Konten Media Partner

Pria Jogja Tulen Sunat di Juru Supit Bogem, Dekat Candi Prambanan

19 Oktober 2021 17:06 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Bagi pria Jogja, menjadi alumni Juru Supit Bogem, sebuah klinik sunat di barat Candi Prambanan adalah sebuah "pride" karena klinik ini adalah tempat sunat langganan para pangeran.
Juru supit Bogem di barat Candi Prambanan. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Juru supit Bogem di barat Candi Prambanan. Foto: Widi Erha Pradana
Dengan percaya diri, Andri Prasetyo mengatakan bahwa dirinya adalah alumni Juru Supit Bogem, sebuah klinik sunat di daerah Kalasan, Sleman, tak jauh di barat Candi Prambanan. Bagi Andri, yang kini sudah jadi seorang pimpinan di sebuah perusahaan otomotif di Yogya, sunat di Bogem adalah suatu kebanggaan. Pride.
ADVERTISEMENT
“Di Bogem lah, Jogja tulen harus (sunat) di Bogem,” kata Andri, Rabu (13/10).
Masih jelas di ingatannya, bagaimana ketika usianya belum genap 10 tahun, Juru Supit Bogem begitu populer di kalangan anak laki-laki sebayanya. Setiap ada teman mereka yang mau sunat, pertanyaan pertama yang akan dilontarkan adalah “di Bogem enggak?”.
Saat itu, Andri sebenarnya tak tahu apa yang jadi keunggulan klinik sunat itu. Tapi karena semua anak laki-laki membicarakannya, maka Juru Supit Bogem telah melekat di benaknya sebagai tempat sunat terbaik. Juru Supit Bogem menjadi impian anak-anak sebayanya untuk menjadikan mereka sebagai pria dewasa sejati.
“Kalau enggak, kayak ada yang kurang. Rasanya kurang keren,” lanjutnya.
Apalagi saat itu Juru Supit Bogem dikenal sebagai tempat sunat yang tidak menyakitkan dan cepat sembuh. Bagi tiap anak laki-laki, sunat memang jadi salah satu momok menakutkan dalam hidup, hingga muncul sebuah anekdot ‘saking sakitnya sekali aja udah kapok’. Tak heran, ketika mendengar sunat di Bogem tidak sakit dan cepat sembuh, Andri langsung mantap untuk sunat di tempat itu.
ADVERTISEMENT
“Kalau enggak (sunat) di situ, enggak mau,” ujarnya mengenang masa kecilnya.
Benar saja, Andri hampir tak merasa sakit seperti yang sering dia dengar sebelumnya. Hanya perih-perih sedikit, dan itu wajar. Masih jauh lebih sakit dipukul penggaris oleh gurunya. Dan hanya dalam tiga hari, dia sudah bisa ikut main sepak bola lagi dengan teman-temannya.
“Makanya waktu anak saya sunat juga langsung di Bogem, enggak perlu mikir lagi,” kata Andri Prasetyo.
Tempat Sunat Para Pangeran
Budi Harjanto. Foto: Widi Erha Pradana
“Bukan hanya bawa anaknya, banyak yang bawa cucunya ke sini karena dulu mereka juga sunat di sini,” kata Budi Harjanto, salah seorang pewaris generasi kedua Juru Supit Bogem.
Budi tak tahu pasti, apa yang sebenarnya membawa orang-orang kembali ke Juru Supit Bogem membawa anak atau bahkan cucu laki-lakinya. Bahkan, terkadang ada yang meminta anaknya disunat di tempat tidur yang dia pakai dulu. Kata mereka, ingin nostalgia.
ADVERTISEMENT
Juru Supit Bogem juga tak pernah melakukan promosi secara terbuka. Bahkan mereka tak punya akun media sosial untuk melakukan promosi. Tapi, tetap saja orang-orang silih berganti datang dan pergi untuk mengkhitan anak laki-lakinya. Padahal, biaya sunat di Juru Supit Bogem relatif lebih tinggi dari tempat lain, dimana biaya sunat di Bogem saat ini Rp 750 ribu.
“Mungkin karena kami berusaha untuk beri pelayanan sebaik mungkin,” lanjutnya.
Ada yang membuat Juru Supit Bogem begitu masyhur, yakni karena menjadi langganan sunat para pangeran Keraton. Budi mengatakan, ini tidak lepas dari kiprah Raden Ngabehi Notopandoyo, sang ayah yang merupakan pendiri Juru Supit Bogem.
RN Notopandoyo, berguru langsung kepada seorang juru supit Keraton bernama Raden Penewu Sutadi Hadiwiyoto, salah satu juru supit paling terkenal di Yogyakarta pada masanya. Maka tak heran, jika RN Notopandoyo dipercaya untuk mengkhitan putra-putra kerajaan.
