Peneliti UGM Ungkap Sisi Buruk Ghozali Effect

Konten Media Partner
21 Januari 2022 17:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ghozali Effect atau cuan yang berhasil didapat Ghozali dengan jualan NFT justru melahirkan overhype, pencurian, dan sejumlah masalah lain.
Sultan Gustaf AL Ghozali di Gedung Rektorat Udinus. Foto: Intan Alliva Khansa/kumparan
Studio Komik Tahilalats, melalui akun Twitter @lickpalik, Kamis (20/1), mengumumkan bahwa ratusan karya mereka telah dibajak dan dijual di Open Sea dengan akun NFT tahilalats_face. Melalui unggahan itu, Tahilalats meminta OpenSea untuk menghapus akun yang menjual karya dari para creator Tahilalats tersebut. Sebelumnya, sempat viral juga akun yang menjual foto-foto KTP di OpenSea dengan nama akun ‘Indonesian identity card (KTP) collection’.
ADVERTISEMENT
Tak sampai di situ, ada juga yang menggunakan platform Open Sea untuk menjual konten-konten pornografi seperti foto-foto tanpa busana. Semua itu terjadi setelah fenomena Ghozali Everyday yang untung miliaran rupiah dari ribuan foto selfie yang dia jual di NFT.
Peneliti Center for Digital Society (CfDS), FISIPOL UGM, Iradat Wirid, sangat menyayangkan kejadian-kejadian tersebut. Padahal, NFT menurut dia merupakan sebuah potensi teknologi besar yang mampu mendukung keunikan dan kepemilikan terhadap sebuah aset digital. Kesuksesan Ghozali, menurutnya mampu menunjukkan sisi kreativitas dari perkembangan NFT.
“Akan tetapi, dari situlah masyarakat Indonesia berusaha untuk merekayasa kesuksesan dari Ghozali dengan berbagai cara yang unik,” kata Iradat, dalam rilisnya, Jumat (21/1).
Karya tahilalats dicuri dan dijual di OpenSea. Foto: Tangkapan layar twitter
Kesuksesan Ghozali Everyday atau yang di media sosial popular sebagai Ghozali Effect, melahirkan orang-orang latah yang menjual apapun ke OpenSea demi bisa mengikuti kesuksesan Ghozali. Seketika, OpenSea dipenuhi NFT dari masyarakat Indonesia mulai dari foto masakan, foto selfie, bahkan sampai tindakan melanggar hukum seperti menjual karya milik orang lain secara ilegal, konten pornografi, sampai menjual foto KTP.
ADVERTISEMENT
“Masyarakat Indonesia yang gagap literasi digital melihat NFT ini sebagai arena investasi dalam waktu singkat, alias cuan,” lanjutnya.
Akibat fenomena berlebihan atau overhype ini, dalam beberapa hari saja pasar OpenSea terasa jenuh dan penuh dari para copycat yang ingin meniru kesuksesan Ghozali Everyday secara instan. Hal ini menurut Iradat semakin menunjukkan bahwa Indonesia butuh semacam regulasi untuk mengawasi perkembangan jual-beli NFT demi perlindungan data pribadi masyarakat. Namun di sisi lain hal ini juga akan jadi ironi, mengingat teknologi blockchain dan NFT yang sebenarnya berkembang atas dasar kebebasan dari pihak ketiga sebagai regulator, dalam hal ini pemerintah.
“(Namun) kini perlu dibarengi pihak ketiga agar pasar NFT tidak menjadi terlalu liar dan membahayakan orang,” kata Iradat Wirid.
ADVERTISEMENT
Peneliti CfDS lain, Dewa Ayu Diah Angendari, mengatakan situasi ini juga jadi salah satu kendala bagi Indonesia untuk mewujudkan Metaverse di Indonesia yang sering disinggung oleh Jokowi dan petinggi negara lain. Penjualan foto-foto KTP di OpenSea, menjadi indikasi bahwa keamanan privasi data di Indonesia memang masih dipertanyakan. Dan ini, bukan kasus kebocoran data pribadi pertama dan satu-satunya di Indonesia.
Padahal, keamanan data jadi salah satu isu paling penting untuk mewujudkan Metaverse, selain juga elemen lain seperti infrastruktur, dan teknologi VR dan AR sebagai dasar teknologi dari Metaverse.
“Visi membangun dunia digital paralel seperti Metaverse dapat menjadi alarm bagi Indonesia atas berbagai pekerjaan rumah terkait transformasi digital, seperti aspek literasi digital, perlindungan data, peningkatan kapasitas, dan pengetahuan di bidang teknologi digital hingga digital divide,” kata Dewa Ayu Diah Angendari.
ADVERTISEMENT