Pakar Iklim UGM: Cuaca Panas di Yogya Tak Ada Hubungannya dengan Erupsi Merapi

Dalam beberapa hari terakhir, suhu di Yogya terasa lebih panas dari biasanya. Catatan BMKG, suhu maksimum di Yogya dalam tiga hari terakhir mencapai 33 derajat Celcius. Di saat bersamaan, pada Sabtu (11/3) kemarin, Gunung Merapi yang sudah berstatus siaga level 3 sejak 2020 silam mengalami erupsi.
Hal ini membuat banyak publik yang menghubungkan panasnya cuaca di Yogya berkaitan dengan Merapi yang sedang mengalami erupsi.
Namun, Pakar Iklim dan Bencana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Emilya Nurjani, menegaskan bahwa erupsi yang dialami Gunung Merapi tidak mempengaruhi cuaca di DIY. Artinya, suhu udara di wilayah DIY yang dalam beberapa hari terakhir cukup panas tidak ada hubungannya dengan erupsi Gunung Merapi.
“Kenaikan suhu di wilayah Jogja ini bukan karena erupsi Merapi, tetapi lebih karena fenomena urban heat island yang umum terjadi di wilayah perkotaan,” kata Emilya Nurjani di UGM, Senin (13/3).
Seperti diketahui Gunung Merapi mengalami erupsi pada Sabtu (11/3) kemarin. Awan panas guguran dari erupsi Gunung Merapi yang mengarah ke arah barat menyebabkan hujan abu di daerah Magelang, Wonosobo dan sekitarnya. Sementara itu, Yogyakarta tidak terdampak abu erupsi Merapi.

Dosen Departemen Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM ini menyebutkan bahwa guguran awan panas memang muncul hingga radius 7 Km. Meski begitu, ketinggian Gunung Merapi yang mencapai 2.900 Mdpl menyebabkan awan panas terbawa angin kencang dan berubah menjadi debu vulkanik tidak meningkatkan suhu secara signifikan.
“Proses erupsi Merapi tidak memengaruhi suhu. Namun, aerosol yang dihasilkan mungkin akan berpengaruh dalam menaikan maupun mengurangi suhu, tergantung angin,” ujarnya.
Erupsi yang terjadi di Gunung Merapi menurutnya memang sempat meningkatkan suhu di tingkat lokal kawasan Gunung Merapi dalam waktu yang tidak begitu lama. Kenaikan suhu terjadi tidak lebih dari 1 sampai 2 jam sehingga tidak banyak memengaruhi suhu udara di DIY dan sekitarnya.
“Debu vulkanik dari erupsi Merapi menutupi radiasi ke bumi sehingga panas yang akan dilepaskan ke atmosfer terganggu. Kondisi itu menyebabkan peningkatan suhu, tetapi tidak lama hanya 1-2 jam dan sangat lokal,” jelasnya.

Emilya menjelaskan bahwa minimnya dampak peningkatan suhu akibat erupsi Gunung Merapi, salah satunya dikarenakan Indonesia sebagai negara tropis dengan lapisan troposfer atau lapisan terendah atmosfer dengan ketebalan 18 Km. Hal ini menjadikan debu vulkanik di lapisan troposfer dapat langsung dilepaskan karena tidak masuk ke lapisan stratosfer atau lapisan kedua atmosfer Bumi.
Kondisi berbeda terjadi di negara-negara kawasan Eropa yang memiliki lapisan troposfer hanya 6 Km. Tipisnya lapisan troposfer menyebabkan debu vulkanik yang dihasilkan erupsi gunung di wilayah Eropa tidak hanya masuk ke lapisan troposfer, namun hingga lapisan stratosfer.
Emilya mencontohkan saat erupsi Gunung Eyjafjallajokull pada tahun 2010 silam. Debu vulkanik dari erupsi tersebut masuk hingga lapisan stratosfer yang berdampak pada iklim di kawasan Eropa.
“Debu vulkanik erupsi masuk sampai lapisan stratosfer dan terjerat disana. Dampaknya masih terasa sampai sekarang dimana musim dingin di Eropa lebih parah, begitupun saat musim panas menjadi sangat panas karena masih ada debu vulkanik di stratosfer. Kondisi ini berbeda dengan erupsi Merapi di tahun yang sama,” kata Emilya Nurjani.