Pendidikan Berbasis Asrama Lebih Rentan akan Kekerasan Seksual?

Konten Media Partner
14 Desember 2021 17:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rumah Tahfid Al-Ikhlas tempat Herry Wirawan melakukan kejahatannya. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Lembaga pendidikan berbasis asrama, seperti pondok pesantren, dinilai lebih rentan terjadi kasus kekerasan seksual di dalamnya. Sebab, di asrama memungkinkan terjadinya interaksi yang lebih intens, baik antarmurid maupun antara murid dengan pengurus asrama atau pengajar.
ADVERTISEMENT
Hal ini disampaikan oleh Ketua Badan Pembina Pesantren Modern Muhammadiyah Green School (MGS) Yogyakarta yang juga Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah Wilayah DIY, Ghoffar Ismail.
Berbeda dengan sekolah umum, dimana interaksi antara siswa dan guru sudah diatur jelas di waktu-waktu tertentu saja, di pesantren interaksi itu bisa terjadi dalam 24 jam.
Apalagi, santri di pondok pesantren berada jauh dari orangtua. Komunikasi merekapun dibatasi, karena biasanya di pesantren ada aturan santri tidak boleh membawa ponsel atau alat komunikasi sejenisnya. Sehingga, komunikasi antara santri dengan orangtua mereka hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu saja. Ketika berkomunikasi atau bertemupun, belum tentu santri akan menceritakan semua yang dia alami, termasuk kekerasan seksual, karena berbagai pertimbangan.
ADVERTISEMENT
“Karena mungkin dia dapat ancaman, malu, atau takut malah dimarahi orangtua. Maka sangat rentan pesantren itu memang,” kata Ghoffar yang juga merupakan dosen di Fakultas Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (11/12).
Ghoffar membandingkan antara perguruan tinggi dengan pesantren. Perguruan tinggi saja yang interaksi antara dosen dan mahasiswa tidak seintens pesantren menempati peringkat pertama lembaga pendidikan paling rentan kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan, apalagi pondok pesantren.
Apalagi seringkali ustadz atau kyai di pesantren memiliki kuasa lebih besar ketimbang dosen atas mahasiswanya. Dengan dalih agama, seringkali santri akan langsung menuruti begitu saja apa yang diinginkan ustadz atau kyai. Terlebih pesantren yang berisi anak-anak di bawah umur, yang notabene masih polos dan gampang dikelabui. Karena itu, pesantren membutuhkan sistem yang jelas dan tegas untuk mengantisipasi dan meminimalkan potensi kekerasan seksual itu.
ADVERTISEMENT
“Karena mendidik banyak anak yang jauh dari orangtua dengan waktu 24 jam, kalau tidak ada sistem yang kuat itu sangat riskan dan rentan,” lanjutnya.
Asrama Putra dan Putri Harus Dipisah
Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah Wilayah DIY, Ghoffar Ismail. Foto: Widi Erha Pradana
Satu upaya yang paling mendasar untuk mengantisipasi masalah itu menurut Ghoffar adalah pemisahan antara asrama putra dan putri. Tak hanya itu, pengurus atau pengajar di pesantren juga harus berada di luar zona santri, apalagi mereka yang berbeda jenis kelamin.
Ghoffar mencontohkan apa yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Gontor, yang sudah dari dulu memisahkan asrama putra dan putri di lokasi yang cukup jauh, dan memisahkan zona santri dengan pengasuh pesantren. Itu juga yang dilakukan oleh Madrasah Muallimin dan Mu'allimaat Muhammadiyah di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
“Meskipun tetap ada peluang terjadinya kekerasan seksual, karena kita enggak bisa mengawasi mereka 24 jam. Tapi paling tidak ada aturan baku untuk meminimalkan peluang itu,” ujar Ghoffar Ismail.
Selain itu, pesantren juga perlu memiliki sistem berlapis. Ghoffar mencontohkan di pondok pesantren Muhammadiyah, dimana santri tidak bisa langsung berinteraksi dengan direktur pesantren. Di bawah direktur, masih ada pengasuh pondok, di bawahnya masih ada pembina, kemudian ada senior yang langsung membawahi santri. Pembina dan seniorpun dipilih yang sesama laki-laki, atau sesama perempuan.
