Pengalaman Saya Antre 2 Jam Demi Minyak Goreng Curah di Sleman, DIY

Konten Media Partner
24 Maret 2022 17:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Saya berdiri selama 2 jam dalam antrean panjang para pengecer minyak goreng curah di Yogyakarta pada Rabu (23/3). Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Saya berdiri selama 2 jam dalam antrean panjang para pengecer minyak goreng curah di Yogyakarta pada Rabu (23/3). Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pukul 13.00 WIB, saya tiba di sebuah distributor minyak goreng di Yogyakarta. Antrean sudah mengular lebih dari 10 meter. Mereka adalah para pedagang eceran yang sedang mengantre minyak goreng curah seharga Rp 14 ribu per liter.
ADVERTISEMENT
Saya berdiri di barisan paling belakang. Di depan saya, seorang pria sudah datang sekitar 10 menit sebelum saya. Di samping kakinya, sudah ada jerigen dengan kapasitas 18 liter.
“Semoga aja masih dapat,” kata pria tersebut berharap cemas, Rabu (23/3).
Dia hampir setiap hari (minimal dua hari sekali) antre di distributor tersebut sejak beberapa pekan terakhir. Pekan lalu, antrean belum sepanjang ini. Paling lama setengah jam dia sudah bisa membawa pulang dua jerigen minyak goreng curah, meski harus membeli satu karung tepung atau gula pasir sebagai syarat pembelian minyak.
Hari ini, meski sudah sekitar 10 menit mengantre, dia seperti tak beranjak dari posisi awalnya. Orang-orang yang antre di depan dia juga seperti diam di tempat.
ADVERTISEMENT
“Makin banyak yang antre di sini, soalnya tempat lain pada kehabisan stok. Saya tahunya cuma sini yang masih punya minyak,” lanjutnya.
Antrian mengular. Foto: Widi Erha Pradana
Dari depan antrean, seorang pembeli mengendarai sepeda motor matic-nya dengan satu jerigen minyak goreng di depan dan satu karung gula pasir di jok belakang. Karung itu cukup besar, karena memiliki kapasitas 50 kilogram.
“Kalau sampai enggak dapat ya payah, udah antre lama-lama,” kata seorang perempuan berkaus abu yang juga antre di depan saya, hanya selisih satu orang.
Dia sudah datang lebih lama lagi, hampir 20 menitan. Dan di depannya, antrean masih sangat panjang. Sementara di belakang saya, satu per satu orang mulai berdatangan membuat antrean seperti tak berkurang, bahkan terus bertambah.
ADVERTISEMENT
Perempuan itu mulai menggerak-gerakkan kakinya. Lututnya sudah mulai pegal berdiri hampir setengah jam. Dan dia akan terus berdiri lebih lama lagi.
“Cuma mau beli satu jerigen aja nunggunya lama banget, harus beli bandulan (barang pendamping) lagi,” lanjutnya.
Terpaksa Ikut Jual Minyak dengan Syarat
Satu jam berlalu. Posisi saya sudah mulai maju ke depan, meski di depan saya masih ada belasan orang yang mengantre. Di belakang saya, jumlah yang mengantre juga sama banyaknya.
“Padahal di warung saya aja tepung sama gula masih numpuk, mas,” katanya lagi.
Meski tak mengambil untung, namun perempuan berkaus kelabu itu masih kesulitan untuk menjual tepung dan gula pasir karena stok yang terus bertambah. Dia menjual barang-barang tersebut dengan harga beli. Yang ada di benaknya, yang penting barang-barang itu cepat terjual dan modalnya balik sehingga bisa untuk membeli minyak goreng lagi.
ADVERTISEMENT
“Yang penting kejual aja, nggantiin harga beli,” kata perempuan berkaus abu itu.
Foto: Widi Erha Pradana
Lain dengan perempuan berkaus abu di depan saya, seorang pria bertopi yang mengantre di belakang saya terpaksa ikut menjual minyak goreng ke pelanggannya dengan sistem bundling. Kalau mau beli minyak goreng, harus beli tepung atau gula pasir sekalian.
