Pertanian Tembakau Indonesia Kalah Jauh dari China dan Negara ASEAN

Konten Media Partner
6 Oktober 2021 16:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kalah luasan lahan dan kalah produktivitas sehingga pertanian tembakau di Indonesia kalah total dalam kapasitas produksi.
Pertanian tembakau Puji Hardono, 70 tahun, di lahan seluas 1.000 meter di Padukuhan Karangdadap II, Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul. Foto: Widi Erha Pradana.
Meski telah menyumbang pendapatan yang besar untuk negara melalui negara hingga Rp 176 triliun pada 2020, namun pertanian tembakau Indonesia ternyata masih tertinggal dibandingkan produsen rokok luar negeri: kalah luasan lahan dan kalah produktivitas panen sehingga kalah total dalam kapasitas produksi.
ADVERTISEMENT
Secara nasional, luas lahan pertanian tembakau Indonesia sebesar 213 ribu hektar, jumlah ini masih kalah jauh dengan China yang setiap tahunnya menanam di atas lahan 3 juta hektar tembakau. Tingkat produktivitas pertanian tembakau Indonesia pun termasuk yang terendah di ASEAN. Thailand dan Filipina, sudah mampu menghasilkan produktivitas hingga 2 ton per hektar, sedangkan Indonesia baru di kisaran 0,45 hingga 1,3 ton per hektar.
Di pasar dunia, produksi tembakau Indonesia juga hanya berada di peringkat lima dengan produksi per tahun sekitar 196 ribu ton atau hanya 2,78 dari produksi dunia. Di peringkat pertama ada China dengan hampir 3 juta ton, disusul Brazil dengan 862 ribu ton, lalu India 720 ribu ton, serta AS sebesar 397 ribu ton.
ADVERTISEMENT
“Makanya Indonesia masih impor tembakau, rata-rata impor mencapai 156 ribu ton per tahun dengan nilai 572 juta dolar AS,” kata Peneliti Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Kementerian Pertanian, Djajadi, dalam seminar daring yang diadakan oleh Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, akhir pekan lalu.
Lahan pertanian tembakau siluk di Selopamioro, Bantul, DIY. Foto: Widi Erha Pradana.
Adapun jenis tembakau yang diimpor adalah tembakau Virginia, mencapai sekitar 70 persen dari total impor. Sebab, tembakau ini merupakan bahan utama untuk isian rokok kretek maupun rokok putih.
Djajadi mengatakan, ada dua hal utama yang membuat produktivitas tembakau di Indonesia masih relatif paling rendah dibandingkan negara-negara di ASEAN. Persoalan utama adalah keterbatasan luas areal tanam yang dimiliki petani.
Selain itu, petani juga belum menerapkan teknik budidaya yang tepat atau good agricultural practices (GAP). Umumnya, petani tembakau dalam melakukan budidaya masih berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun temurun. Padahal, penerapan teknik budidaya yang tepat dapat menjadi solusi dari terbatasnya lahan yang tersedia.
ADVERTISEMENT
Prinsip pertanian GAP merupakan teknologi budidaya untuk menghasilkan produksi dan mutu yang optimal dengan berbasis pada kelestarian lingkungan dan kesehatan makhluk hidup.
“Prinsip dasarnya adalah pelestarian lingkungan dan tidak merugikan makhluk hidup yang lain,” ujarnya.
Dengan begitu, teknik budidaya berbasis GAP ini mencakup sejumlah aspek mulai dari pembibitan, pengolahan tanah, pemupukan, pengelolaan organisme pengganggu tanaman, panen, serta pemrosesan tembakau.
Proses pengeringan tembakau silau dengan mengandalkan panasnya sinar matahari. Foto: Widi Erha Pradana.
Tembakau sampai saat ini memang masih jadi komoditas pertanian yang kontroversial. Di satu sisi, komoditas ini telah menyumbang pendapatan yang besar untuk negara maupun petani. Tapi di sisi lain, tembakau juga dianggap merugikan kesehatan.
Namun, sebenarnya tembakau tidak hanya bisa dijadikan sebagai bahan pembuatan rokok. Tembakau juga bisa digunakan untuk pembuatan parfum dan biofarmaka.
ADVERTISEMENT
“Saat ini kami sedang bekerja sama dengan Hiroshima University untuk mengembangkan tembakau sebagai bahan dasar parfum, kemudian akan diekstrak senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai bahan obat,” ujar Djajadi.
Dengan banyaknya variasi pemanfaatan tembakau, harapannya komoditas ini bisa memberikan manfaat yang lebih luas dan perlahan menghilangkan berbagai kontroversi yang selama ini ada di tengah masyarakat. (Widi Erha Pradana / YK-1)