Konten Media Partner

Rumah Lontiok, Rumah Adat Atap Lentik ala Nenek Moyang Kita yang Seorang Pelaut

27 September 2021 19:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rumah lontiok, rumah adat masyarakat Kampar. Foto: Dinas Pariwisata Riau
zoom-in-whitePerbesar
Rumah lontiok, rumah adat masyarakat Kampar. Foto: Dinas Pariwisata Riau
ADVERTISEMENT
Di Riau, tepatnya di Desa Kuok, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, terdapat rumah adat bernama rumah lontiok yang merupakan rumah adat masyarakat Kampar.
ADVERTISEMENT
Tokoh pemuda desa Kuok yang aktif di organisasi Daya Desa Kuok, Fitrah Giring, menjelaskan uniknya sejarah rumah lontiok yang berasal dari kebiasaan nenek moyang masyarakat setempat berlayar di lautan.
Ya, nenek moyang masyarakat Kampar diyakini datang dari jalur laut dan telah membangun peradaban di atas laut dalam waktu yang lama. Setelah begitu lama hidup di atas sampan, muncul keinginan untuk memiliki tempat tinggal yang lebih besar dan nyaman sehingga ada dorongan untuk tinggal di daratan.
“Manusia laut pingin ke darat,” kata Fitrah Giring dalam diskusi Pekan Kebudayaan Nasional, Selasa (21/9).
Mereka kemudian menyusuri sungai Kampar hingga ke daerah hulu dan sampailah di sebuah tempat yang kini disebut desa Kuok. Di tempat itu, mereka mulai membangun rumah dari kayu dan bahan-bahan yang semuanya dapat diperoleh dari alam.
ADVERTISEMENT
Meskipun sudah berpindah ke daratan, namun mereka enggan melupakan asal-usulnya yang pernah hidup di sampan.
“Maka dibuatlah tempat tinggal yang atapnya berbentuk melentik ke atas sehingga menyerupai sampan panjang yang pernah mereka tinggali,” kata Fitrah Giring.
Bentuk atap yang melentik inilah yang kemudian membuat nama rumah mereka disebut dengan nama lontiok yang berarti lentik. Selain itu, bentuk yang melentik itu juga dimaknai sebagai bentuk penghormatan seorang manusia pada Tuhan dan sesamanya.
Ciri Khas Rumah Lontiok
Atap rumah lontiok. Foto: Dinas Pariwisata Riau
Selain bentuk atapnya yang berbentuk seperti sampan, rumah lontiok memiliki beberapa ciri khas lain.
Dinding yang pada bagian kaki, misalnya, berbentuk seperti lancang atau perahu. Rumah lontiok juga ditopang dengan tongkat kayu yang cukup tinggi sehingga membentuk rumah panggung. Karena itu, untuk naik ke atas harus menggunakan tangga kayu yang jumlahnya ganjil.
ADVERTISEMENT
“Biasanya, anak tangga pada rumah lontiok berjumlah lima buah yang merupakan simbol rukun Islam,” terang Fitrah.
Selain itu, bagian dinding luar dari rumah lontiok berbentuk miring ke luar seluruhnya, ementara dinding bagian dalamnya tegak lurus. Balok tumpuan untuk dinding luar juga melengkung ke atas, kadang-kadang menggunakan sambungan ukiran di bagian sudut-sudut dinding, hingga terlihat mirip dengan perahu.
Bagian balok tutup atas juga tampak melengkung meskipun tidak selengkung balok tumpuan. Lengkungan mengikuti sisi bawah bidang atap. Kedua ujungnya diberi hiasan yang sering disebut dengan sulo bayung. Sementara ornamen pada keempat sudut cucuran atap disebut sayok lalangan.
“Bentuknya ada yang menyerupai tanduk kerbau, bulan sabit, dan sebagainya,” ujarnya.
Biasanya, rumah lontiok memiliki tiga ruangan. Hal ini sesuai dengan falsafah hidup masyarakat Kampar, yakni alam berkawan atau pergaulan sesame warga kampung, alam bersamak atau cerminan ruang tengah untuk keluarga dan kerabat, serta alam semalu yang dilambangkan dengan ruang rapur sebagai ruang pribadi dalam kehidupan berumah tangga.
ADVERTISEMENT
“Untuk mendirikan sebuah rumah lontiok, biasanya diawali dengan musyawarah para ninik mamak (sesepuh) kampung dengan pola gotong royong yang erat,” kata Fitrah.
