Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Prediksi Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Tak Akan Lagi Utamakan Infrastruktur
23 November 2024 15:08 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Dalam Forum PRAKSIS Seri Ke-3 di Jakarta pada Jumat (22/11), Pakar Hubungan Internasional lulusan Beijing dan Sydney, Klaus Heinrich Raditio memaparkan analisis mendalam mengenai arah kebijakan luar negeri Presiden Prabowo Subianto. Diskusi bertema "Prediksi dan Harapan Kebijakan Luar Negeri Prabowo" ini membahas berbagai tantangan dan peluang bagi Indonesia di tengah dinamika geopolitik global yang terus berkembang.
ADVERTISEMENT
Forum PRAKSIS selama ini dikenal sebagai lembaga riset dan advokasi yang berfokus pada isu-isu hak asasi manusia, keadilan sosial, demokrasi, dan rekonsiliasi sosial.
Sebagai pembuka paparannya, Klaus Heinrich Raditio mengungkapkan bahwa di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, hubungan Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengalami peningkatan signifikan, dengan delapan kunjungan resmi Jokowi ke RRT dan pertemuan sebanyak 18 kali dengan Presiden Xi Jinping.
Hubungan ini menjadikan Tiongkok sebagai mitra dagang dan investor utama Indonesia. Namun, di era Presiden Prabowo, fokus hubungan tersebut diprediksi akan bergeser dari infrastruktur ke upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, seperti ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan.
“Presiden Prabowo kemungkinan besar akan menerapkan kebijakan luar negeri yang lebih berimbang, tetap mengedepankan prinsip bebas aktif Indonesia,” ujar Klaus.
Salah satu prioritas pemerintah adalah alokasi anggaran besar untuk program strategis, seperti pemberian makanan bergizi gratis bagi anak sekolah dan ibu hamil, sebagai upaya menyelaraskan kebutuhan domestik dengan agenda internasional.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Klaus membahas dinamika hubungan trilateral Indonesia, Amerika Serikat (AS), dan RRT. Dengan kembalinya Donald Trump sebagai Presiden AS, hubungan ekonomi global diperkirakan akan menghadapi tantangan baru, termasuk potensi penerapan tarif tambahan terhadap impor dari Tiongkok.
"Kondisi ini dapat memengaruhi hubungan ekonomi Indonesia dengan kedua negara tersebut," terang Klaus Heinrich Raditio.
Meski Indonesia dan AS telah menjalin Kemitraan Strategis Komprehensif, substansi hubungan ini dinilai masih lemah, terutama dalam pengelolaan mineral kritis. Sebaliknya, Indonesia diharapkan terus mempererat hubungan dengan Tiongkok, khususnya dalam mendukung agenda hilirisasi nikel dan pengembangan kendaraan listrik.
Indonesia, menurut Klaus, juga diproyeksikan akan memperkuat peran di forum multilateral seperti ASEAN dan menjadi mediator aktif dalam konflik Laut China Selatan. Selain itu, posisi diplomatik Indonesia di panggung global diyakini akan semakin kuat melalui advokasi isu-isu dunia Islam, seperti Palestina.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks BRICS, Klaus menyoroti peluang Indonesia untuk mendiversifikasi transaksi internasional dan mengurangi ketergantungan pada dolar AS, sebagai bagian dari strategi memperluas opsi diplomatik dan ekonomi di tengah perubahan global.
“Presiden Prabowo memiliki peluang besar untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional melalui diplomasi yang berimbang, inovatif, dan tetap berorientasi pada kesejahteraan rakyat,” tutup Klaus.