Konten Media Partner

Peneliti UGM: Tanpa Yogyakarta Mungkin Tak Pernah Ada Indonesia

16 Agustus 2022 15:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peneliti dari Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM), Hendro Muhaimin. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti dari Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM), Hendro Muhaimin. Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Peneliti dari Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM), Hendro Muhaimin, mengatakan bahwa Yogyakarta memegang peran yang sangat penting untuk lahirnya Indonesia. Yogyakarta menurut Hendro selalu ada di situasi-situasi kritis, baik sebelum kemerdekaan maupun sepanjang masa revolusi antara 1945-1949.
ADVERTISEMENT
“Tanpa Yogyakarta mungkin enggak ada Indonesia,” kata Hendro Muhaimin dalam sebuah diskusi daring ‘Dialog Keistimewaan Yogya Benteng Revolusi’ yang diadakan Paniradya Kaistimewan, Senin (15/8).
Salah satu momen yang menunjukkan pentingnya Yogyakarta dalam momen kemerdekaan adalah ketika Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan telegram ke Jakarta, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Telegram itu intinya berisi pernyataan HB IX untuk mendukung kemerdekaan NKRI dan bersedia untuk berdiri bersama para proklamator kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta.
Selain dukungan kemerdekaan itu, HB IX kemudian juga menyampaikan bahwa Yogyakarta, yang di dalamnya mencakup Kasultanan dan Kadipaten, bersedia untuk bergabung menjadi bagian dari NKRI melalui Amanat 5 September 1945.
Dalam situasi-situasi kritis pada masa revolusi, Yogyakarta menurut Hendro juga menjadi satu-satunya penyambung nadi kehidupan bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Dalam tanda kutip, kemerdekaan pada waktu itu, satu-satunya (yang mempertahankan) tinggal Yogyakarta,” ujarnya.
Sebab, sejak kemerdekaan Indonesia sampai hari ini, satu-satunya daerah yang selalu mendukung kemerdekaan Indonesia hanyalah Yogyakarta.
Yogya merupakan satu-satunya daerah yang sejak kemerdekaan Indonesia tak pernah mengungkapkan keinginannya untuk berpisah dari Indonesia, tak seperti daerah-daerah lain yang sempat menyatakan diri berpisah dengan Indonesia bahkan sempat muncul sejumlah pemberontakan di beberapa daerah seperti NII, Permesta, dan sebagainya.
“Daerah lainnya itu punya tanda kutip riwayat untuk berpisah atau bahkan mau meninggalkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beda dengan Yogyakarta yang sesungguhnya punya akar komitmen yang kuat, dari mulai embrionya sampai hari ini tetap komitmen terhadap NKRI,” kata Hendro.
Sejarawan dari UGM, Bahauddin. Foto: Widi Erha Pradana
Sementara, sejarawan dari UGM, Bahauddin mengatakan bahwa bahkan sejak sebelum proklamasi kemerdekaan Yogyakarta sudah memiliki kontribusi dalam melahirkan bibit-bibit kebangsaan Indonesia. Yogyakarta menurut dia telah memfasilitasi pergerakan nasional, baik oleh Kasultanan maupun Pakualaman.
ADVERTISEMENT
Beberapa agenda penting sebelum kemerdekaan menurut Bahauddin juga dilakukan di Yogyakarta. Misalnya kongres pertama Budi Utomo yang diselenggarakan di Jetis, yang kini menjadi aula SMA Negeri 11 Yogyakarta. Kemudian Ndalem Joyodipuran yang digunakan sebagai tempat kongres Jong Java, Kongres Perempuan Indonesia, dan sejumlah pertemuan penting lainnya.
“Kemudian Muhammadiyah lahir di Yogya, Taman Siswa lahir di Yogyakarta, jadi sebenarnya sebelum negara Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, Yogyakarta itu sudah berkontribusi terhadap kebangsaan,” kata Bahauddin.
Hal itu membuktikan bahwa pernyataan HB IX pada 18 Agustus 1945 bukanlah pernyataan yang tiba-tiba, namun bagian dari rentetan peristiwa yang sudah dibangun sejak lama. Maka tak heran, pasca-kemerdekaan pun Yogyakarta menjadi kota yang sangat totalitas dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Dan tidak ada perdebatan di antara Kasultanan dan Pakualaman, keduanya sepakat untuk mendukung dan bergabung dengan Indonesia,” tegasnya.