Rumah Panggung sebagai Bentuk Adaptasi dengan Alam
Rumah lontiok. Foto: Dinas Pariwisata Riau
Bentuk rumah panggung pada rumah lontiok dibuat bukan tanpa alasan. Leluhur masyarakat Kampar sangat memperhitungkan kondisi lingkungan mereka sebelum mendirikan rumah. Salah satu alasan dibuat rumah panggung adalah untuk menghindari serangan binatang pada zaman dahulu, mengingat tempat tinggal mereka berada di tengah hutan dan di tepi sungai.
“Rumah panggung ini juga dibuat untuk menghindari bencana banjir yang kerap terjadi di daerah Kampar sejak dulu,” kata Fitrah Giring.
Bagi sebagian masyarakat, kolong pada rumah lontiok juga kerap dijadikan sebagai tempat beternak. Karena banyak di antara mereka yang menggantungkan hidupnya pada hasil sungai dan laut, kolong ini juga dijadikan sebagai tempat menyimpan perahu.
ADVERTISEMENT
“Bagi anak-anak, kolong rumah juga dijadikan tempat bermain yang aman karena tak jauh dari rumah,” lanjutnya.
Alasan-alasan ini menurut Fitrah menunjukkan bahwa leluhur masyarakat Kampar memang memiliki kecerdasan luar biasa dalam hal arsitektur. Mereka bisa membangun rumah atau tempat tinggal yang bisa mengakomodir kebutuhan mereka. Tak hanya sesuai kebutuhan, rumah yang mereka bangun juga bisa menyesuaikan atau beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
“Dengan tata ruangnya saja sudah mengatur bagaimana kehidupan masyarakatnya, jadi semua dibuat dengan penuh perhitungan,” ujarnya.
Tinggal 5 Buah
tokoh pemuda desa Kuok yang aktif di organisasi Daya Desa Kuok, Fitrah Giring
Sayangnya, pada saat ini, rumah yang merupakan peninggalan leluhur masyarakat Kampar itu hanya tinggal lima buah, itu pun kondisinya saat ini memprihatinkan.
Tokoh pemuda desa Kuok yang aktif di organisasi Daya Desa Kuok, Fitrah Giring, mengatakan dari lima rumah lontiok yang tersisa hanya tiga yang masih cukup terawat dan dijadikan obyek wisata. Satu di antaranya dijadikan homestay, sementara dua lainnya menjadi tempat wisata kebudayaan. Sementara dua sisanya kini kondisinya sangat memprihatinkan.
ADVERTISEMENT
“Yang saya temui di lapangan, rumah lontiok sudah tidak terawat lagi. Yang ada kini keluhan masyarakat, jangankan untuk memperbaiki rumah, ketika ada pengunjung yang datang toilet saja tidak punya,” kata Fitrah Giring.
Masyarakat Kampar menurutnya mulai meninggalkan rumah lontiok setelah dibangunnya PLTA Koto Panjang Riau, yang membuat mereka tidak takut lagi dengan terjadinya banjir. Pasalnya, rumah lontiok sebelumnya memang didesain untuk bisa beradaptasi dengan kondisi alam yang tidak terduga seperti banjir.
Setelah merasa aman dari ancaman banjir, masyarakat mulai membangun rumah-rumah dari batu dengan gaya arsitektur modern dan mulai meninggalkan rumah lontiok. Saat ini, Fitrah dan kawan-kawannya sedang berusaha untuk memperbaiki rumah-rumah lontiok di desa Kuok sebelum nantinya benar-benar punah dimakan zaman.
ADVERTISEMENT
Namun mereka menemui berbagai kendala, salah satunya sulitnya bahan baku. Rumah lontiok terbuat dari kayu-kayu panjang tanpa sambungan dan tanpa paku, sementara untuk menemukan kayu dengan kualitas seperti itu saat ini sangat sulit.
“Pernah dilakukan modifikasi atau replikasi, tapi malah rumah yang baru ini sekarang sudah rusak, rumah asli yang umurnya sudah ratusan tahun malah masih kokoh,” lanjutnya.
Jenis kayu yang digunakan untuk bangunan rumah lontiok adalah kayu-kayu keras yang dapat bertahan lama. Di antaranya kayu kulim, terembesi, resak, atau kayu punak. Lantai biasanya terbuat dari kayu medang atau punak, tiang terbuat dari kulim atau punak, jendela dan dinding terbuat dari kayu-kayu sejenis. Pada masa dahulu, bagian atap dibuat menggunakan ijuk, rumbia, atau daun nipah.
ADVERTISEMENT