Puasa Kuda Malioboro Jogja, Sudah Pandemi Ramadhan Pula

Konten Media Partner
19 April 2021 21:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Siti menunggu pelanggan datang. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Siti menunggu pelanggan datang. Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Siti sudah hampir dua jam menunggu penumpang, tersengat terik matahari langit Malioboro. Badannya terlihat agak kurus dengan tulang yang agak menonjol. Di punggungnya tampak seberkas luka yang belum kering.
ADVERTISEMENT
Kepalanya menggeleng ke kanan dan kiri, seperti sedang menanti wisatawan yang ingin diantarkan keliling Malioboro atau ke Keraton Yogyakarta. Sesekali mulutnya tampak mengunyah, padahal tak ada makanan di mulutnya. Hanya ada air liur yang selalu menetes setiap mulutnya terbuka.
Siti adalah satu dari sedikit kuda penarik andong yang siang itu mangkal di Malioboro. Seperti sudah menjadi aturan tidak tertulis, setiap bulan Ramadhan, orang yang naik andong atau delman selalu menurun drastis. Lagipula, siapa juga yang mau jalan-jalan saat puasa saat matahari sedang panas-panasnya. Lebih baik ibadah saja di kamar: tidur.
Apalagi kali ini bukan sekadar puasa, tapi ada juga pandemi yang sudah tentu membuat rezeki semakin seret. Meski sudah tahu bakal sulit mendapatkan penumpang, namun Paino, 40 tahun, majikan Siti, tetap memilih berangkat dinas ke Malioboro bersama kuda kesayangannya itu. Mereka membelah padatnya jalan raya Yogya dari Kotagede menuju Malioboro. Katanya, rezeki tidak ada yang tahu.
ADVERTISEMENT
“Kalau puasa begini memang sepi banget mas, bisa narik sekali dua kali sudah bagus banget. Kalau enggak kepepet benar pada enggak keluar narik,” kata Paino berbahasa Jawa, Kamis (15/4).
Menurut Paino, sudah banyak kusir andong yang tumbang terdampak pandemi. Dari sekitar 540 kusir, sekarang tak sampai 400 orang yang masih bertahan. Dan yang masih aktif setiap hari, tak sampai seratus.
Situasi semakin sulit ketika bulan Puasa seperti sekarang. Wisatawan yang sudah sedikit, menjadi lebih sedikit lagi. Pendapatan yang tak seberapa, otomatis makin berkurang, bahkan tidak jarang Paino dan Siti pulang tanpa mendapatkan pelanggan satupun.
“Sering kalau sekarang, apalagi puasa kayak gini,” ujarnya.
Sayangnya Siti bukan mobil atau sepeda motor, yang jika tidak dibawa pergi tak butuh biaya untuk bensin. Siti adalah kuda kesayangan Paino, yang kerja atau tidak tetap butuh pakan. Dalam sehari, sedikitnya Paino harus mengeluarkan uang Rp 60 ribu untuk pakan Siti yang terdiri atas rendeng (daun kacang tanah) dan dedak.
ADVERTISEMENT
“Itu enggak bisa ditawar, bagaimana caranya harus dicarikan,” lanjutnya.
Rp 60 ribu tentu bukan nilai yang kecil di tengah situasi seperti ini, yang bahkan untuk makan Paino dan keluarganya saja kadang tak ada. Hal itu yang menurut Paino membuat banyak kusir andong memilih menjual kuda kesayangan mereka karena tak mampu lagi menghidupinya. Daripada kuda mereka ikutan puasa karena tak ada ongkos untuk beli pakan.
Ketimbang mati kelaparan, lebih baik dijual ke orang yang memang bisa mengurusnya. Atau jika sedang sial, kuda-kuda itu berakhir di tempat penjagalan. Dan Paino tidak bisa membayangkan jika Siti, kuda kesayangannya, harus berakhir di tempat penjagalan.
“Bagaimanapun caranya tetap tak carikan (pakan), ya buruh tani, ya bangunan, seadanya mas,” kata Paino.
