Psikolog UGM Sebut Hanya 1 SMA di Yogya yang Tak Punya Geng Pelajar, SMA Mana?

Konten Media Partner
25 Agustus 2022 16:37 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi siswa sekolah SMA. Foto: Kemendikbud
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siswa sekolah SMA. Foto: Kemendikbud
ADVERTISEMENT
Guru Besar Psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang banyak melakukan penelitian tentang aksi kejahatan jalanan di Yogyakarta, Koentjoro Soeparno, mengatakan hampir semua sekolah menengah atas di Kota Yogyakarta memiliki geng pelajar. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri jumlah sekolah yang tak memiliki geng pelajar menurut dia bisa dihitung jari.
ADVERTISEMENT
“Di Yogyakarta setahu saya hanya satu sekolah yang tidak punya geng, yaitu SMA 1 Yogyakarta,” kata Koentjoro Soeparno di dalam diskusi tentang penanganan klitih di Yogyakarta yang diselenggarakan BEM UGM, Selasa (23/8).
Banyaknya geng pelajar di Yogya (bahkan hampir semua sekolah memiliki geng), menjadi salah satu penyebab maraknya kekerasan jalanan di Yogyakarta, terutama tawuran antarpelajar. Sebab, seringkali geng-geng pelajar tersebut mengalami gesekan yang berujung pada aksi tawuran.
“Sekolah lain, semuanya ada (geng pelajar),” lanjutnya.
SMA Negeri 1 Yogyakarta. Foto: SMAN 1 Yogyakarta
Sebagai wadah berekspresi pelajar, sebenarnya sudah cukup banyak event-event untuk pelajar yang digelar di Yogyakarta. Misalnya kompetisi basket, futsal, hingga event-event kesenian yang bisa diikuti oleh para pelajar.
Namun yang perlu menjadi perhatian menurut Koentjoro, seringkali event-event tersebut justru yang memicu gesekan antargeng pelajar tersebut. Bentrokan atau tawuran pelajar, seringkali terjadi karena persaingan antarsekolah dalam suatu perlombaan.
ADVERTISEMENT
“Hati-hati, kalau dalam bahasa psikologi, perlombaan antarsekolah itu memupuk sense of belonging, siapa yang termasuk kelompok saya dan siapa yang bukan kelompok saya,” ujarnya.
Perlombaan atau kompetisi antarsekolah, menurut dia akan memunculkan fanatisme terhadap kelompoknya sendiri, sekaligus sentimen terhadap kelompok lain.
“Sehingga yang terjadi sama seperti keributan antarsuporter,” kata dia.
Tak berhenti di tawuran antarpelajar, seringkali anggota-anggota geng sekolah ini juga menjadi pelaku kejahatan jalanan klitih. Mereka sengaja membuat teror di tengah masyarakat untuk menunjukkan eksistensi kelompoknya.
“Karena itu, geng-geng pelajar ini harus jadi perhatian serius pemerintah, dan sekolah juga harus bertanggung jawab dengan geng pelajar di sekolahnya, jangan malah lepas tangan dengan alasan perbuatan itu dilakukan di luar sekolah,” kata Koentjoro Soeparno.
ADVERTISEMENT