Resto Steak Nyasar Market Nostalgia Mahasiswa Jogja 90-an, Beneran atau Gimmick?

Konten Media Partner
26 Januari 2024 17:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
The Obonk Steak & Ribs di Jalan Affandi Yogya tampak dari depan. Foto: Arif UT / Pandangan Jogja
zoom-in-whitePerbesar
The Obonk Steak & Ribs di Jalan Affandi Yogya tampak dari depan. Foto: Arif UT / Pandangan Jogja
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
The Obonk Steak & Ribs ingin memberikan pengalaman nostalgia bagi para mahasiswa Yogya yang ingin mengenang masa akhir 90-an makan steak di Yogya.
ADVERTISEMENT
Saat membaca pengakuan itu dari pengelola sebuah restoran steak, rasanya seperti membaca sebuah gimmict pemasaran saja. Sampai kemudian Pandangan Jogja benar-benar bertanya satu per satu pada konsumen The Obonk pada pekan kedua Januari 2024 ini.
Pandangan bertemu dengan Krisna dan Ririn yang membawa 2 anaknya. Keduanya baru mencoba The Obonk di Jalan Gejayan itu pertama kali. Keduanya bercerita saat masih pacaran di masa mahasiswa dulu, di tahun 2000-an, Krisna sering mengajak Ririn makan di The Obonk yang berada di dekat Samsat Jogja. Krisna kuliah di UPN dan Ririn kuliah di UGM.
“Dulu uang saku terbatas, tapi biasa kan cowok sok punya uang ngajak jalan makan steak, hahaa. Dulu kan steak adanya ya The Obonk, kayaknya belum ada yang lain deh,” kata Ririn, terkekeh.
Krisna dan Ririn. Foto: Arif UT / Pandangan Jogja
Hal serupa diungkapkan oleh Richard yang malam itu datang bersama keluarganya. Ia pelanggan The Obonk pada medio 1999-2000-an. Memang Richard seorang pelahap steak. Dan sejak The Obonk kembali buka beberapa waktu ini, ia telah lebih dari 5 kali makan di The Obonk.
ADVERTISEMENT
“Dari pacaran sekitar tahun 1999 sampai sekarang punya anak 3 balik lagi ke The Obonk. Saya tinggal di luar kota tapi ibu asli Jogja. Jadi kalau nengok ibu, saya berusaha sempatkan ke sini sama keluarga atau teman-teman. Sudah lebih 5-6 kali ke sini,” kata Richard.
Baik Krisna, Ririn, dan Richard mengaku The Obonk memang sebenar-benarnya nostalgia. Makan steak di era 2000-an adalah makan sesuatu yang sangat mewah. Bahkan sampai hari ini steak tetap menjadi hidangan mewah.
“Dulu uang terbatas sekarang sudah lumayan ada uang, jadi The Obonk ini seperti kena banget kenangannya. Maksain bisa makan steak kan dulu,” kata Krisna.
Ruang makan yang cozy di The Obonk Steak & Ribs. Foto: Arif UT / Pandangan Jogja
Krisna mengaku akan balik lagi makan di The Obonk versi baru di Jalan Gejayan ini. Ia selama ini berulangkali nyoba steak di Yogya tapi belum nemu yang pas antara rasa dan harga. Ada resto steak terkenal di Yogya yang ok di kualitas dagingnya tapi harganya di atas The Obonk.
ADVERTISEMENT
“Ini enak dengan harga yang affordable. Pasti balik lagi,” kata Krisna.
Sementara Richard kalau mampir The Obonk selalu pesan Tenderlion dan Sirloin Meltic dan merasa mendapatkan steak yang benar-benar meltic di resto nostalgia ini.
“Melticnya paling cocok di sini, favorit,” kata Richard.
Apakah Market Nostalgia Sebesar Itu?
Foto: Arif UT / Pandangan Jogja
The Obonk Stek & Ribs menempati bangunan dua lantai dengan tanah seluas 1600-an meter. Dengan arsitektur modern penuh kaca dan besi dan berada di Jalan Gejayan (Jalan Affandi No. 26), salah satu jalan utama di Jogja, tentu saja memerlukan investasi yang sangat besar. Apakah mengandalkan market nostalgia bisa menopang target pendapatan?
Manager Regional Waroeng Group, Heri Jatmiko, mengatakan Jogja adalah kota spesial dengan jumlah mahasiswa terbesar di Indonesia. Maka menjadikan nostalgia mahasiswa era 2000-an sebagai target market bukanlah gimmict semata melainkan lahir dari survei konsumen yang matang.
ADVERTISEMENT
“The Obonk di era akhir 90-an itu ramai, pelanggannya banyak. Dan mereka kini berusia akhir 30-an atau awal 40-an di awal kemapanan finansial mereka. Jadi memang marketnya besar,” kata Heri.
Manager Regional Waroeng Group, Heri Jatmiko,
Bahkan yang dulu belum pernah mencoba The Obonk karena keterbatasan finansial ataupun belum familiar dengan steak pun menurut Heri, memiliki nostalgia akan The Obonk.
“Nostalgianya, ini lho Ma, dulu ayah nggak bisa makan steak di The Obonk. Sekarang bisa, di The Obonk yang baru, alhamdulillah.”
“Dan ingat, yang nostalgia tidak hanya yang tinggal di Jogja. yang tinggal di luar kota pun kan sering wisata ke Jogja. Jadi marketnya sebenarnya nostalgia bagi seluruh mahasiswa Jogja era akhir 90-an di seluruh Indonesia,” terang Heri.
ADVERTISEMENT
Konsep Resto yang Mewah
Foto: Arif UT / Pandangan Jogja
The Obonk Steak & Ribs di bawah manajemen Waroeng Group hadir dengan konsep yang baru, yakni restoran yang mewah, keren, dengan parkiran luas dan nyaman.
Hal tersebut menurut Heri bukan tanpa alasan. Jika menghadirkan kembali nostalgia dalam bentuk The Obonk yang awal (cukup sederhana), hal itu tak sesuai dengan target market steak daging kualitas tinggi yang segmennya adalah menengah atas. Maka, resto The Obonk versi baru dibuat demi kenyamanan segmen target tersebut.
Sehingga, market The Obonk Steak & Ribs sebenarnya jauh lebih luas dari nostalgia mahasiswa Jogja era akhir 90-an.
“Jualan kita tak hanya nostalgia tapi berinti pada steak premium dengan resto yang cozy. Dan kami mempertahankan resep awal yakni steak bakar benaran, di atas arang, bukan kompor listrik, dan saus atau bumbu barbeque yang khas,” jelas Heri.
Foto: Arif UT / Pandangan Jogja
Heri menjelaskan The Obonk dibuka oleh Sugondo, ayah dari Jody Brotoseno pemilik Waroeng Group pada medio 90-an di Solo dan Jogja. Tapi kemudian cabang Jogja tutup pada akhir 2000. Dan pada 2020, Jody membukanya kembali dengan nama The Obonk Steak & Ribs yang kini telah memiliki 3 cabang yakni di Jogja, Bogor, dan Medan.
ADVERTISEMENT
“Tapi resepnya sampai hari ini masih milik Pak dan Bu Gondo. The Obonk Steak & Ribs ini hubungan profesional antara ortu dan anak untuk mempertahankan kualitas daging dan resep,” jelas Heri.
Foto: Arif UT / Pandangan Jogja
Yang unik menurut Heri, dengan konsep The Obonk Steak & Ribs sebagai resto yang cozy, mayoritas konsumennya memiliki harapan akan pelayanan yang berbeda.
"Kami menyebutnya full service. Ditungguin, ditulisin pesanan, dijelaskan detail soal menunya. Grade layanan lebih tinggi, sehingga karyawan juga musti ditraining dengan beda. Service excellent grade tinggi," kata Heri.
Sejak konsumen datang pun karyawan musti menyapa dengan hangat dan toilet selalu dijaga standar kebersihannya.
"Harus wangi," pungkas Heri.