pertanian mesti ada harga minimum, sehingga petani tak bisa lagi dipermainkan setiap musim panen tiba. Dan harga minimum itu harus ada di atas biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani. Ketika nanti harga pasar ada di bawah harga minimum tersebut, maka pemerintah punya tanggung jawab untuk menyubsidi sehingga harga jual dari petani bisa tetap di atas harga minimum, atau setidaknya sama.
ADVERTISEMENT
“Petani enggak butuh subsidi pupuk, butuhnya subsidi harga jual. Kalau sudah ada jaminan harga, tanpa disuruh anak-anak muda juga bakal mau bertani,” kata Nugroho.
Saya Dukung Jadi Petani, Tapi Jangan Petani Kayak Saya
Toni Hartono. Foto: Widi Erha Pradana
Di lahan yang berbeda, Toni Hartono, 57 tahun, sedang sibuk membajak lahan milik orang lain. Dia sebenarnya punya lahan sendiri sekitar 5.000 meter yang mayoritas dia tanami padi. Tapi karena butuh penghasilan tambahan untuk hidup sehari-hari dan menyekolahkan anaknya, dia harus mencari tambahan dari pekerjaan lain.
Berbeda dengan Tri Kuntadi dan Nugroho, Toni justru akan mendukung jika ada anaknya yang mau jadi petani, sebab dia memang sudah jatuh cinta pada dunia pertanian.
“Saya dukung kalau mau jadi petani, tapi jangan petani kayak saya,” ujar Toni.
ADVERTISEMENT
Selama puluhan tahun Toni jadi petani, satu-satunya alasan dia bertahan adalah rasa cintanya pada tanaman. Sebab, jika alasannya adalah cari untung, isinya hanya kekecewaan demi kekecewaan. Dia pernah sampai menjual sapinya untuk membayar kerugian karena gagal panen ketika menanam melon. Yang paling baru, dia juga merugi gegara menanam bawang merah, dari modal sebesar Rp 12 juta yang dia keluarkan, hasil panennya hanya sebesar Rp 6 juta.
Toni Hartono. Foto: Widi Erha Pradana
Sebenarnya menurut dia masih banyak peluang yang bisa digali di dunia pertanian, hanya saja saat ini kendala utama yang dihadapi petani adalah keterbatasan lahan. Sempitnya lahan yang dimiliki membuat petani tak mampu menghasilkan minimal jumlah produksi yang mestinya dihasilkan supaya tidak merugi.
“Makanya kalau mau jadi petani, ya jangan di sini. Cari di luar Jawa yang lahannya masih luas,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Jika memaksakan bertani dengan lahan yang terbatas itu, jangankan dapat untung, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sering kurang. Karena itu, walaupun seorang petani padi, Toni masih sering beli beras karena hasil panennya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sampai musim panen berikutnya.
Memang kurang masuk akal, jika tidak untung bagaimana petani bisa terus membeli bibit dan pupuk untuk musim tanam berikutnya? Menurut Toni, itulah ketangguhan sekaligus kecerdasan seorang petani. Hampir tak ada petani yang tidak punya pekerjaan sampingan, mereka terpaksa ‘selingkuh’ dengan profesi lain seperti beternak, jadi buruh bangunan, atau apapun yang bisa mereka kerjakan. Tapi di sisi lain, ini juga yang membuat hasil pertanian mereka jadi tidak optimal.
“Orang enggak fokus gimana mau maju? Tapi kalau enggak ‘selingkuh’, ya enggak bisa nanam lagi besoknya,” kata Toni Hartono.
ADVERTISEMENT