Pandemi COVID Momentum Negara untuk Prioritaskan Pengembangan Mikrobiologi

Konten dari Pengguna
13 Mei 2020 19:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi laboratorium mikrobiologi. Foto : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi laboratorium mikrobiologi. Foto : Pixabay
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 telah memberikan pelajaran penting pada manusia, bahwa di dunia ini ada makhluk lain yang tak mampu kita lihat di kehidupan sehari-hari dengan mata telanjang. Makhluk itu ialah jasad supermikro yang tak tampak oleh mata telanjang namun mampu meluluhlantakkan hidup dan kehidupan manusia modern dengan segala kecanggihan IPTEK yang dimiliki.
ADVERTISEMENT
Direktur Research Center for Biotechnology UGM, Siti Subandiyah, mengatakan pascapandemi, ilmu-ilmu yang melibatkan mikrobiologi di dalamnya seperti Ilmu Penyakit Manusia, Penyakit Hewan, dan Penyakit Tumbuhan, serta semua ilmu pendukungnya seperti biologi, biokimia, biomolekuler, bioinformatika, dan sebagainya akan dianggap semakin penting.
“Itu (mikrobiologi) tidak bisa diremehkan, sangat dibutuhkan sehingga mudah-mudahan akan lebih mendapat perhatian dan diprioritaskan. Karena, satu jenis saja mikroba berulah sudah berakibat terhadap semua sendi kehidupan,” kata Siti Subandiyah ketika dihubungi pekan ini.
Diyah, panggilan akrab akademisi bergelar profesor ini mengatakan bahwa mikrobiologi merupakan salah satu ilmu yang sangat berperan penting dalam perkembangan bioteknologi modern. Bioteknologi modern yakni biologi yang berkembang dengan teknik-teknik manipulasi genetika melalui transfer materi genetik maupun editing gen atau genom dan berbagai reaksi biokimia lainnya.
ADVERTISEMENT
“Dasar dan pemahaman terhadap rekayasa genetik dimulai dengan pembelajaran, penelitian, dan pemahaman terhadap mikroba, sehingga mikrobiologi sangat berjasa dalam pengembangan bioteknologi,” tegasnya.
Dengan bioteknologi pemanfaatan mikroba menjadi semakin besar, sebagai mesin hidup untuk memproduksi berbagai enzim, hormon, dan protein-protein maupun molekul lain yang banyak dibutuhkan dalam berbagai industri biologi molekuler untuk kesehatan, pangan, energi, lingkungan dan sebagainya.
Bioteknologi di Indonesia Tertinggal Sangat Jauh
Sayangnya, kemajuan bioteknologi di kampus-kampus kita menurut Diyah masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan yang ada di negara-negara maju. Lonjakan perkembangan dunia bioteknologi menurutnya sangat cepat, suatu penemuan baru akan segera menjadi referensi untuk penemuan-penemuan baru selanjutnya.
“Penemuan-penemuan baru tersebut tentu saja karena melalui proses intelektual yang sangat berharga, maka selalu dilindungi dengan hak kekayaan intelektualnya, sehingga siapapun yang kemudian menggunakannya harus membayarnya,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dari segi kualitas SDM, menurut Diyah sebenarnya tidak ada masalah serius, khususnya di UGM. Pasalnya sudah banyak saintis-saintis lulusan luar negeri yang belajar bioteknologi di negara maju dengan fasilitas yang mumpuni. Namun ketika pulang, kondisi di kampus dengan segala keterbatasannya tidak cukup untuk mendukung pengembangan diri SDM yang ada. Akibatnya, perkembangan SDM menjadi lambat atau bahkan mati sama sekali sehingga dunia bioteknologi Indonesia makin jauh tertinggal.
Untuk melakukan riset atau pengembangan bioteknologi di kampus, hampir semua alat dan bahan yang dibutuhkan juga harus diimpor dari luar negeri karena pemegang patennya adalah pakar dan industri di sana. Akibatnya, butuh biaya besar untuk melakukan riset di bidang ini.
