Konten Media Partner

Rifka Annisa Sebut Penolakan Permendikbud 30 Hanya karena Salah Paham

10 November 2021 14:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rifka Annisa menjelaskan duduk soal munculnya salah paham terkait Permendikbud 30 tahun 2021.
Ilustrasi korban kekerasan seksual Foto: Pixabay
Rifka Annisa Women’s Crisis Center, organisasi non pemerintah yang aktif mengawal isu kekerasan terhadap perempuan, mengatakan bahwa langkah pemerintah menerbitkan Permendikbud Ristek No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi adalah langkah yang tepat. Hal itu dinilai sebagai sebuah kemajuan dalam upaya penghapusan kekerasan seksual, terutama yang dilakukan di lingkungan kampus. Meskipun sampai saat ini masih terus mendapatkan penolakan dari sejumlah kelompok masyarakat karena dinilai melegalkan perzinaan dan seks bebas hal itu dinilai biasa dalam urusan yang kompleks seperti Permendikbud tersebut.
ADVERTISEMENT
Direktur Rifka Annisa Women's Crisis Center, Defirentia One Muharomah, mengatakan bahwa kontroversi yang muncul saat ini hanya karena adanya perbedaan pendapat yang didasarkan pada prasangka. Menurutnya, muatan dalam permen tersebut tidak ada yang dimaksudkan untuk melegalkan seks bebas. Adapun nomenklatur ‘persetujuan korban’ yang dipermasalahkan, bukanlah untuk melegalisasi seks bebas, namun untuk menekankan bahwa selama ini banyak kasus kekerasan seksual yang dianggap sebagai kejadian suka sama suka sehingga lolos dan tidak ditindak sebagaimana mestinya.
Karena itu, dalam merespons tiap kasus pun masih ada stigma dan prasangka, bahwa korban dan pelaku sama-sama suka. Akibatnya, banyak kasus yang cenderung ditutupi sehingga korban harus menanggung beban masalahnya sendiri.
“Dan struktur kampus yang semestinya dapat berfungsi untuk merespons permasalahan justru mengabaikan dan tidak menganggap kasus tersebut sebagai agenda penting dalam kebijakan,” kata Defirentia One ketika dihubungi, Selasa (9/11).
Difirentia One. Foto: Dok. Pribadi
Untuk mengatasi adanya perbedaan pendapat dan prasangka itu, pemerintah perlu mensosialisasikan lebih luas dan cermat lagi peraturan tersebut dengan melibatkan seluruh stakeholder. Stakeholder ini perlu dipetakan juga secara cermat supaya kebijakan yang dibuat dapat memperoleh input dari mereka.
ADVERTISEMENT
Namun, kontroversi ini ternyata baru muncul setelah peraturan tersebut disahkan. Hal ini menjadi PR tersendiri untuk kementerian supaya bisa mensosialisasikan permen tersebut secara lebih jelas dan detail, tentunya dengan bahasa yang mudah dipahami seluruh kalangan. Namun jika peraturan tersebut ternyata masih menimbulkan pro dan kontra meski telah melakukan dialog dengan seluruh stakeholder, maka pemerintah perlu membuat pilihan serasional dan serealistis mungkin agar peraturan tersebut dapat diimplementasikan.
“Sekali lagi, dilema penanganan kekerasan seksual di Indonesia selalu berkutat di ranah tidak ada payung hukum yang cukup kuat untuk menjadi acuan,” ujarnya.
Permen ini menurut One juga menjadi langkah strategis untuk menghadirkan tanggung jawab serta peran institusi perguruan tinggi dalam merespons kasus kekerasan seksual yang masih banyak terjadi di lingkungan kampus. Namun hal ini juga perlu dibarengi dengan mendekatkan layanan-layanan bagi korban kekerasan seksual di tingkat kampus dengan membentuk pusat krisis, menyusun mekanisme atau panduan layanan, maupun membentuk tim satuan tugas sebagai support system bagi korban kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
“Agar korban merasa aman dan merasa mendapat dukungan ketika mengadukan kasusnya sembari menjalani konseling serta pemulihan,” lanjut One.
Tim satuan tugas inilah yang akan menjadi garda depan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Karena tiap kampus memiliki keterbatasan kapasitas maupun kesiapan sistem yang beragam, maka kampus juga perlu berjejaring dengan lembaga pengada layanan di luar kampus. Misalnya dengan Women’s Crisis Center, lembaga bantuan hukum, pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A), maupun lembaga lain yang memberikan layanan secara berjejaring.
Sejauh ini, Rifka Annisa mengamati bahwa belum banyak kampus yang menindak tegas pelaku kekerasan seksual. Bahkan, korban kekerasan pun tidak diberikan perlindungan yang layak. Sehingga seringkali korban hanya diam karena khawatir jika dia melaporkan kasus yang menimpanya malah mendapatkan ancaman status akademisnya karena dianggap mencemarkan nama baik kampus.
ADVERTISEMENT
Sejak kasus Agni, mahasiswi UGM, yang menjadi korban kekerasan seksual pada 2017, telah memberikan pelajaran penting bahwa dukungan dari kampus memang sangat penting dalam upaya penanganan kasus, pendampingan korban, penindakan tegas pelaku, serta edukasi kepada civitas akademik maupun masyarakat tentang kekerasan seksual.
“Saya setuju dan mendukung peraturan ini. Peraturan ini terobosan yang baik yang muatannya didasarkan pada kepentingan terbaik bagi korban,” ujar Defirentia One Muharomah. (Widi Erha Pradana / YK-1)