Konten Media Partner

Saat Pandemi, Kualitas Udara Membaik tapi Suhu Bumi Malah Makin Panas

7 Oktober 2021 16:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Mungkin sulit dimengerti tapi inilah kenyataan selama pandemi: kualitas udara membaik tapi suhu udara di Bumi malah mencapai terpanas sepanjang sejarah. Ini penjelasan LAPAN.
Ilustrasi suasana Jakarta di malam hari sebelum pandemi. Foto: ESP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi suasana Jakarta di malam hari sebelum pandemi. Foto: ESP
Pembatasan kegiatan masyarakat selama pandemi menyebabkan kualitas udara di dunia mengalami perbaikan, begitu juga di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat pada 2020 Indeks Kualitas Udara (IKU) Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0,65 poin, dari 86,56 pada 2019 menjadi 87,21. KLHK juga mengklaim bahwa seluruh kota besar di Indonesia memasuki zona hijau untuk kualitas udara selama pandemi, pertama kali dalam sejarah. Tapi di sisi lain, pada 2020 suhu udara di Bumi ini juga menjadi yang terpanas sepanjang sejarah, sama dengan tahun 2016.
ADVERTISEMENT
Laporan Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA), mencatat 2020 sebagai rekor tahun terpanas sepanjang sejarah. Tahun lalu, suhu rata-rata global mengalami kenaikan 1,02 derajat Celcius dibandingkan rata-rata suhu pada 1951-1980. Hal ini membuat rata-rata suhu global sepanjang 2020 sekitar 14,9 derajat Celcius, artinya sudah sekitar 33 derajat lebih panas dari temperatur semula.
Kenapa ketika kualitas udara mengalami perbaikan selama pandemi, suhu Bumi justru tak ikut membaik bahkan mencapai rekor terpanas yang pernah ada?
Ilustrasi suasana Jakarta di malam hari. Foto: ESP
Peneliti di Pusat Riset Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (PRSTA-LAPAN), Sumaryati, mengatakan bahwa umur polutan di udara relatif pendek, hanya hitungan hari atau paling lama bulan. Sehingga ketika sumbernya dibersihkan, maka dalam waktu singkat udara akan bersih lagi.
ADVERTISEMENT
Sumber polutan utama di kota-kota besar adalah dari bahan bakar kendaraan bermotor. Hampir 70 persen, polutan di kota-kota besar berasal dari kegiatan transportasi. Sementara itu, selama pandemi COVID-19 berbagai aktivitas masyarakat banyak dibatasi sehingga aktivitas transportasi juga mengalami penurunan yang signifikan.
“Sehingga begitu transportasi menurun, maka sudah jadi konsekuensi logis tidak dipungkiri lagi jika kualitas udara membaik, karena sumber utamanya sudah tidak ada,” kata Sumaryati dalam diskusi yang diadakan PRSTA-LAPAN, Jumat (1/10).
Berbeda dengan gas rumah kaca, salah satu penyebab utama pemanasan global yang memiliki lifetime atau umur panjang. Jika umur polutan udara hanya hitungan hari, umur gas rumah kaca bisa mencapai ratusan tahun. Karena memiliki umur yang panjang, meskipun sumbernya dihentikan maka gas rumah kaca tidak langsung habis seperti halnya yang terjadi pada polutan udara.
ADVERTISEMENT
“Kalau polutan kan misalnya sekarang ada kebakaran hutan, dua hari kemudian hujan deras, habis itu sudah bersih. Tetapi CO2-nya itu masih mengambang di atmosfer, masih bisa menyebabkan efek pemanasan global,” lanjutnya.
Suasana sebuah apartemen di Jakarta. Foto: ESP
Karena memiliki life time yang panjang, maka gas rumah kaca juga bersifat global. Tidak seperti polutan udara yang hanya bersifat lokal atau paling luas regional. Hal ini membuat emisi di satu tempat akan tetap mempengaruhi tempat lain meski di tempat tersebut sumber emisinya sudah dihentikan.
“Misal ada asap dari Indonesia itu paling jauh hanya sampai Asia Tenggara, itupun negara-negara terdekat kita saja. Sedangkan gas rumah kaca itu dampaknya global,” ujarnya.
Penyebab kenaikan suhu Bumi ini diduga juga sebagai akumulasi gas rumah kaca yang mengeras selama ratusan tahun. Hal ini membuat pandemi tak mampu mencegah menghangatnya suhu bumi hingga memecahkan rekor baru sejak 1800, ketika pemantauan suhu bumi pertama kali didokumentasikan.
ADVERTISEMENT
Adapun tiga gas rumah kaca yang jadi pemicu utama pemanasan suhu Bumi ini, di antaranya karbon dioksida (CO2) yang menyumbang 50 persen radiasi panas, metana (CH4) sebesar 29 persen, serta nitrat oksida (N20) sebanyak 5 persen. Sementara 16 persen sisanya berasal dari karbon monoksida, karbon hitam, serta holokarbon termasuk freon.
“Jadi meskipun sumbernya dihentikan, udara sudah lebih bersih, tapi gas rumah kacanya masih ada di atmosfer bahkan hingga ratusan tahun,” kata Sumaryati.