Konten Media Partner

Selama Pandemi COVID-19, Kematian Akibat Malaria Melesat Tajam 40 Persen

25 November 2022 17:30 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi nyamuk penyebab malaria. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi nyamuk penyebab malaria. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan UGM, Jeanne Rini Poespoprodjo, mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 telah menyebabkan memburuknya masalah malaria di dunia, termasuk di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, dalam beberapa tahun terakhir tren kejadian malaria telah mengalami penurunan. Meski sejak 2015 tren kejadian malaria mengalami stagnasi. Dan sejak awal pandemi, kondisinya justru semakin memburuk terutama di daerah-daerah endemik.
“Angka kesakitan dan kematian malaria melesat hingga 40 persen selama pandemi,” kata Jeanne Rini Poespoprodjo dalam Gadjah Mada International Conference on Tropical Medicine (GAMA-ICTM) 2022 yang digelar secara virtual pekan lalu.
Memburuknya tren kasus malaria ini menurut dia disebabkan karena pelayanan kesehatan selama pandemi terbagi dua, antara malaria dan COVID-19. Beban fasilitas kesehatan selama masa pandemi lebih banyak terfokus pada penanganan COVID-19.
Selain itu, pandemi juga membuat banyak masyarakat takut untuk memeriksakan status malaria mereka ke fasilitas kesehatan karena takut terinfeksi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Karena itu, menurut dia dibutuhkan sejumlah inovasi di dalam pelayanan kesehatan untuk dapat mengeliminasi malaria, mulai dari memperbaiki strategi pemberian layanan kesehatan, penguatan pengawasan, serta yang paling penting menguatkan kerja sama di semua sektor mulai dari politik, ekonomi, kesehatan, dan masyarakat.
“Inovasi sangat penting untuk strategi peta jalan untuk menghilangkan malaria, komitmen politik, sektor perawatan kesehatan, dan keterlibatan masyarakat adalah aktor integral dalam target dan misi kesehatan global,” ujarnya.
Para peneliti sedang menyampaikan materinya dalam GAMA-ICTM 2022. Foto: Dok. UGM
Sementara itu, peneliti dari Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN, Rintis Noviyanti, mengatakan bahwa vaksinasi malaria masih menemui permasalahan yang kompleks. Vaksin-vaksin yang beredar di dunia menurut dia juga tidak banyak yang bisa efektif mencegah malaria.
Saat ini, hanya ada vaksin malaria yang 95 persen efektif untuk memberantas malaria, yakni vaksin PfSPz. Sedangkan vaksin lain, seperti R21 memiliki efisiensi sebesar 77 persen, dan vaksin RTTS hanya menunjukkan kemanjuran sebesar 39 persen.
ADVERTISEMENT
Karena itu, sampai saat ini dunia kesehatan juga masih terus berusaha menemukan vaksin-vaksin yang efektif untuk mencegah dan memberantas malaria. Sayangnya, vaksin-vaksin yang memiliki tingkat efisiensi tinggi ternyata membutuhkan biaya yang sangat besar untuk memproduksinya.
“Vaksin yang ideal harus memiliki efikasi 75 persen, dapat diproduksi secara massal untuk mendukung 250 juta orang yang terinfeksi malaria, berbiaya rendah, berlaku untuk semua musim malaria, dan mudah diterapkan,” kata Rintis Noviyanti.
Secara global, saat ini terdapat sekitar 241 juta kasus malaria di 85 negara endemik, termasuk Indonesia. Berdasarkan catatan Kemenkes, jumlah kasus malaria di Indonesia pada 2021 masih sebesar 304.607 kasus.
“Karena itu malaria juga masih harus jadi perhatian serius di Indonesia,” kata dia.
ADVERTISEMENT