Konten Media Partner

Sains di Balik Sebuah Gunung Bisa Terus Tumbuh Tinggi Menjulang atau Mengkeret

21 Februari 2021 16:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Gunung Gede Pangrango. Foto: Instagram Ari Wibisono
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gunung Gede Pangrango. Foto: Instagram Ari Wibisono
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini ramai diperbincangkan sebuah gunung di sekitar Jakarta tiba-tiba tampak tumbuh menjulang di langit Jakarta. Bahwa sudah diakui foto gunung tersebut telah melalui proses editing, tapi sebenarnya ada sains di balik tumbuh dan mengkeretnya ukuran sebuah gunung.
ADVERTISEMENT
Soal ketinggian sebuah gunung, baru-baru ini Gunung Everest jadi perbincangan sejagad karena seolah-olah telah tumbuh 86 centimeter.
Ya, dalam sebuah konferensi pers di Kathmandu, Selasa (8/12/2020), pemerintah Cina dan Nepal akhirnya menyepakati ketinggian Gunung Everest. Sebelumnya, kedua negara ini tidak pernah sepakat soal angka pasti tinggi gunung ini.
Sekarang, ketinggian resmi Gunung Everest adalah 8.848,86 atau lebih tinggi 86 cm dari yang sebelumnya publik dunia mengetahuinya. Namun sebenarnya angka ini bukan karena gunungnya memang tumbuh 86 cm lebih tinggi, tapi karena hasil kesepakatan yang selama ini terhambat oleh perbedaan metode pengukuran. Cina menghitung ketinggian bebatuan sedangkan Nepal menghitungnya hingga lapisan salju.
Tapi bagaimana sih sebenarnya sains di balik pertumbuhan sebuah gunung, mengingat lempeng tektonik terus bergerak? Benarkah gunung bisa terus tumbuh tinggi?
ADVERTISEMENT
Faktor yang Membatasi Pertumbuhan Gunung
Menurut Nadine McQuarrie, seorang profesor di departemen geologi dan ilmu lingkungan di University of Pittsburgh, dalam artikel yang dimuat live science, mengatakan bahwa ada dua faktor utama yang membatasi pertumbuhan gunung; gravitasi dan sungai.
Gunung dibentuk oleh salah satunya akibat pergerakan lempeng tektonik. Bebatuan keras mencuat ke atas, cukup tinggi hingga pondasi gunung sanggup menahan berat massanya melawan gravitasi. Gunung juga bisa terbentuk oleh aktivitas vulkanik. Bebatuan cair keluar dari perut bumi, menumpuk dan membentuk ketinggian. Menurut McQuarrie, apapun cara pembentuknya, gunung akan selalu menyerah pada gravitasi.
McQuarrie mencontohkan yang terjadi di planet Mars. Gunung tertinggi di sistem tata surya kita, Olympus Mons, yang menjulang 25.000 m atau hampir tiga kali lebih tinggi dari Gunung Everest. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena Mars memiliki gravitasi yang lebih rendah dari Bumi serta tingkat letusan yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Struktur kerak Mars tidak terbagi menjadi lempeng-lempeng seperti planet kita. Di Bumi, saat lempeng bergerak berputar-putar di atas titik panas - area mantel yang mengeluarkan semburan panas - gunung berapi baru terbentuk dan gunung berapi yang lama punah. Aktivitas di mantel bumi mendistribusikan lava ke wilayah yang lebih luas, membentuk banyak gunung berapi. Di Mars, kerak tidak bergerak sehingga lava menumpuk membentuk satu gunung berapi besar.
Sementara itu, sungai membatasi pertumbuhan gunung dengan mengikis tepian gunung. Aliran sungai mengikis tepian gunung, membawa material-material, membuatnya menjadi lebih curam. Sampai di titik tertentu, kecuraman ini membuat longsor dan membawa lebih banyak material dari gunung ke daerah bawah.
Saat proses tektonik dan magmatik berhenti, gravitasi dan erosi tidak memiliki lawan. Gunung mengalami pemangkasan ketinggian.
ADVERTISEMENT
Bumi Pernah tak Memiliki Gunung
Dataran bumi. Foto: Pixabay
Berbeda dengan yang terjadi di Mars, Bumi pernah berada dalam periode tenang dan datar, tak memiliki gunung sama sekali.
Tenang karena ketiadaan aktivitas tektonik dan magmatik, yang membuat permukaan bumi kekurangan mineral penyokong kehidupan, juga kehidupan di lautan. Ketiadaan proses tektonik dan magmatik juga sekaligus membuat bumi menjadi lebih datar, karena faktor-faktor yang membuat gunung tumbuh praktis tidak ada.
Sementara itu, erosi mendorong pinggiran dan puncak dan gravitasi menarik balik puncak ke bawah; ketika proses tektonik dan magmatik di bawah permukaan berhenti, erosi menang, mengikis pegunungan. Permukaan benua menjadi lebih datar.
Ketika energi penumbuh berhenti bekerja, yang tersisa adalah kekuatan pemangkas ketinggian gunung. Gravitasi dan angin tidak memiliki lawan, bersama-sama mengikis ketinggian gunung, membuat puncaknya menjadi lebih datar
ADVERTISEMENT
Tim peneliti yang berasal dari Universitas Peking, Universitas Toronto, Universitas Rutgers dan Universitas Sains dan Teknologi China dalam artikel yang mereka publikasikan di jurnal Science, menemukan bukti yang menunjukkan bahwa Bumi pada masa “paruh baya”nya memiliki permukaan yang cukup datar.
"Benua tidak memiliki gunung pada usia paruh baya," kata Ming Tang, asisten profesor di Universitas Peking di Beijing, China, yang juga meruakan penulis utama studi ini. "Benua yang lebih datar mungkin telah mengurangi pasokan nutrisi (ke laut) dan menghambat munculnya kehidupan yang kompleks."
Selama hampir satu miliar tahun (1,8 miliar hingga 0,8 miliar tahun yang lalu), pegunungan di Bumi benar-benar berhenti tumbuh, sementara erosi dan gravitasi merusak puncak menjadi lebih datar. Ketiadaan gunung ini, membuat nutrisi di daratan terhambat, sehingga kehidupan awal di lautan berevolusi dengan sangat lambat atau tidak sama sekali selama seribu tahun. Peneliti mengistilahkannya sebagai “Seribu tahun yang membosankan.” (Anasiyah Kiblatovski / YK-1)
ADVERTISEMENT