Selalu Ada Cinta dan Patah Hati di Malioboro, Jogja

Konten Media Partner
12 Oktober 2021 14:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Malioboro bukan hanya soal belanja, tapi juga tempat berseminya banyak kisah cinta, juga hati yang patah. Ini tiga kisah yang bakal bikin kamu kangen Jogja.
Titin dan Guritno berjalan menyusuri Malioboro pada Senin (11/10). Foto: Widi Erha Pradana.
Guritno dan Titin, 61 dan 60 tahun. Sepasang kekasih yang saling cinta sampai tua. Langkah pelan membawa mereka dari ujung utara Jalan Malioboro, hingga ke ujung selatan. Tangan kanan Titin memegang erat lengan Guritno, seperti tak ikhlas melepasnya sebentar saja.
ADVERTISEMENT
Rasanya tak ingin waktu segera berlalu. Guritno dan Titin seperti tak mau kehilangan momen berdua, meski sebenarnya bisa kapanpun mereka ulangi.
“Tapi setiap momen kan punya makna dan rasa tersendiri,” kata Guritno, mencoba puitis di hadapan Titin, Senin (11/10).
Keduanya, wisatawan dari Makassar. Sudah sebulan ini tinggal di Jogja, di rumah anak mereka. Pensiun dari pekerjaan, membuat keduanya punya lebih banyak waktu untuk berlibur. Dan hanya berdua. Anak-anak sudah dewasa, tiada lain kesibukan utama mereka hanyalah saling membagi kasih.
Sudah 36 tahun mereka menikah, tapi masih tampak pengantin baru. Mereka masih hangat dan mesra, meskipun Guritno malu mengakui. Berbeda dengan Titin, yang lebih pede menampilkan kehangatan mereka di depan umum.
ADVERTISEMENT
“Ini foto kami, bapak emang kaku orangnya,” kata Titin sembari menunjukkan foto berdua saat liburan di sebuah kota, yang dia jadikan sebagai wallpaper di gawainya.
Titin dan Guritno menikmati Malioboro dengan cinta awet sampai tua. Foto: Widi Erha Pradana
Jogja jadi salah satu kota penting dalam hubungan percintaan mereka. Keduanya, saat pacaran dulu, memang sama-sama orang Makassar, bahkan satu komplek perumahan, tapi Jogja sempat jadi tempat tinggal mereka, usai menikah, selama beberapa tahun.
Pada 1995, ketika Guritno mesti menempuh suatu pendidikan untuk menunjang kariernya, Titin tak kuasa menahan kangen. Titin akhirnya ngotot menyusul suaminya dan selama beberapa tahun kemudian ikut tinggal di Jogja. Setelah pulang ke Makassar, Jogja jadi tujuan utama mereka untuk liburan, sembari menyisir lagi kenangan-kenangan mereka ketika muda dulu.
Selama sebulan di Jogja, keduanya tak pernah absen untuk lari pagi. Setelah lari pagi, ada satu ritual khusus yang wajib mereka lakukan, yakni makan soto. Ya, bukan gudeg, tapi soto. Tak hanya soto Kadipiro, soto legenda Jogja berada di Jalan Wirobrajan yang terkenal itu, aneka soto dilahap semua. “Pindah-pindah makannya tiap hari, kita cobain semua,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Bagi Guritno dan Titin, cinta bukan hanya milik anak-anak muda saja. Makin tua keduanya merasakan cinta di antara mereka semakin mekar. Bertambahnya usia membuat keduanya mafhum, bahwa pada akhirnya pasanganlah yang akan setia menemani sampai tua.
“Anak sudah punya kehidupan sendiri, orangtua sudah meninggal, yang selalu ada sekarang ya tinggal suami,” kata Titin sembari melirik suaminya. Sang suami, pura-pura tak mendengar. Malu.
Senyum Istri Usai Belanja Bikin Luluh Suami
Lutfi bengong sendiri menunggu istri belanja di emperen Malioboro. Foto: Widi Erha Pradana
Selembar masker tak bisa menutupi raut muka Lutfi, 32 tahun, yang sedang merengut. Di bawah terik yang akhir-akhir ini makin menjadi, Lutfi sudah 15 menitan menunggu istrinya yang sedang memilah pakaian di sebuah los dagangan di emperan Malioboro.
Makin lama, Lutfi makin kesal. Liburan yang mestinya menyenangkan, tapi malah bikin moodnya berantakan. Apalagi ketika melihat istrinya tawar-menawar dengan penjual Malioboro, sudah makan waktu lama tapi akhirnya tidak mencapai mufakat.
