Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Randu Alas Misterius Jadi Sumber Kehidupan dan Pelindung Dusun Cibuk, Sleman
email: [email protected]
16 Agustus 2020 14:40 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sesekali kembang randu alas bermahkota jingga jatuh ke tanah. Jalan di bawah pohon randu alas yang tingginya nyaris 30 meter itu menjelma seperti jalanan di Jepang saat musim gugur. Bedanya, bukan daun maple yang tersebar di sepanjang jalan, melainkan bunga randu alas yang memesona.
ADVERTISEMENT
Dari jalan raya yang jaraknya ratusan meter, pohon randu alas di Makam Si Randu Padukuhan Cibuk Lor 1, Desa Margoluwih, Sayegan, Sleman itu sudah terlihat jelas, menjulang tinggi seolah menjadi pelindung pohon-pohon lain di sekitarnya. Batang utamanya yang sangat besar memperlihatkan bahwa usia pohon itu sudah sangat tua. Semakin ke atas, batangnya menggurita, bercabang menjadi puluhan batang besar ke segala arah.
“Dulu pernah iseng dikelilingi pakai tangan, 20 orang muter ternyata ndak cukup, masih kurang,” kata Suparyo, 54 tahun, tokoh masyarakat setempat sekaligus Ketua RT 04 RW 19, Jumat (14/8).
Sayangnya, saat ini tak ada satupun yang tahu asal-usul pohon bernama latin Bombax ceibalinn yang tumbuh besar di Cibuk Lor itu. Orangtua, kakek nenek, hingga simbah buyutnya juga tidak pernah bercerita banyak soal asal-usul pohon besar itu.
ADVERTISEMENT
“Ndak tahu itu tumbuh sendiri atau ditanam, orang-orang tua dulu juga ndak ada yang tahu, tahunya ya sudah ada randu alas itu. Dari saya kecil sampai sekarang, ya sudah seperti itu,” lanjutnya.
Suparyo beberapa kali juga telah menanyakan sejarah awal mula pohon randu alas di Padukuhan Cibuk Lor itu. Tapi jawabannya selalu sama, mereka juga menjawab bahwa sejak kecil si randu alas sudah sebesar itu.
“Ya sebenarnya sayang juga ndak ada yang tahu sejarahnya,” ujar Suparyo.
Menjadi Penanda Musim
Musim-musim kemarau seperti sekarang, biasanya antara Juni sampai September, randu alas di Padukuhan Cibok Lor memang selalu dihiasi oleh bunga-bunga bermahkota merah yang sangat indah. Sebelum bunga-bunganya bermekaran, pohon randu alas lebih dulu akan menggugurkan daunnya.
ADVERTISEMENT
“Nanti kalau sudah mau hujan, daun-daun mudanya mulai muncul lagi,” ujar Suparyo.
Siklus itu terjadi sepanjang tahun. Nanti, ketika memasuki musim kemarau lagi, daun-daun randu alas akan mulai berguguran lagi dan digantikan oleh bunga-bunganya yang indah.
Dulu, kata Suparyo, siklus yang terjadi pada randu alas ini dijadikan penanda oleh para petani kapan harus menanam. Ketika daun-daun muda randu alas mulai bersemi, maka petani mulai siap-siap untuk menanam, karena tidak lama lagi musim penghujan pasti akan tiba.
“Tapi sekarang sudah susah mas. Musimnya sudah kebolak-balik, susah diprediksi,” ujarnya menyayangkan.
Pelindung dan Sumber Kehidupan
Sejuk dan teduh adalah aura yang akan dirasakan oleh siapapun yang lewat di bawah pohon randu alas. Itu juga yang dirasakan oleh masyarakat di sekitarnya. Tidak hanya ketika daunnya sedang lebat-lebatnya, saat daunnya sedang gugur semua seperti sekarang, udara di sekitarnya bahkan terasa lebih dingin, terutama ketika malam hari.
ADVERTISEMENT
“Justru malah makin dingin, saya juga ndak tahu kenapa bisa begitu,” kata Suparyo.
Tak hanya kesejukan dan keteduhan, randu alas yang berdiri gagah itu juga menjadi pelindung masyarakat di sekitarnya dari tiupan angin kencang. Kata Suparyo, efek adanya randu alas itu sangat terasa. Ketika daerah-daerah lain di dekat Padukuhan Cibuk Lor diterjang angin kencang, di sekitar pohon randu alas hal serupa tidak pernah terjadi.
“Itu terasa sekali, sampai sekarang belum pernah ada angin kencang. Jadi yang di kanan kirinya itu dilindungi, pohonnya itu nahan angin mas,” lanjutnya.
Manfaat lain yang paling dirasakan masyarakat di sekitar randu alas adalah ketersediaan air tanah yang melimpah. Ketika musim penghujan, kedalaman tanah satu meter saja sudah bisa ditemukan mata air. Sementara di musim kemarau seperti sekarang, kedalaman satu setengah meter sudah bisa ditemukan mata air.