Dalam struktural pesantren, direktur juga bukan pemegang kekuasaan tertinggi. Direktur dalam kerjanya diawasi oleh pengurus Muhammadiyah yang membawahinya, baik di lingkup ranting, cabang, maupun wilayah.
“Sehingga direktur bisa diganti kapanpun jika kinerjanya tidak bagus,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pendidikan Reproduksi di Kurikulum Pesantren
Muhammad Mustafied. Foto: Widi Erha Pradana
Pengasuh Pondok Pesantren Aswaja Nusantara di Kampung Mlangi, Sleman, yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammad Mustafied, mengatakan kasus pemerkosaan 21 santri di Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat, juga kasus-kasus kekerasan seksual lain yang terjadi di lingkungan pesantren, harus jadi pelecut pondok pesantren untuk lebih terlibat dalam agenda pencegahan kekerasan seksual.
Salah satu upaya yang penting dilakukan adalah dengan memasukkan pendidikan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum pembelajaran di pesantren. Sebab, saat ini pendidikan terkait kesehatan reproduksi termasuk terkait kekerasan seksual masih hanya menjadi hidden curriculum yang diselipkan dalam materi adab, fiqih perempuan, fiqih relasi perempuan dan laki-laki, fiqih pernikahan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
“Jadi belum menjadi satu materi tersendiri,” ujar Gus Tafied, sapaan akrabnya.
Pesantren, menurut Gus Tafied juga perlu melakukan riset serius untuk mengidentifikasi pola atau modus, faktor risiko, termasuk karakteristik pesantren yang berisiko tinggi terjadinya kekerasan seksual. Sehingga nantinya dapat dipetakan, seperti apa karakter pesantren yang ramah untuk santri, dan mana yang rentan terjadi kekerasan seksual.
Hasil riset itu, nantinya bisa menjadi dasar penyusunan strategi maupun kampanye pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pesantren.
Pesantren, juga perlu mengidentifikasi best practice atau cara paling efisien dan efektif dalam penanganan kasus, termasuk cara advokasi, pendampingan korban, dan sebagainya. Kasus-kasus kekerasan seksual yang telah terungkap, bisa menjadi bahan untuk melakukan identifikasi.
“Sehingga jika terjadi kasus seperti ini, pesantren punya panduan yang jelas dalam menentukan langkah,” ujar Gus Tafied.
ADVERTISEMENT
Yang tidak kalah penting, pesantren juga perlu melakukan kajian terkait kebijakan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di pesantren. Misalnya melakukan identifikasi terkait peluang kebijakan yang bisa diterapkan di seluruh pesantren, sebagai pijakan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pesantren.
“Jangan sampai kejadian memalukan ini terulang lagi,” ujarnya.
Muhbib Abdul Wahab. Foto: Istimewa
Hal yang sama juga disampaikan oleh Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah, Muhbib Abdul Wahab. Memasukkan mater-materi tentang kesehatan reproduksi dan relasi atau hubungan antara laki-laki dan perempuan memang penting untuk melakukan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pesantren.
Meski belum menjadikan materi tentang pendidikan reproduksi, namun Muhammadiyah menurutnya telah melakukan standardisasi kurikulum untuk diterapkan di lebih dari 400 pesantren yang ada di bawah naungan mereka.
ADVERTISEMENT
“Ada buku ajar yang jadi standar di pesantren kami, termasuk di dalamanya ada tentang pergaulan di dalam pesantren,” ujar Muhbib Abdul Wahab.
Muhammadiyah, menurut dia juga memiliki pedoman-pedoman yang di dalamnya berisi berbagai SOP, misalnya tentang pesantren sehat seperti apa, lingkungannya bagaimana, budayanya seperti apa, sampai sarana dan prasarana yang mesti dipenuhi untuk meminimalkan potensi terjadinya kekerasan seksual di dalam pesantren.
“Sehingga bisa tercipta pesantren yang ramah anak. Jangan sampai ada stigma bahwa pesantren itu tidak aman untuk anak,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)