Konten Media Partner

Pakar Sastra Jawa UGM Sebut Nusantara Bersifat Jawa-sentris, tapi Itu Dulu

18 Januari 2022 15:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Desain istana kepresidenan di ibu kota baru karya Nyoman Nuarta, yang sudah disetujui Presiden Jokowi Foto: Dok. Nyoman Nuarta
zoom-in-whitePerbesar
Desain istana kepresidenan di ibu kota baru karya Nyoman Nuarta, yang sudah disetujui Presiden Jokowi Foto: Dok. Nyoman Nuarta
ADVERTISEMENT
Pemerintah telah memilih Nusantara sebagai nama untuk Ibu Kota Indonesia yang baru kelak. Nama itu dipilih dari total 80 pilihan nama calon ibu kota negara baru yang diajukan oleh Bappenas. Namun, apakah istilah Nusantara tepat digunakan sebagai nama ibu kota negara yang baru?
ADVERTISEMENT
Dosen Sastra Jawa dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Rudy Wiratama, mengatakan bahwa istilah istilah Nusantara memang lahir dari kacamata masyarakat yang Jawa-sentris, dimana pusat kekuasaan berada di Jawa, yakni di Majapahit. Namun, seiring berjalannya waktu, istilah ini telah mengalami perubahan makna.
Secara etimologi, Nusantara berasal dari kata nusa dan antara, nusa berarti pulau sedangkan antara berarti jarak atau jauh. Selain Nusantara, istilah lain yang sering digunakan pada masa itu adalah Dwipantara, yang memiliki arti serupa, dimana dwipa juga berarti pulau. Keduanya populer digunakan pada masa Majapahit.
“Nusantara atau Dwipantara itu untuk menyebut pulau-pulau atau daratan-daratan yang berjarak dari pulau Jawa,” kata Rudy Wiratama, Selasa (18/1).
Pada saat itu, cara pandang orang-orang memang masih Jawa-sentris, bahwa pusat kekuasaan ada di Jawa, yakni di Majapahit. Tentu saja ini cara pandang orang Majapahit.
ADVERTISEMENT
Namun, pada masa setelah kebangkitan nasional, istilah Nusantara mengalami pergeseran makna. Istilah ini dimaknai sebagai satuan territorial dimana Jawa termasuk di dalamnya. Muhammad Yamin misalnya, mengatakan bahwa Nusantara merupakan wilayah Kepulauan Hindia Timur, yang kemudian bernama Indonesia. Ki Hadjar Dewantara juga pernah menghidupkan nama Nusantara sebagai nama alternatif pengganti Hindia Belanda setelah merdeka.
“Jadi Jawa kemudian jadi bagian dari Nusantara, bukan lagi untuk menyebut pulau-pulau yang berada di luar Jawa,” lanjutnya.
Narasi lain, misalnya yang ditulis oleh Jerry H. Bentley dkk dalam jurnal berjudul Seascapes: Maritime Histories, Littoral Cultures, and Transoceanic Exchanges yang diterbitkan tahun 2007 oleh University of Hawai’i Press, bahkan menyebutkan bahwa Nusantara berarti pulau lain di luar Jawa yang berada di luar pengaruh budaya Jawa tapi masih diklaim sebagai daerah taklukan, dimana para penguasanya harus membayar upeti.
ADVERTISEMENT
Namun menurut Rudy, istilah Nusantara tidak serta merta bisa dimaknai sebagai daerah taklukan. Menurutnya, itu adalah pemaknaan yang berangkat dari kacamata politik yang sampai sekarang masih diperdebatkan.
“Kalau secara etimologi, dari kacamata kesusastraan, tidak ada masalah,” lanjutnya.
Berkembangnya makna Nusantara, terutama setelah momen kebangkitan Nasional, menurut Rudy juga telah membuat istilah ini jadi relevan dengan konsep NKRI yang ada saat ini. Dimana Indonesia terdiri atas ribuan pulau yang kemudian disatukan melalui konsep NKRI.
Yang dibutuhkan saat ini menurut dia adalah penjelasan atau dasar argumen pemerintah memilih Nusantara jadi nama ibu kota negara yang baru. Sebab, dia yakin pemerintah pasti punya konsep dan visi misi di balik pemilihan nama tersebut.
“Apakah ingin mengembalikan kejayaan Nusantara di masa lalu? Apakah Nusantara di sini bermakna pulau-pulau yang berjarak dan dijadikan satu jadi NKRI, dimana sekarang tidak lagi Jawa-sentris tapi Indonesia-sentris? Itu tugas pemerintah untuk menjelaskannya secara filosofis dan konseptual,” ujar Rudy Wiratama. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT