Perlahan tapi Pasti Produk Pertanian Jogja Mulai Rambah Pasar Ekspor, Apa Saja?

Konten Media Partner
23 Oktober 2021 13:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Deputi Direktur Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY, Teguh Setiadi. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Deputi Direktur Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY, Teguh Setiadi. Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Meski masih menyumbang persentase yang kecil, namun perlahan produk-produk pertanian di DIY mulai merambah ke pasar ekspor. Setidaknya, ada tiga produk pertanian asal Yogyakarta yang sudah diekspor dengan perkembangan yang positif.
ADVERTISEMENT
Deputi Direktur Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY, Teguh Setiadi, menyebutkan tiga komoditas itu di antaranya minyak atsiri, salak, serta cokelat. Minyak atsiri yang merupakan kombinasi dari berbagai jenis rempah seperti cengkeh, nilam, sereh wangi, sereh dapur, pala, mint, dan sebagainya, diproduksi oleh PT Indoroma dan PT Eksotik Aromatika di Yogyakarta.
Sementara salak, didominasi oleh para petani di daerah Sleman dengan volume ekspor mencapai 200 hingga 400 ton per tahun ke sejumlah negara seperti China, Kamboja, dan Singapura.
Namun, produksi salak di DIY ternyata menemui sejumlah kendala seperti produk yang tidak memenuhi standar, penampilan yang kurang menarik misalnya kulitnya kusam atau masih banyak kotoran di kulitnya, produktivitas masih rendah karena rata-rata umur pohon sudah tua, serta masalah kelembagaan antarkelompok tani yang belum tersedia.
ADVERTISEMENT
“Sementara cokelat yang awalnya hanya pohon yang tumbuh begitu saja di pekarangan, sekarang sudah jadi produk unggulan di Kulon Progo dan Gunungkidul,” kata Teguh Setiadi dalam diskusi yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan DIY, Kamis (21/10).
DIY juga memiliki komoditas pertanian yang sudah diekspor, namun trennya cenderung stagnan atau bahkan menurun, yakni gula semut yang diproduksi oleh sekitar 2.100 petani di Kulon Progo. Penurunan ini disebabkan terutama karena masalah kelembagaan. Teguh mengatakan, sebelumnya sempat dibentuk koperasi yang mengelola petani-petani gula semut di Kulon Progo.
“Tapi koperasi itu karena satu dan lain hal bubar, sehingga sekarang cenderung sendiri-sendiri,” lanjutnya.
Selain itu, ada juga komoditas pertanian yang belum masuk pasar ekspor, tapi punya potensi untuk jadi komoditas ekspor, yakni porang. Namun karena simpang siurnya pasar terkait komoditas porang, perlu pengkajian dan pengelolaan lebih cermat sebelum mendorong para petani menanam porang sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi petani.
ADVERTISEMENT
DIY juga memiliki komoditas pertanian lain yang selama jadi andalan meski belum masuk pasar ekspor, yakni bawang merah dan cabai. Produksi bawang merah DIY pada 2020 mencapai 191.468 kuintal, meningkat dibandingkan tahun 2019 sebesar 169.985 kuintal. Adapun penyuplai terbesar bawang merah adalah Bantul sebesar 50 persen dan Kulon Progo sebesar 45 persen.
Sedangkan produksi cabai DIY selama ini menopang 21 persen dari kebutuhan cabai nasional. Meski produksinya besar, namun sejauh ini bawang merah dan cabai DIY baru menyuplai pasar domestik.
“Ada kabar kalau PT Ransu Navigasi Nusantara di Sumatera Utara mulai mengekspor cabai dalam bentuk cabai kering sebesar 21 ton ke Pakistan, ini bisa jadi referensi kalau cabai DIY mau diekspor,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kapasitas, Kualitas, dan Kontinuitas Harga Mati
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY, Sugeng Purwanto. Foto: Widi Erha Pradana
Dalam pengembangan komoditas ekspor, ada tiga aspek yang mesti dipenuhi, yakni kapasitas, kualitas, dan kontinuitas. Kendala agribisnis di DIY menurut Teguh tidak bisa memenuhi salah satu atau bahkan ketiga aspek tersebut.