ADVERTISEMENT
“Makanya kalau musim hujan, orang sini itu pada ndak berani memakamkan di makam sini, karena pasti nanti liangnya penuh sama air,” ujarnya.
Akar-akar randu alas kata Suparyo memang sangat kuat menyerap dan menampung air di sekitarnya. Ketika sedang menggali liang kubur, sering kali cangkul yang digunakan mengenai akar-akar kecil randu alas. Ketika terpotong, dari akar itu mengalir air yang jernih layaknya mata air.
Selain menjadi pelindung dan sumber kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya, sekitar tahun 80an pohon randu alas menjadi rumah burung-burung gagak. Suparyo masih ingat betul, ada puluhan burung gagak yang bertengger di tiap batang pohon. Dia juga sering menemukan anak-anak burung gagak yang baru menetas dan terjatuh ke tanah.
ADVERTISEMENT
“Tapi sekarang sudah ndak ada mas. Diburu itu lho, ditembaki,” kata Suparyo menyayangkan.
Diselamatkan oleh Mitos
Seperti halnya pohon-pohon besar dan tua lainnya, randu alas di Padukuhan Cibuk Lor itu juga tidak lepas dari isu-isu mistik. Bahkan ada yang percaya bahwa roh Ki Ageng Mangir Wonoboyo bersemayam dan menjadi penunggu randu alas itu. Tak pelak, banyak orang-orang yang mengeramatkan randu alas raksasa itu, mengingat Ki Ageng Mangir Wonoboyo yang tidak lain adalah menantu sekaligus musuh Panembahan Senopati yang cukup disegani saat itu.
“Tapi orang sini biasa saja, jadi tidak gimana-gimana, yang sering mengeramatkan justru orang-orang dari luar,” ujar Suparyo.
Karena dianggap keramat, sering kali ada orang luar yang datang dan memasang sesaji di bawah pohon, terlebih ketika malam Jumat atau Selasa Kliwon. Mereka yang memasang sesaji biasanya karena memiliki hajat, misalnya akan menggelar jathilan, sebuah kesenian tradisional khas Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
“Itu tujuannya saya juga ndak tahu,” lanjutnya.
Ada juga mitos yang menyebutkan bahwa jika ada orang luar yang masuk ke Padukuhan Cibuk Lor dengan niat buruk, maka dia tidak akan bisa keluar lagi dari daerah itu. Tapi Suparyo membantah mitos itu.
Memang benar, orang luar yang baru datang ke Padukuhan Cibuk Lor kerap dibuat nyasar karena randu alas itu. Tapi bukan karena faktor-faktor mistis, melainkan karena orang tersebut tidak tahu arah mata angin dan menjadikan randu alas yang tinggi itu sebagai patokan atau navigasi. Karena bingung, dan mungkin mulai panik, maka orang itu hanya berjalan melewati jalan yang sama berulang kali, terlebih jalan di sekitar pohon randu alas itu memang cukup membingungkan untuk orang awam karena banyak percabangan.
ADVERTISEMENT
“Jadi dia muter-muter di situ saja, tapi bukan karena ada yang nyasarin. Sering kejadian macam itu,” lanjutnya.
Sekitar tahun 70-an, ketika Suparyo masih kecil, di dekat pohon randu alas juga terdapat pohon pule tua yang ukurannya sudah cukup besar. Pohon pule itu kemudian ada yang membeli, namun ketika ditebang hal aneh terjadi. Ketika hampir tumbang, orang yang sedang menebang tiba-tiba melihat ular besar di dekatnya. Seketika orang tersebut langsung memenggalnya menggunakan kampak, tapi ternyata ular yang dia lihat adalah kakinya sendiri.
“Darahnya langsung ngucur itu, saya waktu itu masih kecil disuruh cari bekicot buat ngobatin,” lanjutnya.
Dari kejadian itu, masyarakat semakin percaya bahwa pohon-pohon besar di sana, termasuk randu alas ada penunggunya. Beberapa tahun silam juga sempat ada orang yang bermaksud untuk menebang dan membeli pohon randu alas itu. Namun ketika bertemu dengan Kepala Dukuh setempat yang kini sudah meninggal dunia, orang tersebut langsung mengurungkan niat untuk membelinya.
ADVERTISEMENT
“Cuma ditanya sama Pak Dukuh, ‘kamu mau beli berapa? Memangnya sanggup menanggung risiko orang sedesa ini?.’ Terus ndak jadi,” ujarnya.
Orang-orang tua sebelum generasi Suparyo dulu memang kerap berpesan, agar tidak berlaku sembarangan di pohon randu alas itu, tanpa pernah memberi tahu apa alasannya. Dan itu dimaknai oleh generasi-generasi berikutnya bahwa pohon randu alas itu ada penunggunya. Tapi Suparyo justru bersyukur, dengan adanya cerita-cerita mistis tentang pohon randu alas, masyarakat jadi tidak berlaku seenaknya.
“Kalau ndak ada cerita-cerita seperti itu, mungkin randu alas itu tidak akan sampai sebesar sekarang ini, sudah ditebang pasti,” ujar Suparyo. (Widi Erha Pradana / YK-1)