Pakar HI: Pemerintahan Johnson Bermasalah Sejak Awal Hingga Krisis Ekonomi Parah

Konten Media Partner
8 Juli 2022 16:58 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berbicara di Konferensi Perubahan Iklim PBB COP26 di Glasgow, Inggris. Foto: ANDY BUCHANAN/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berbicara di Konferensi Perubahan Iklim PBB COP26 di Glasgow, Inggris. Foto: ANDY BUCHANAN/AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perdana Menteri (PM) Inggris, Boris Johnson, mengumumkan bahwa dirinya tidak akan lagi menjadi Ketua Umum Partai Konservatif, yang artinya dia tidak akan lagi menjabat sebagai perdana menteri. Namun, dia akan tetap menjabat sebagai PM hingga pemimpin baru Partai Konservatif dilantik pada Oktober mendatang.
ADVERTISEMENT
Pengangkatan Chris Pincher sebagai Deputy Chief Whip meski terlibat skandal pelecehan seksual disebut-sebut menjadi penyebab mundurnya Johnson. Sebab, karena masalah itu, pemerintahan Inggris nyaris bubar karena 53 menteri dan pejabat kabinet mengundurkan diri.
Wakil Ketua Komunitas Indonesia untuk Kajian Eropa (KIKE), Paramitaningrum, mengatakan bahwa skandal pelecehan seksual sebenarnya hanya satu dari banyak penyebab mundurnya Johnson. Sejak awal terpilih sebagai PM Inggris pada 2019, pemerintahannya sudah diterpa berbagai masalah yang membuat kondisi kabinetnya kurang stabil.
“Tapi di luar skandal-skandal itu, Inggris juga mengalami krisis ekonomi yang serius di bawah kepemimpinan Johnson,” kata Paramitaningrum, yang juga dosen Hubungan Internasional dari Universitas Bina Nusantara, saat dihubungi Pandangan Jogja @Kumparan, Jumat (8/7).
Wakil Ketua Komunitas Indonesia untuk Kajian Eropa (KIKE), Paramitaningrum. Foto: Dok. Pribadi
Pada April 2022 kemarin, inflasi yang dialami Inggris tercatat mencapai 9 persen. Inflasi ini merupakan yang tertinggi di Inggris sejak 40 tahun terakhir. Hal ini mengakibatkan biaya hidup di negeri Ratu Elizabeth itu naik cukup signifikan.
ADVERTISEMENT
Di bawah kepemimpinan Johnson, Inggris juga sempat mengalami krisis energi yang serius. Krisis ini mengakibatkan harga bahan bakar minyak (BBM) melambung tinggi disertai permasalahan rantai pasokan kebutuhan.
Krisis BBM ini menurut Mita, sapaan Paramitaningrum, dianggap serius oleh parlemen dan publik Inggris karena menunjukkan bahwa selama ini ternyata kebutuhan BBM Inggris masih sangat bergantung pada perdagangan dengan Uni Eropa.
“Walaupun sebenarnya krisis itu terjadi karena kurangnya sumber daya manusia yang mengurusi transaksi ini, tapi itu ternyata berdampak serius untuk konsumen di Inggris, baik konsumen biasa maupun industri,” ujarnya.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh beberapa anggota kabinet Johnson yang menunjukkan perilaku tak layak. Misalnya pelanggaran aturan COVID-19 yang dilakukan oleh menteri kesehatannya, Matt Hancock.
ADVERTISEMENT
Permasalahan dan dinamika yang terjadi di dalam pemerintahan Inggris selama beberapa tahun terakhir menurut Mita juga telah melahirkan krisis kepercayaan dari rakyat Inggris terhadap pemerintahnya. Juni lalu, Johnson bahkan sempat mendapatkan mosi tidak percaya dari parlemen, meskipun mosi tidak percaya itu belum bisa memaksanya lengser sebagai PM.
Namun, posisinya ternyata tidak benar-benar aman, justru semakin rapuh terlebih setelah puluhan menteri dan pejabat kabinetnya mengundurkan diri, termasuk para pendukung setianya. Hal itu akhirnya membuat Johnson memutuskan untuk mundur sebagai pemimpin Partai Konservatif sekaligus sebagai PM Inggris pada Jumat (7/7).
“Jadi dinamika di dalam pemerintahan Inggris sebenarnya sudah sejak lama, bahkan sejak terpilihnya Johnson sebagai perdana menteri,” kata Paramitaningrum.
Keterangan redaksi: artikel ini mengalami perubahan judul setelah melalui diskusi kembali dengan narasumber setelah penerbitan artikel. Terimakasih dan mohon maaf.
ADVERTISEMENT