Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Psikolog: Pelaku Klitih Dibalikin ke Keluarga, Padahal Masalahnya di Keluarga
24 Agustus 2022 15:44 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Guru Besar Psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Koentjoro Soeparno, mengungkapkan penyebab masalah kejahatan jalanan klitih di Yogyakarta yang tak kunjung bisa diselesaikan. Salah satunya adalah perlakuan terhadap pelaku klitih yang tidak tepat.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, banyak pelaku klitih yang mayoritas masih remaja hanya dikembalikan kepada orangtua jika mereka tertangkap dengan alasan masih di bawah umur.
“Mereka itu dikembalikan kepada keluarga, padahal sumber masalahnya justru di keluarga,” kata Koentjoro Soeparno dalam diskusi terkait penanganan klitih di Yogyakarta yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UGM, Selasa (23/8).
Hampir semua pelaku klitih berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Misalnya orangtuanya cerai, atau sering berantem di dalam keluarga. Atau, misalkan orangtuanya tidak cerai, biasanya anak-anak pelaku klitih kurang mendapat perhatian orangtuanya karena sibuk bekerja. Akibatnya, dia mencari perhatian di tempat lain salah satunya dengan cara melakukan kejahatan jalanan.
“Tidak harus ekonominya lemah, tapi yang pasti keluarganya itu tidak bisa mendidik anak dengan baik,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi masyarakat seperti ini, menurut Koentjoro sangat dibutuhkan peran ketua RT dan RW. RT dan RW menurut dia ibarat lembaga sosial atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berfungsi menjaga kerukunan dan stabilitas masyarakat di tingkat mikro.
Namun realitanya, ternyata peran RT dan RW dalam penanganan kejahatan jalanan klitih menurut dia sama sekali tidak terlihat.
“Sekarang kalau ada anak-anak nakal di tetangga kita, malah dijauhi. Seharusnya didatangi, ditanya apa persoalannya, apa yang bisa dibantu selesaikan. Itu bukan hanya masalah klitih saja, tapi permasalahan sosial lain,” ujarnya.
Koentjoro juga menyoroti minimnya ruang-ruang publik yang bisa menjadi tempat anak-anak muda berkreasi. Tak seperti beberapa dekade silam, menurutnya masyarakat yang memiliki lahan kosong banyak digunakan untuk lapangan voli, bulu tangkis, dan sebagainya. Tempat-tempat itu kemudian menjadi ruang bagi anak-anak muda melampiaskan agresivitas mereka.
ADVERTISEMENT
“Sekarang enggak ada, kalau saya mau latihan bayar. Gim, futsal, semuanya bayar,” kata Koentjoro.