Perdagangan Satwa Liar Dunia Nilainya Rp 341 T Setahun, Indonesia Rp 15 T

Konten Media Partner
24 Juni 2022 16:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peneliti Pusat Riset Zoologi Terapan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Taufiq Purna Nugraha. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti Pusat Riset Zoologi Terapan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Taufiq Purna Nugraha. Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Perdagangan satwa liar ilegal menempati peringkat ketiga kejahatan dengan angka kerugian terbesar di dunia setelah perdagangan narkotika dan manusia. Per tahun, nilai kerugian akibat perdagangan satwa ilegal bisa mencapai 23 miliar USD atau sekitar Rp 341 triliun.
ADVERTISEMENT
Sementara di Indonesia, Peneliti Pusat Riset Zoologi Terapan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Taufiq Purna Nugraha, mengatakan bahwa berdasarkan data Havocscope, nilai perputaran uang di pasar gelap kehidupan liar Indonesia mencapai Rp 15 triliun per tahun.
“Kalkulasi kerugian ini (pun) umumnya (baru) berasal dari harga komoditas di pasaran,” kata Taufiq Purna Nugraha, dalam diskusi daring ‘Penegakan Hukum Kejahatan terhadap Satwa Liar dalam Lanskap Perekonomian Negara’ yang diadakan oleh Auriga Nusantara dan KPK, Kamis (23/6).
Namun nilai kerugian ini sebenarnya bukan nilai kerugian negara yang sebenarnya. Pasalnya, ketika terjadi kejahatan terhadap satwa liar, ada beberapa kerugian yang dialami Negara, seperti kerugian pada satwa itu sendiri dan kerugian biaya untuk rehabilitasi atau reintroduksi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sebuah kejahatan terhadap satwa liar juga akan menurunkan populasi dan peluang bertahan hidup bagi spesies terancam punah, kerugian nilai ilmiah, dampak terhadap ekosistem, biaya pengawasan dan penegakan hukum, hingga rusaknya reputasi dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Primata yang sedang menjalani rehabilitasi di WRC Jogja. Foto: Koleksi WRC.
Taufiq mencontohkan kerugian negara akibat perdagangan satu ekor orangutan kalimantan. Meski harga orangutan di tingkat pemburu hanya berkisar Rp 13 juta dan saat masuk pasaran internasional sebesar Rp 45 juta, kerugian sebenarnya yang ditanggung negara jauh lebih besar.
Sebab, ada beberapa biaya lain yang mesti dikeluarkan negara untuk menangani satu kasus kejahatan terhadap orangutan tersebut. Pertama, biaya penyelamatan, transportasi, dan perawatan satwa yang paling tidak membutuhkan Rp 15 juta. Kemudian biaya untuk pengujian DNA sekitar Rp 2 juta ditambah biaya saksi ahli.
ADVERTISEMENT
Dibutuhkan juga biaya pemeliharaan jangka panjang. Jika orangutan yang diamankan masih berusia muda, pemeliharaan di pusat rehabilitasi bisa mencapai waktu enam tahun untuk bisa dilepasliarkan ke habitatnya.
“Biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan orangutan kurang lebih Rp 3.750.000 per bulan per individu. Untuk enam tahun diperkirakan mencapai Rp 270 juta untuk satu individu,” ujarnya.
Setelah orangutan dirasa siap dilepasliarkan, maka dia akan dilepaskan ke pusat reintroduksi. Estimasi biaya pelepasliaran satu orangutan berkisar antara Rp 50 juta sampai Rp 150 juta, tergantung lokasinya. Biaya itu masih ditambah biaya monitoring jangka panjang selama dua tahun untuk menentukan kesuksesan pelepasliaran tersebut, yakni bisa mencapai Rp 360 juta.
Dari kasus satu orangutan ini, kerugian negara sangat besar, tidak hanya Rp 45 juta seperti harga pasaran orangutan di Eropa, tapi bisa mencapai Rp 842 juta.
ADVERTISEMENT
“Dari sini kita bisa melihat, dari satu kasus saja tidak sedikit kerugian yang ditanggung negara dan stakeholder lain,” ujarnya.
Namun, hukuman terhadap pelaku kejahatan satwa liar di Indonesia jauh lebih rendah dari nilai kerugian yang ditanggung negara. Misalnya pada kasus kepemilikan bagian satwa yang dilindungi tahun 2016.
Saat itu, pelaku kedapatan memiliki 3 tengkorak orangutan, 2 tengkorak beruang madu, 2 paruh burung enggang, 2 pasang tanduk kijang, 1 buah tulang tangan beruang madu, 1 buah taring beruang madu, 24 kuku beruang madu, 1 lembar sisik trenggiling, 1 offset penyu sisik, 1 karapas penyu hijau, 9 pasang tanduk rusa, dan 11 batang duri landak.
Pelaku kejahatan itu hanya divonis 9 bulan dan 10 hari penjara dengan denda Rp 50 juta atau subsider kurungan selama 1 bulan.
ADVERTISEMENT
Hal serupa terjadi selama tiga tahun terakhir. Dalam tiga tahun ini, terdapat 187 kasus kejahatan terhadap satwa liar di mana terdapat 12.966 satwa hidup dan 10.233 bagian satwa berbentuk offset.
“Rata-rata hukuman hanya 8 bulan sampai 1 tahun, kemudian denda hanya Rp 2 juta sampai Rp 10 juta,” kata Taufiq Purna Nugraha.