Pakar: Ekspor Monyet Biomedis Tak Segampang Itu

Konten Media Partner
27 Januari 2022 17:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, Pudji Astuti, mengingatkan bahwa ada banyak syarat untuk bisa mengekspor monyet ekor panjang.
Ilustrasi monyet ekor panjang. Foto: Pixabay
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DIY berencana mengusulkan penambahan kuota ekspor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) untuk dimanfaatkan dalam riset biomedis karena semakin besarnya populasi di kawasan DIY.
ADVERTISEMENT
Tahun sebelumnya, DIY juga telah mengekspor monyet ekor panjang sekitar 300 ekor melalui CV Primaco, namun jumlah itu dinilai masih terlalu kecil sehingga perlu ditambah lagi kuotanya.
Rencana tersebut disambut positif oleh pakar primata yang juga Guru Gesar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, Pudji Astuti. Menurutnya, upaya ini memang bisa jadi salah satu solusi untuk mengatasi maraknya konflik yang terjadi antara monyet dengan penduduk di sejumlah wilayah DIY.
“Memang itu jadi salah satu solusi untuk pengurangan populasi, tapi syaratnya banyak,” kata Pudji Astuti ketika dihubungi, Selasa (25/1).
Pudji memaparkan ada beberapa hal yang mesti diperhatikan sebelum mengekspor monyet ke luar negeri. Yang pertama mesti dipastikan adalah monyet-monyet yang akan diekspor bebas dari penyakit atau patogen tertentu.
ADVERTISEMENT
Selain berpotensi menyebarkan zoonosis, biasanya pihak pengguna monyet sebagai model riset biomedis punya standar yang tinggi dan harus berasal dari penangkaran, bukan tangkapan dari hutan.
Karena itu, Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB harus mendirikan penangkaran monyet ekor panjang supaya dapat memenuhi standar sebagai model riset biomedis. Itupun belum semua monyet lolos skrining, ada saja monyet yang mengandung patogen tertentu sehingga tidak bisa digunakan untuk biomedis.
“Misalnya mau dipakai untuk riset TBC atau HIV, mereka enggak mau dong kalau ternyata monyetnya sudah ada HIV atau TBC-nya duluan. Jadi tidak sesederhana ditangkap lalu dijual,” lanjutnya.
Petugas dari BKSDA (kanan) bertemu dengan Kepala Desa dan warga Sriharjo, Imogiri, Bantul akhir tahun lalu. Foto: Istimewa
Apalagi saat itu PSSP juga menemui kendala lain saat akan mengirimkan monyet tersebut ke negara tujuan. Jarang maskapai penerbangan yang bersedia mengangkut monyet tersebut dengan alasan bau, risiko mati di jalan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
“Tapi ternyata tahun lalu Primaco juga sudah bisa ekspor, hebat juga, atau memang karena regulasinya sudah diperlonggar, perlu dipastikan lagi juga,” ujarnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah terkait animal welfare atau kesejahteraan monyet-monyet tersebut. Proses penangkapan, pengiriman, sampai penggunaan untuk model riset tidak boleh menyakiti atau menyiksa mereka.
Terakhir, pemerintah menurutnya juga harus memastikan bahwa populasi monyet ekor panjang di DIY memang sudah benar-benar melebihi kapasitas yang seharusnya. Sebab, seringkali populasi monyet terlihat membludak namun sebenarnya jumlahnya masih dalam batas aman. Hal ini terjadi karena habitat mereka yang semakin sempit, sehingga kepadatan populasinya seolah terlihat sangat tinggi.
“Jadi jangan hanya dilihat dari satu dua kasus, tapi harus secara menyeluruh, karena biasanya ledakan itu hanya terjadi di tempat-tempat tertentu saja. Harus ada sensus populasi untuk memastikan apa benar mereka sudah overpopulasi,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Selain mengekspornya untuk riset biomedis, cara lain yang bisa dilakukan menurutnya adalah dengan melakukan kastrasi atau kebiri pada alfa male, atau pejantan yang jadi ketua suatu koloni. Jika membutuhkan dana yang terlalu besar, bisa juga mengikat alfa male supaya tidak terus mengawini para betina. Sebab, satu pejantan alfa male bisa mengawini banyak betina dalam sehari sehingga reproduksinya bisa sangat cepat.
“Kalau alfa malenya diikat, nanti kan kebuntingan pada betina bisa ditekan, dan perlahan populasinya akan berkurang, jadi tidak dihabiskan, tapi dikelola,” ujarnya.
Jika sampai keliru dalam menghitung populasi, jumlah yang mestinya masih dalam kategori aman tapi dikatakan overpopulasi kemudian dilakukan pengurangan populasi, bukan tidak mungkin petaka yang akan datang. Bisa jadi nanti DIY akan kekurangan populasi monyet ekor panjang, yang kemudian akan mengganggu keseimbangan ekosistem.
ADVERTISEMENT
“Sebab bagaimanapun mereka (monyet) punya peran yang sangat penting di alam sebagai penyebar biji-bijian, jadi harus dihitung sungguh-sungguh apa benar overpopulasi,” kata Pudji Astuti. (Widi Erha Pradana / YK-1)