“Kalau enggak kayak gitu ya enggak bisa muter uangnya, enggak bisa belanja lagi,” kata pria tersebut.
Hal itu pernah dia lakukan. Akibatnya, gula dan tepung masih menumpuk namun minyak sudah habis. Pria bertopi itu kemudian terpaksa memberlakukan sistem bundling supaya modalnya cepat kembali.
“Udah nasibnya jadi wong cilik, mau beli minyak aja susah,” gerutunya.
Sejam lebih mengantre, orang di depan dan belakang saya yang tadinya tak saling kenal tampak mulai akrab, pun dengan saya. Keluhan demi keluhan terus terdengar. Tentang antrean yang semakin panjang setiap hari, tentang syarat beli minyak goreng harus beli produk lain, tentang dibatasinya pembelian maksimal satu jerigen, juga tentang tak adanya pilihan untuk belanja di distributor lain.
ADVERTISEMENT
Minimal Belanja Rp 400 Ribu
Di kasir. Foto: Widi Erha Pradana
Hampir dua jam mengantre, akhirnya giliran saya tiba, setelah sepasang lutut saya rasanya mau copot. Di kaca yang membatasi ruang kasir dengan antrean, terpasang sebuah kertas dengan tulisan “Penjualan Minyak Kemasan Harus Beli Barang Lain”.
Karena yang tertulis adalah minyak kemasan, saya mencoba bertanya apakah untuk beli minyak goreng curah juga harus beli produk lain.
“Iya mas, harus beli (produk) yang lain,” kata seorang pegawai perempuan di dalam ruangan sempit itu dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Sejumlah produk yang jadi syarat pembelian minyak goreng misalnya satu karung tepung dengan berbagai merek, seharga Rp 200an ribu sampai Rp 300an ribu, tergantung mereknya. Selain tepung, produk yang paling banyak dijadikan sebagai syarat pembelian minyak adalah gula pasir, dengan harga di kisaran Rp 650an ribu per karung, tergantung mereknya. Satu karung, berisi 50 kilogram gula.
ADVERTISEMENT
“Minimal pembelian Rp 400 ribu,” lanjut pegawai tersebut.
“Cuma bisa beli satu jerigen?” tanya saya memastikan.
“Iya, mas,” jawabnya singkat.
Struk pembelian. Foto: Widi Erha Pradana
Sesuai dengan titipan pedagang eceran yang saya atas namakan, saya membeli satu jerigen minyak goreng curah (18 liter) seharga Rp 252 ribu dan satu karung tepung merek Payung sebagai produk pendamping seharga Rp 190 ribu. Sehingga total belanjaan saya siang itu sebesar Rp 442 ribu.
Ternyata stok minyak goreng yang disediakan siang itu sudah menipis, tak sampai 10 jerigen. Padahal, berdasarkan informasi salah seorang pegawai, setiap hari mereka menyediakan kuota 200 jerigen minyak goreng curah.
Arloji saya sudah hampir menunjuk angka tiga. Dan ternyata antrean yang ada seperti tak berkurang sama sekali. Panjangnya sama persis seperti ketika saya baru saja tiba di tempat itu. Seorang pria menghitung antrean dari depan ke belakang. Dia sedang memastikan urutan antreannya dengan stok minyak yang tersisa di depan.
ADVERTISEMENT
“Wah zonk, enggak kebagian,” kata pria itu dengan raut muka kecewa.
Saya telah menghubungi nomor layanan aduan pelanggan yang tertempel di dinding dekat kasir. Setelah saya cek menggunakan aplikasi Get Contact, ternyata itu adalah nomor salah seorang pengelola distributor tersebut. Namun pesan saya melalui aplikasi WhatsApp yang bertujuan untuk mengonfirmasi alasan perusahaan memberlakukan sistem bundling, pesan saya hanya dibaca dan tak ada jawaban hingga tengah malam.
Hari ini pedagang eceran yang kembali mengantri di sana mengabari.
"Antrian hari ini 3 jam mas."
Sebuah foto antrian panjang masuk di WhatsApp saya.