Konten Media Partner

Pakar Hukum UGM: Penolak Frasa 'Persetujuan Korban' Tak Anggap Penting Perempuan

10 November 2021 14:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto: Dokumentasi Sri Wiyanti Eddyono
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Dokumentasi Sri Wiyanti Eddyono
ADVERTISEMENT
Pakar Hukum Pidana UGM yang fokus mengawal isu kekerasan seksual di lingkungan kampus, Sri Wiyanti Eddyono mengatakan bahwa penolakan sejumlah kelompok masyarakat terhadap Permendikbud Ristek No 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi justru akan melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan. Penolakan terhadap istilah ‘persetujuan korban’ karena dianggap akan melegalkan seks bebas di lingkungan kampus, mencerminkan bahwa kelompok penolak Permen tersebut tidak menganggap penting perempuan.
ADVERTISEMENT
“Di mana mau melegalkan seks bebasnya? Itu kan konsepsi yang mendiskriminasi, tidak menganggap penting perempuan, sehingga izinnya perempuan tidak dianggap,” kata Sri Wiyanti Eddyono saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (9/11).
Di dalam sistem hukum pidana, persetujuan atau izin menurutnya adalah konsepsi yang paling mendasar. Dalam hukum pidana, prinsip persetujuan tersebut akan menggugurkan suatu perbuatan pidana. Misalnya, jika ada dua orang menyatakan persetujuan untuk melakukan pertarungan tinju, aksi kekerasan di dalamnya tidak lagi disebut sebagai perbuatan pidana. Namun, jika ada orang meninju orang lain tanpa izin atau persetujuan, maka tindakan itu akan masuk dalam tindak pidana penganiayaan.
Ilustrasi korban kekerasan seksual. Foto: Pixabay
Contoh lain misalnya seseorang meminta izin untuk mengambil buah rambutan kepada pemilik pohon dan diizinkan. Meskipun saat mengambil atau memetik tidak ada pemiliknya, maka perbuatannya tidak bisa disebut sebagai pencurian karena dia telah meminta izin dan diizinkan oleh pemiliknya. Berbeda jika dia belum meminta izin, maka apa yang dia lakukan adalah perbuatan pencurian.
ADVERTISEMENT
“Konsep izin menghilangkan konsep pencurian itu, konsep izin menghilangkan konsep penganiayaan itu, begitu juga di dalam konteks kasus kekerasan seksual,” ujarnya.
Lebih jauh, penolakan istilah ‘persetujuan korban’ menurut Sri Wiyanti sama saja menganggap bahwa perempuan tidak punya hak untuk memberi izin, sehingga izin atau persetujuan yang diberikan oleh perempuan dianggap tidak sah. Konsepsi ini menurutnya konsepsi yang diskriminatif yang akan melanggengkan perempuan sebagai objek seksual kaum laki-laki.
“Itu pandangan-pandangan yang sangat misoginis,” ujarnya.
Relasi Kuasa Masalah Utama Kekerasan Seksual di Kampus
Sri Wiyanti Eddyono. Foto: Dokumen Pribadi
Selain istilah ‘persetujuan korban’, istilah ‘relasi kuasa’ yang dipakai dalam permen tersebut juga dipersoalkan karena dianggap mensimplifikasi faktor penyebab kekerasan seksual. Namun, bagi Sri Wiyanti istilah tersebut sebenarnya bukan untuk mensimplifikasi faktor penyebab kekerasan seksual, namun karena kasus-kasus kekerasan seksual di dalam lingkungan kampus umumnya memang disebabkan karena faktor relasi kuasa.
ADVERTISEMENT
Ada dua jenis relasi kekuasaan yang bermain dalam kekerasan seksual di dalam kampus. Pertama relasi gender laki-laki dan perempuan, dimana seringkali kekerasan seksual dilakukan oleh laki-laki dengan memanfaatkan kelemahan perempuan dalam melakukan upaya-upaya kekerasan. Apalagi di dalam masyarakat saat ini posisi laki-laki masih dianggap lebih tinggi dan kuat ketimbang perempuan.
Relasi kuasa kedua adalah relasi yang memanfaatkan jabatan atau posisi tertentu di dalam struktur masyarakat kampus. Misalnya pelaku memanfaatkan posisinya sebagai senior korban, sebagai dosen, pembimbing, kepala jurusan, dekan, dan sebagainya yang secara struktur memiliki kekuatan yang lebih besar ketimbang korban. Karena itu, korban menjadi takut untuk melapor atau memproses kasus kekerasan seksual yang dia alami.
“Misal pelakunya dosen, korbannya mahasiswa, biasanya sesama dosen akan lebih melindungi pelaku ketimbang mahasiswa, sehingga korban disarankan untuk tidak memprosesnya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Relasi kekuasaan ini telah membuat kasus-kasus kekerasan seksual di dalam kampus menjadi tidak terekspos dan terus memakan korban. Karena itu, kampus menurutnya perlu pedoman atau panduan khusus untuk melakukan pemberantasan kekerasan seksual di lingkungannya. Dan Permendikbud Ristek No 30 tahun 2021 ini menurutnya adalah pedoman yang selama ini dibutuhkan untuk mengatasi masalah kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Sebenarnya, peraturan penanganan kekerasan seksual di tingkat kampus bukan sesuatu yang baru. Pada Oktober 2019, Kementerian Agama juga telah menerbitkan surat edaran penanganan kasus kekerasan seksual di dalam kampus. Namun, surat edaran tersebut hanya berlaku untuk kampus-kampus yang berada di bawah naungan Kemenag. Karena itu, diperlukan aturan yang lebih kuat dan memiliki jangkauan lebih luas, salah satunya melalui Permendikbud Ristek ini.
ADVERTISEMENT
“Sifatnya sedikit memaksa tidak apa-apa, karena kekerasan seksual itu sudah jelas memberikan dampak yang sangat besar bagi korban. Jadi tidak ada yang salah dengan aturan ini, dan memang ini yang kita butuhkan,” kat Sri Wiyanti Eddyono. (Widi Erha Pradana / YK-1)