Konten Media Partner

Rahasia Penciptaan Batik Parang oleh Pendiri Kerajaan Mataram Islam, Yogyakarta

12 Oktober 2021 14:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ini rahasia penciptaan batik parang yang jarang kamu ketahui.
Raja Kraton Yogya, Sri Sultan HB X menggunakan motif batik parang saat menerima sembah ngabekti. Foto: Kratonjogja.id
zoom-in-whitePerbesar
Raja Kraton Yogya, Sri Sultan HB X menggunakan motif batik parang saat menerima sembah ngabekti. Foto: Kratonjogja.id
Ada sangat banyak jenis batik asli Yogyakarta, salah satunya adalah batik parang. Batik motif parang merupakan salah satu motif kebesaran di Keraton Yogyakarta Hadiningrat, dan hanya dipakai raja pada acara jumenengan atau acara-acara formal di dalam keraton.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya, ada banyak sekali variasi dari motif batik parang. Dari ratusan jenis batik parang, dua yang paling terkenal adalah parang rusak dan parang barong.
Perancang busana profesional yang fokus pada busana batik dan kebaya, Era Soekamto, menjelaskan, bahwa batik parang rusak merupakan ciptaan Panembahan Senopati, sang pendiri Kerajaan Mataram Islam, di Yogyakarta tahun 1582 Masehi.
Ketika sedang bertapa di Pantai Parangkusumo, Panembahan Senopati melihat ombak yang terus menerus menabrak karang yang sangat besar hingga karang tersebut menjadi berlubang.
Dari apa yang dilihat, Panembahan Senopati mendapat inspirasi untuk membuat sebuah motif batik yang dinamakan parang. Kata parang berasal dari pereng, yang artinya lereng atau tebing.
“Ini adalah simbol bahwa pemimpin harus istiqomah menggunakan soft power-nya, tidak menggunakan nafsu, ego, dan keinginan. Dari situ, dengan lemah lembut akan terus menerus dan mencapai tujuan,” kata Era Soekamto dalam Webinar Museum dan Batik, dari Jogja untuk Dunia yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan DIY, Sabtu (2/10).
Era Soekamto. Foto: Widi Erha Pradana
Oleh penerusnya yang dianggap sebagai raja terbesar Mataram Islam, Sultan Agung, motif parang ini kemudian dikembangkan menjadi motif parang barong dengan motif lebih besar. Sultan Agung juga membuat konsep motif-motif larangan untuk menunjukkan status sosial, misalnya parang dengan motif besar dipakai oleh raja, sedangkan ratu menggunakan motif yang lebih kecil dari raja.
ADVERTISEMENT
“Parang barong ini dibuat khusus untuk pemimpin, karena barong itu artinya singa, kekuatan jadi diharapkan dapat menjadi lambang bagi seorang pemimpin,” ujarnya.
Sampai hari ini, batik parang merupakan salah satu batik yang disakralkan. Batik ini merupakan pakaian khusus raja dan keluarga keraton sehingga tidak boleh dikenakan oleh masyarakat biasa saat berada di dalam keraton. Bukan karena jika memakainya bisa kualat, tapi karena makna yang terkandung dalam motif parang membuatnya tidak tepat jika dipakai oleh masyarakat biasa.
Ya, ada sejumlah batik larangan yang tidak boleh dikenakan di dalam Keraton Yogya, di antaranya adalah parang rusak barong, parang rusak gendreh, parang klithik, semen gedhe sawat gurdha, semen gedhe sawat lar, udan liris, rujak senthe, parang-parangan, cemukiran, kawung, dan huk.
ADVERTISEMENT
Keyakinan akan adanya kekuatan spiritual serta makna filosofis yang terkandung di dalamnya membuat batik-batik ini ditetapkan sebagai batik larangan. Motif batik juga dipercaya dapat menciptakan suasana religius dan memancarkan aura magis sesuai dengan makna yang terkandung di dalamnya.
“Karena itu, beberapa motif terutama yang punya nilai falsafah tinggi dinyatakan sebagai batik larangan, dan batik parang termasuk yang memiliki nilai falsafah tinggi,” kata Era Soekamto. (Widi Erha Pradana / YK-1)