ADVERTISEMENT
“Pekerjaan paling bosenin itu emang nunggu perempuan belanja,” kata Lutfi sembari matanya terus melihat istrinya yang sedang sibuk memilih dan memilah baju-baju di gantungan, Senin (11/10).
Ingin sekali Lutfi beranjak, meninggalkan istrinya pulang ke Purbalingga, Jawa Tengah, tempat tinggal mereka. Begitulah, melihat pakaian-pakaian murah yang tergantung di pinggir jalan langsung membuat sang istri melepaskan genggaman tangan mereka, lalu fokus dengan baju-baju itu sampai Lutfi merasa tak dianggap keberadaannya.
“Tapi kalau ditinggal nanti malah saya kesepian,” lanjutnya setengah tertawa, takut istrinya mendengar apa yang dia katakan.
Lutfi sudah terlatih mengelola perasaan dicampakkan saat mengantar istrinya belanja. Dia sebenarnya selalu ingin marah. “Nah ini nih, semula kesel tapi trus liat istri datang dan menenteng hasil belanjaannya, rasa kesal itu bisa seketika hilang dan berganti senang. Nasib suami begini kali ya,” kata Lutfi, dengan nada riang yang lucu.
ADVERTISEMENT
Terlebih ketika istrinya berhasil memboyong barang bagus dengan harga murah. Istrinya -dan Lutfi ngotot semua semua perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan istrinya- memiliki kemampuan menawar harga yang sangat mengagumkan. Senyum dan tertawa istrinya, selalu bisa membuat Lutfi jatuh cinta lagi, berkali-kali, dengan orang yang sama.
“Langsung enggak bisa marah kalau istri sudah bawa belanjaan, lihat dia senyum itu langsung luluh,” kata Lutfi. Ayah dua anak ini, berbinar matanya.
Hati yang Patah Tak Pernah Seremuk Ini
Adit memanggul nasib buruk cintanya di Malioboro Jogja. Foto: Widi Erha Pradana
Tapi, Malioboro ternyata bukan cuma berisi cinta buncah sampai awan. Di sebuah bangku yang hanya dilindungi pohon asem dari terik matahari, ada hati yang sedang patah. Meski tak jauh darinya terpampang tulisan ‘Dilarang Merokok’, Adit, 22 tahun dan bukan nama sebenarnya, tampak tidak peduli.
ADVERTISEMENT
Dia bahkan tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya, yang semakin sore mulai meramaikan Jalan Malioboro. Hatinya tetap sepi. Kosong. Hatinya sedang patah.
“Baru semingguan, kabarnya akhir tahun bakal nikah,” kata Adit pelan. Kekasihnya, dilamar pria lain.
Lukanya masih basah, dan hanya rokok yang sepertinya bisa memahami rasa sakitnya. Apalagi, dia adalah mahasiswa semester akhir di sebuah perguruan tinggi swasta di Jogja. Teman-temannya sudah banyak lulus, sisanya kebanyakan masih berada di kampung masing-masing gegara pandemi sialan ini.
“Padahal aku lagi berusaha lulus secepatnya, biar bisa langsung kerja buat nikahin dia. Sekarang enggak tahu lagi mau gimana,” lanjutnya.
Adit asli Mojokerto, sementara mantan kekasihnya orang Palembang. Pandemi mengharuskan kekasihnya pulang, dan perlahan berimbas pada hubungan keduanya. Kekasihnya makin jarang memberi kabar, dan sikapnya makin hari makin dingin. Hingga kabar itu datang, sebuah pesan singkat dari kekasihnya membuatnya seperti makan gudeg mercon tanpa air minum. Muka dan dadanya panas, marah.
ADVERTISEMENT
“Mas, aku dilamar, keluargaku setuju. Tolong tidak usah menghubungiku lagi, insyaa Allah akhir tahun kami menikah, doain aku ya,” seperti itulah inti pesan singkat mantan kekasihnya dari seberang.
Adit hancur. Dua tahun pacaran bukanlah waktu yang singkat baginya. Banyak sekali kenangan yang sudah dilalui berdua, dan Malioboro adalah salah satu tempat favorit mereka selama pacaran. Adit bingung, adit ingin ngamuk, Adit muak pada nasibnya, pada semesta yang tak adil.
“Beberapa kali memang sempat (patah hati) juga, tapi enggak pernah seremuk ini,” kata Adit. (Widi Erha Pradana / YK-1)