“Sementara itu, ketersediaan dana yang terbatas juga masih harus berbagi dengan berbagai bidang lainnya,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Selama tidak ada kesadaran para pemegang kebijakan untuk memprioritaskan bioteknologi, SDM yang ada menurut Diyah ibarat pemain sepak bola tanpa lapangan. Mereka akan kelelahan bukan karena bermain bola, melainkan karena keadaan yang tidak memungkinkan bola bergeser dari tempatnya. Pandemi bagi Diyah seharusnya bisa menjadi momentum yang tepat bagi Indonesia untuk mulai mengedepankan riset dan pengembangan bioteknologi dalam negeri.
“Mestinya kampus menyesuaikan dan meyiapkan diri dengan memperbaiki fasilitas dan prasarananya. Selain infrastruktur yang memadai juga SDM-nya karena urusan mikroba tadi membutuhkan IPTEK terkini dan fasilitas yang tidak mudah dan tidak murah untuk diadakan dan dikuasai,” kata Siti Subandiyah.
Penyakit Serba Ingin Instan Menjegal Kemajuan Bioteknologi
Pakar Bioteknologi Tanah dan Lingkungan UGM, Irfan Dwidya Prijambada, mengatakan secara pengetahuan, bioteknologi maupun mikrobiologi tak akan mengalami perubahan. Yang menurutnya akan berubah adalah penerapannya dalam kehidupan manusia. Kendati demikian, Irfan juga tidak yakin kalau ke depan, setelah pandemi, dunia bioteknologi di Indonesia akan berkembang seperti yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
“Karena masyarakat kita kan latah, tahun depan juga sudah lupa sama cuci tangan, jaga jarak, jaga kebersihan. Enggak yakin saya akan banyak berubah,” ujar akademisi yang juga menyandang predikat profoser ini ketika dihubungi kemarin.
Penyakit akut, baik yang diderita oleh masyarakat maupun pejabat kita adalah keinginan untuk serba instan di segala sektor, termasuk dalam pengembangan dunia bioteknologi. Hal itu terlihat dari kebijakan-kebijakan pemerintah, dimana selama masih bisa membeli dari luar maka lebih memilih membeli ketimbang membuat sendiri. Akibatnya, kita menjadi sangat tergantung dengan produksi dari luar negeri.
Misalnya soal PCR, ketika akan membuatnya diperlukan enzim, namun enzim tersebut tidak ada karena selama ini impor. Padahal, saintis dalam negeri menurutnya sudah mampu untuk membuatnya. Namun lagi-lagi kebijakan yang ada tidak mendukung mereka untuk berkembang. Penemuan-penemuan mereka sangat jarang ada yang dipakai. “Saya hanya menemukan, kalau tidak ada yang memakai untuk apa saya simpan? Ditawarkan pun, untuk apa? Beli gampang kok,” lanjut Irfan menyayangkan.
ADVERTISEMENT
Tak perlu jauh-jauh ke PCR untuk COVID-19, sebagai negara dengan industri garmen yang besar, ada kebutuhan sangat besar akan enzim selulase dan amilase. Lagi-lagi keduanya tidak ada di dalam negeri dan semua kebutuhannya dicukupi dengan impor. “Padahal kita bisa membuatnya, gampang. Tapi harganya tidak bisa bersaing karena pasar sudah dikuasai oleh (produk) impor,” jelasnya.
Beberapa contoh itu menggambarkan betapa sulitnya perkembangan dunia bioteknologi ke depan. Belum terlihat titik terang untuk perkembangan dunia riset dalam negeri. Dalam kasus pandemi ini saja, Ristekdikti tak mampu memberikan apapun sebagai solusi, maka wajar ketika anggarannya dipotong. “Karena apa? Tidak bunyi sama sekali. Untuk apa penelitiannya?” lanjut Irfan.
Padahal, secara SDM saat ini kita sudah cukup bisa bersaing. Namun untuk bisa melakukan berbagai penelitian, tentu membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sementara biaya itu bisa tersedia jika penelitian yang mereka hasilkan dipakai.
ADVERTISEMENT
“Enggak yakin,” jawab Irfan tegas ketika ditanya apakah pandemi ini mampu mengubah arah dunia bioteknologi Indonesia ke depan. Kecuali, masyarakat mau mengubah pola pikirnya yang serba instan. “Ilmunya enggak akan berubah, tapi yang ada di kepala masyarakat kitalah yang harus berubah. Bahwa enggak ada yang instan kalau mau mandiri,” tegasnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)