ADVERTISEMENT
Larangan Mudik Bikin Nasib Siti Makin Suram
Paino. Foto: Widi Erha Pradana
Paino makin resah ketika mendengar berita pemerintah akan kembali melarang masyarakat untuk mudik lebaran mendatang. Padahal dia berharap liburan panjang lebaran akan jadi pundi-pundi rezeki baginya dan Siti. Tapi sepertinya, kemuraman nasib Paino dan Siti, serta kuda-kuda yang ada di Malioboro masih akan lebih panjang.
“Ini kan sudah setahun, mbok ya enggak usah dilarang-larang lagi, kan sudah vaksin juga,” kata Paino.
Menurut dia, masa liburan panjang selalu mendatangkan rezeki lebih besar. Misalnya liburan natal dan tahun baru kemarin yang membuat Malioboro ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah. Dalam sehari, Paino dan kusir lainnya bisa membawa pulang uang hingga Rp 1 juta.
Dengan penghasilan yang lumayan itu, tentu Siti dan kuda-kuda lain bisa sesekali makan enak, plus vitamin supaya mereka lebih sehat dan bertenaga.
ADVERTISEMENT
“Tapi kalau dilarang-larang terus kayak gini ya enggak bakal (bertahan) lama, pasti semakin banyak yang tumbang,” ujarnya.
Nasib Siti kini menjadi yang paling menjadi keresahan Paino. Untuk urusan makan, dia dan keluarganya masih bisa menyiasatinya dengan makanan seadanya. Namun Siti, dia harus diberi pakan yang layak, tidak bisa ditawar-tawar.
“Kalau sampai sakit kan enggak bisa kerja, bagaimanapun Siti ini kan sumber rezeki kami juga,” kata Paino sembari mengelus punggung Siti.
Harus Pandai Mengelola Keuangan
Kuda Sangkuriang. Foto: Widi Erha Pradana
Tak jauh dari Paino dan Siti, Trikoyo, 58 tahun dan kuda kesayangannya, Sangkuriang juga masih menunggu ketidakpastian. Berharap ada wisatawan yang membutuhkan tenaganya untuk mengantarkan ke Keraton atau keliling Malioboro.
Trikoyo dan Sangkuriang belum lama tiba di Malioboro. Mereka berdua datang dari Jambidan, Pleret, Bantul. Butuh waktu setengah jam lebih untuk keduanya supaya bisa sampai di Malioboro.
ADVERTISEMENT
Dibandingkan Siti, Sangkuriang tampak lebih sehat dan gemuk. Sesekali, dia juga berteriak, seolah sedang memanggil para wisatawan untuk diantarkan jalan-jalan. Tapi tampaknya ia masih harus lebih bersabar lagi.
Trikoyo bukannya tidak terdampak pandemi. Awalnya dia punya empat kuda, tapi karena pandemi yang berkepanjangan, membuatnya kewalahan mengurus keempat kudanya itu. Akhirnya, Trikoyo menjual tiga kudanya dan kini hanya tersisa Sangkuriang, kuda kesayangannya.
“Puasa begini tambah sulit lagi mas, sepi. Kemarin-kemarin saya juga enggak narik,” kata Trikoyo.
Siang itu, sebenarnya tujuan Trikoyo memang bukan untuk mencari penumpang. Dia paham betul, bukan perkara gampang cari penumpang di situasi begini. Namun jika Sangkuriang tidak diajak keluar, dia akan mengamuk.
“Karena biasa keluar, jadi stress kalau di kandang terus,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, jika terlalu lama di kandang, tubuh kuda juga akan jadi kaku dan gampang sakit. Karena itu, Trikoyo tetap membawa Sangkuriang keluar meski kecil kemungkinan bakal dapat penumpang. Lalu, bagaimana Trikoyo memenuhi kebutuhan pakan Sangkuriang?
“Ya kan nabung mas, harus nabung, pinter-pinter ngatur keuangan,” kata dia.
Situasi memang sulit, tapi menurutnya bukan berarti tidak ada rezeki sama sekali. Di saat liburan panjang dan banyak wisatawan, saat itulah saatnya mereka mencari penumpang sebanyak-banyaknya. Dengan begitu, uang yang didapatkan bisa dipakai untuk menutup biaya kebutuhan di masa-masa sulit begini.
“Sangkuriang ini satu-satunya punya saya sekarang, jangan sampai dijual lagi,” ujar Trikoyo.