ADVERTISEMENT
“Keluarga Cendana, cucu Pak Harto, putranya Bu Tutut, juga sunat di sini, itu jadi sebuah kebanggaan tersendiri untuk kami,” ujarnya.
Hanya Digunting Lalu Dilipat
Foto: Widi Erha Pradana.
Juru Supit Bogem masih mengandalkan metode tradisional, tanpa laser seperti yang banyak dipakai sekarang. Kulit pada ujung kelamin tidak dipotong, melainkan hanya digunting lalu dilipat dan dijahit. Karena tak ada bagian yang dibuang, maka tak akan mengurangi ukuran, bahkan bisa jadi malah bertambah karena ciri khas Bogem adalah membentuk lipatan kulit menyerupai jengger ayam.
Metode itu juga yang dipakai oleh RN Notopandoyo ketika awal-awal membuka praktik sunat pada 1939, dan masih dipertahankan sampai sekarang.
Tapi ada satu kekuatan yang tidak boleh diabaikan, yakni doa. Ada doa-doa khusus yang selalu dipanjatkan oleh juru supit sesaat sebelum menyunat setiap anak. Intinya, doa itu berisi permohonan supaya rasa sakit si anak bisa diringankan dan kesembuhannya dipercepat.
ADVERTISEMENT
“Seperti motto kami kan begitu, tidak sakit, cepat sembuh. Doanya ya sampai rumah langsung sembuh,” ujar Budi Harjanto.
Tapi tetap saja, kesembuhan tergantung daya tahan tiap anak, meskipun normalnya dalam tiga hari lukanya sudah kering dan tidak perlu pakai perban lagi. Yang kadang membuat luka sunat pada anak lama sembuh justru orangtua mereka. Karena terlalu dimanjakan, misal disuruh tiduran terus, maka anak akan jadi cengeng atau manja, imbasnya lukanya akan lebih lama sembuh.
“Padahal waktu baru disunat langsung sepedaan juga enggak apa-apa. Yang penting tidak ada gerakan yang tiba-tiba,” ujarnya.
Seringkali, anak yang baru sunat juga tidak boleh makan ini dan itu. Padahal, sebenarnya itu hanya ketakutan orangtua saja. Meski baru selesai sunat, setiap anak tetap boleh makan makanan kesukaannya, kecuali yang membuatnya alergi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kebiasaan orang-orang dewasa menakut-nakuti anak yang mau sunat juga mesti dihilangkan. Sebab, meskipun tujuannya bercanda tapi itu akan membangun alam bawah sadar pada anak bahwa sunat itu sangat sakit, seperti digigit singa. Dan sugesti itu akan menjadi rasa sakit yang nyata.
“Bilang aja, sama dicubit masih sakit dicubit,” ujarnya.
Sunat Bukan Soal Agama
Foto: Pexels
Selama ini, sunat atau khitan identik dengan laki-laki muslim. Tapi, saat ini sunat sudah tidak memandang agama. Di Bong Supit Bogem, kata Budi juga banyak anak-anak non Islam seperti Kristen atau Katolik yang sunat di sana.
“Karena sekarang kesadarannya sudah berbeda, sunat itu untuk kesehatan,” ujarnya.
Sebelum pandemi, Juru Supit Bogem nyaris tak pernah sepi. Anak-anak dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri, datang ke sana untuk menjadi seorang lelaki sejati. Bahkan pada musim liburan sekolah, dalam sehari Juru Supit Bogem bisa melayani 150 sampai 200 anak.
ADVERTISEMENT
Namun siang itu Juru Supit Bogem lengang. Bangku-bangku yang biasanya dipenuhi keluarga dan kerabat pengantin sunat, kosong. Selama pandemi, mereka memang sengaja membatasi jumlah anak yang dilayani maksimal hanya 10 persen dari biasanya. Selain itu, karena berbagai pembatasan yang ada, orang-orang dari luar daerah menjadi sulit untuk datang.
Praktis, pendapatan juga turun. Tapi, Budi tidak mempersoalkan itu. Cukup atau tidak, itu tergantung bagaimana mereka mensyukuri. Mereka berpegang pada falsafah Jawa, eneng akeh pangan akeh, eneng sithik pangan sithik, ada banyak ya makan banyak, kalau adanya sedikit ya makan sedikit.
“Yang haram bagi saya itu merumahkan pegawai saat situasi sulit begini. Jadi susah ya susah bareng, seneng ya seneng bareng. Itu yang bikin kami bisa bertahan sampai sekarang,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT