Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Rieke Diah Pitaloka: Seorang Politisi Sebaiknya Juga Seorang Aktivis
24 Juni 2023 15:12 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Seorang politisi, apalagi anggota DPR, mestinya adalah seorang aktivis. Hal itu disampaikan oleh Anggota DPR RI yang juga seorang aktivis 1998, Rieke Diah Pitaloka.
ADVERTISEMENT
“Seorang politisi menurutku sebaiknya dia aktivis,” kata Rieke Diah Pitaloka dikutip dari wawancaranya bersama kanal YouTube Bincang Pinggiran yang tayang pada Rabu (21/6).
Seorang aktivis yang bertahun-tahun berjuang untuk kepentingan rakyat akan lebih memahami betul apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyat.
Yang mengkhawatirkan menurut Rieke adalah ketika seorang aktivis lupa dengan yang dia perjuangkan ketika sudah duduk nyaman di kursi jabatan. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, dia justru akan lebih sibuk menyenangkan atasannya agar posisinya di kekuasaan tetap aman.
“Soalnya kekuasaan itu enak. Jadi pejabat negara itu kalau yang mikirnya enak memang bisa enak,” ujarnya.
Namun dengan sejarah perjuangan yang panjang, seorang aktivis tentu akan berpikir ulang ketika dia akan berkhianat kepada rakyat.
ADVERTISEMENT
“Padahal untuk sampai ke titik sekarang ini itu kan berdarah-darah ibaratnya. Bukan hanya dipukuli, nyawa taruhannya,” kata dia.
Karena itu, seorang aktivis yang masuk ke dunia politik jangan sampai menjadi orang pelupa. Dia harus selalu ingat apa yang telah mengantarnya sampai memiliki jabatan politik maupun jabatan publik.
“Kalau saya, saya enggak mau jadi orang pelupa. Apa yang mengantarkan saya sampai sekarang ini tiga periode di DPR RI ya karena peristiwa sejarah itu,” ujar politisi yang selama ini fokus mengawal isu kesehatan dan kesejahteraan masyarakat itu.
Memori Aktivis yang Menjaga Kewarasan di Kursi Jabatan
Dalam demonstrasi-demonstrasi pelengseran Soeharto, ketika para aktivis lain melakukan orasi, Rieke bertugas untuk membaca puisi di mobil komando. Salah satu puisi yang pernah dia bacakan adalah ‘Bunga dan Tembok’ karya Wiji Thukul.
ADVERTISEMENT
Setelah orasi dan pembacaan puisi selesai, situasi chaos. Masa berhamburan karena dikejar-kejar aparat. Di situasi itu, Rieke bertugas sebagai koordinator sopir metromini yang membawa para mahasiswa agar mereka tidak kabur.
Seringkali, dia harus menahan KTP dan STNK para sopir itu agar mereka tidak pergi saat terjadi chaos.
“Jadi ketika lagi demo itu aku kadang yang ngejar bukan aparat, tapi sopir-sopir metromini karena KTP dan STNK-nya saya tahan,” ujarnya.
Saat demo di Gedung Parlemen, Rieke juga pernah mendapat tugas untuk membagi-bagikan selebaran secara diam-diam ke kantor anggota dewan.
“Suatu hari ketika saya mau naik lift saya mikir gini, suatu saat gua akan kerja di tempat ini, dan kalau Tuhan kasih jalan gua mau kerja yang bener,” kata pemeran Oneng dalam sitkom Bajaj Bajuri itu.
ADVERTISEMENT
Namun, salah satu pengalaman yang paling tidak bisa dia lupakan saat demo 1998 adalah ketika dia menemani almarhum Yun Hap, mahasiswa UI yang tewas terkena peluru aparat. Ia menunggu Yun Hap sampai proses autopsi di kamar jenazah, sekaligus menjaga jasadnya agar peluru di tubuh Yun Hap tak diambil aparat untuk menghilangkan barang bukti.
“Saya enggak mau memori-memori kayak gitu itu hilang dari ingatan saya karena memori itu yang menjaga saya supaya bisa konsisten, bisa komitmen, meskipun tentu tidak mudah menjadi seorang politisi, tetapi itu kemudian yang membuat saya tetap bertahan dan tidak mundur,” ujar Rieke.
*Artikel ini merupakan wujud kerjasama Pandangan Jogja @Kumparan dengan Bincang Pinggiran