Pemilu seperti Masa Orba Dinilai Lebih Cocok untuk 2024, Tinggal Coblos Partai

Konten Media Partner
6 Januari 2023 16:56 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Surat suara yang digunakan untuk pelatihan tata cara pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara  (TPS) di GOR Bulungan, Jakarta, Sabtu (6/4). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Surat suara yang digunakan untuk pelatihan tata cara pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) di GOR Bulungan, Jakarta, Sabtu (6/4). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati, menilai bahwa pemilihan umum (pemilu) dengan sistem proporsional tertutup lebih cocok untuk diterapkan pada pemilihan anggota legislatif (pileg) tahun 2024 mendatang yang dilaksanakan secara serentak.
ADVERTISEMENT
Sebagai informasi, sistem proporsional tertutup ini sudah pernah dilakukan di Indonesia pada masa Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba). Dengan sistem proporsional tertutup ini, masyarakat tidak memilih secara langsung kandidat calon anggota legislatif, melainkan hanya memilih partai peserta pemilunya saja.
Menurut Mada, sistem ini lebih cocok digunakan dalam pemilihan legislatif serentak ketimbang sistem proporsional terbuka dimana masyarakat memilih langsung kandidat calegnya. Menurutnya, sistem proporsional ini lebih sederhana ketimbang masyarakat harus memilih langsung calegnya.
“Banyak ahli sudah mewanti-wanti kalau sebuah negara menyelenggarakan pemilu serentak maka pilihlah sistem yang paling sederhana, dan sistem tertutup ini adalah sistem yang sederhana dari sisi pemilih,” kata Mada Sukmajati, Jumat (6/1).
Meski begitu, pelaksanaan pemilu legislatif dengan sistem proporsional tertutup menurutnya harus diawali dengan pemilu pendahuluan atau proses kandidasi di internal partai politik yang memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Selain itu, perlu juga dilakukan edukasi agar para pemilih mengenal nama0nama yang dicalonkan oleh setiap partai.
ADVERTISEMENT
“Jadi proses pencalonan dari internal masing-masing partai yang kita dorong dengan tiga prinsip tadi meskipun itu dilaksanakan secara tertutup. Ketika memilih tidak ada gambar tidak apa-apa karena ada proses pendahulu yang bisa menjamin,” imbuhnya.
Pengamat politik UGM, Mada Sukmajati. Foto: UGM
Selain itu, sistem proporsional tertutup secara teknis juga dinilai lebih meringankan panitia pelaksana pemilu karena proses rekapitulasi atau perhitungan suaranya lebih mudah. Karena itu, sistem ini menurutnya perlu jadi pertimbangan mengingat pada pemilu sebelumnya ditemukan sejumlah penyelenggara yang bahkan sampai meninggal dunia karena kelelahan.
Untuk memastikan bahwa prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi terpenuhi, ada berbagai mekanisme yang bisa diterapkan, misalnya melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mewajibkan setiap partai membuat berita acara terkait proses pencalonan. Selain itu, pemilih juga bisa berperan misalnya dengan membuat forum di luar partai politik.
ADVERTISEMENT
“Mekanismenya bisa macam-macam, paling tidak secara legal formal prinsip-prinsip tadi sudah terlihat,” kata Mada.
Meski baru menjadi wacana, pro kontra terhadap sistem proporsional tertutup telah banyak bermunculan, terutama dari kalangan partai politik. Menurut Mada, perdebatan adalah hal yang lumrah.
Namun perubahan sistem ini sebenarnya bisa didorong untuk mulai diterapkan pada pemilu terdekat karena tidak ada hambatan administratif. Faktor penentu terletak pada kemauan para anggota DPR untuk mengubah sistem yang sudah diterapkan saat ini.
“Sistem tertutup hampir bisa dipastikan akan disetujui oleh partai yang secara serius mengorganisasi diri, meski tetap akan ada banyak kendala, dan pasti tidak disetujui partai yang tidak suka capek-capek mengorganisasi dan hanya memainkan media,” ujarnya.