Karena itu, dibutuhkan peta jalan atau strategi bisnis yang jelas. Kunci utama untuk mendorong kapasitas produksi menurutnya adalah dengan korporatisasi seperti mendorong pembentukan koperasi, BUMD, atau unit usaha bentuk lain.
“Sementara untuk meningkatkan kualitas dan kontinuitas perlu supervisi dari semua pihak,” ujar Teguh Setiadi.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY, Sugeng Purwanto, juga mengatakan bahwa sampai saat ini komoditas pertanian di DIY masih kesulitan untuk memenuhi standar kapasitas dan kontinyuitas produksi. Komoditas salak misalnya, sebagian besar pohon salak milik petani di Sleman menurutnya sudah berusia di atas 20 tahun sehingga produktivitasnya turun. Untuk menjaga kapasitas produksi, mulai tahun depan pemerintah mulai melakukan peremajaan tanaman salak pondoh di Sleman.
ADVERTISEMENT
Hal sama terjadi pada produksi gula semut. Peremajaan pohon kelapa di DIY menurutnya juga sangat lambat, di samping jumlah pengrajin yang dari tahun ke tahun terus menurun.
“Kalau hanya metik kelapa mungkin banyak, tapi kalau nderes ini perlu keahlian khusus. Celakanya ini juga mulai berkurang,” ujar Sugeng Purwanto.
Kontinuitas juga jadi persoalan besar. Jika diminta untuk menyuplai salak 10 ton satu kali, Sugeng optimis masih bisa memenuhi. Tapi jika diminta menyuplai salak 5 ton tiap bulan, dia pesimis bisa memenuhi.
Masalah Menahun, Padahal Jogja Gudangnya Pakar
Pengasuh Yogya Semesta, Hari Dendi. Foto: Widi Erha Pradana
Pengasuh Yogya Semesta, Hari Dendi, mengatakan bahwa masalah kapasitas, kualitas, dan kontinuitas komoditas pertanian di DIY adalah masalah yang sudah terjadi sejak bertahun-tahun silam. Hari menyayangkan, masalah itu tidak segera diselesaikan, mengingat Yogya punya semua pakar yang dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
“Masalah 3K (kapasitas, kualitas, dan kontinuitas) ini sudah bertahun-tahun saya mendengar, tapi kok enggak ada solusinya?” kata Hari Dendi.
Persoalan penyediaan benih juga masih jadi PR besar. Ahli-ahli pertanian yang ada di DIY mestinya bisa dikerahkan untuk menemukan benih-benih unggul melalui rekayasa genetika misalnya. Hal ini juga yang dilakukan negara-negara lain seperti Thailand, China, atau Vietnam untuk meningkatkan produksi mereka.
Dia mencontohkan, sekitar 20 tahun yang lalu, di Yogya sudah ada perbincangan untuk mengawinkan kopi arabika dengan robusta menjadi kopi arabusta. Dengan keunikan tersebut menurut dia punya potensi melahirkan benih kopi baru yang bisa bersaing dengan kopi-kopi yang sudah ada.
Pusat pembenihan Jogja, atau Jogja Seed Center yang sudah dibangun sejak 2008 silam, juga tidak terlihat perkembangannya sampai saat ini. Bahkan, seperti menghilang karena mati segan, hidup tak mau. Padahal mestinya Jogja Seed Center bisa jadi solusi untuk mengatasi persoalan kapasitas, kualitas, dan kontinuitas yang selama bertahun-tahun tak bisa diselesaikan.
ADVERTISEMENT
“Karena keberhasilan benih itu berarti 50 persen keberhasilan produk, dan harga 1 kg benih itu 10 kali harga komoditasnya. Ini kan bukan main, Jogja punya pemikir-pemikir, tapi kenapa kondisinya seperti ini?” kata Hari Dendi. (Widi Erha Pradana / YK-1)