Konten Media Partner

Seluk Beluk Ternak Monyet untuk Riset Biomedis di Indonesia

10 Februari 2021 14:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi monyet. Foto: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi monyet. Foto: Pixabay.
ADVERTISEMENT
Karena China menghentikan ekspor monyet (Macaca fascicularis), Amerika Serikat kini berencana membangun pusat peternakan monyet dengan target 10.000 ekor per tahun. Monyet-monyet ini nantinya akan dijadikan sebagai model dalam riset medis. Indonesia sempat menjadi eksportir monyet untuk riset dan hari ini Indonesia dinilai musti mengikuti langkah Amerika untuk mengejar ketertinggalan di bidang riset medis.
ADVERTISEMENT
China, yang merupakan pemasok utama monyet untuk kebutuhan laboratorium AS, mengentikan ekspornya dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan laboratoriumnya sendiri di dalam negeri. Sebab, monyet makin memiliki arti vital dalam upaya manusia melawan virus seperti COVID-19, Zika, SARS, dan sebagainya.
Jawaban Amerika atas China, yakni pembangunan pusat peternakan monyet dalam skala 10 ribu ekor per tahun, jika benar terealisasi, maka ini akan menjadi peternakan primata pertama di dunia yang berskala industri.
Ketua Yayasan Swara Owa, Arif Setiawan, mengatakan penggunaan monyet ekor panjang untuk keperluan penelitian biomedis memang sudah sejak lama dilakukan.
“Sejak zaman Yunani kuno sudah ada yang mencoba, karena memang kalau biomedis ini ada hal yang enggak bisa dimodelkan dengan mesin atau komputer,” ujar Arif Setiawan ketika dihubungi, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Dengan empat subspesies monyet ekor panjang yang dimiliki, menurutnya Indonesia punya potensi besar untuk membudidayakan monyet sebagai model dalam penelitian biomedis. Apalagi struktur sosial monyet ekor panjang yang multi-male dan multi-female.
“Sehingga relatif lebih mudah dibandingkan primata yang lain. Tapi kan kondisional, karena untuk membuat peternakan kan juga harus membuat kandang yang menyerupai habitat aslinya,” ujar Arif Setiawan.
Namun demikian, banyak yang harus dipersiapkan untuk sampai ke sana. Pasalnya, riset tentang monyet di Indonesia juga masih sangat kurang, bahkan data sebaran yang valid sampai sekarang belum ada. Tanpa adanya regulasi tentang prasyarat yang tegas, bisa dipastikan akhirnya nanti akan mengambil monyet-monyet dari alam.
“Akhirnya nanti bisa seperti itu, dan itu eksploitasi namanya. Maka sebenarnya breeding monyet bisa jadi skala prioritas nasional karena menyangkut nasib kesehatan warga menyeluruh,” ujar Arif.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang perlu disiapkan adalah pusat penelitian berskala nasional, yang prioritasnya memang pada riset monyet untuk keperluan biomedis.
Mahal dan Butuh Perawatan Khusus
Peneliti memeriksa bayi monyet di Pusat Penelitian Primata Thailand Universitas Chulalongkorn. Foto: AFP/Mladen ANTONOV
Guru besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM yang fokus meneliti primata, Pudji Astuti, mengatakan bahwa tidak sembarang monyet bisa dijadikan model untuk penelitian biomedis. Pertama, mereka harus dipastikan terbebas dari berbagai penyakit seperti TBC, hepatitis, dan sebagainya.
“Jadi harus benar-benar sehat, benar-benar steril,” ujar Pudji Astuti ketika ditemui di Yogyakarta, akhir Januari lalu.
Syarat-syarat ini yang membuat biaya peternakan monyet untuk keperluan penelitian medis sangat tinggi. Dari pakannya saja, monyet-monyet untuk penelitian masih harus diimpor dari luar negeri.
Tak hanya perawatan sebelum digunakan sebagai model, setelah digunakan, monyet-monyet ini juga harus terus diberi perawatan ekstra sampai mati untuk memastikan kesejahteraannya tetap terjaga.
ADVERTISEMENT
“Dulu di Indonesia juga sempat dirintis monyet untuk animal model, tapi itu karena harganya yang sangat mahal sekarang berhenti,” ujarnya.
Selain mahal, setelah besar juga tidak menjamin semua monyet nantinya bisa digunakan untuk penelitian. Sebab, tidak semuanya pasti lolos berbagai persyaratan primata yang bisa digunakan sebagai animal model.
Indonesia Sempat Jadi Eksportir Monyet
Anakan monyet. Foto: Pixabay
Sampai 2010, Indonesia sebenarnya sempat menjadi eksportir monyet ke AS dan China. Penghentian ekspor monyet itu dikarenakan Indonesia dinilai tidak bisa menaati undang-undangnya sendiri dan gagal memenuhi regulasi International Trade in Endangered Species (CITES) sekaligus melanggar pedoman perlindungan satwa internasional.
Pelanggaran ini karena monyet-monyet yang diekspor Indonesia bukan berasal dari generasi F1, yakni monyet yang berasal dari penangkaran atau C yang lahir dari hasil pengembangbiakan. Banyak monyet-monyet dari Indonesia yang berasal dari tangkapan alam, dan itu dinilai telah melanggar peraturan internasional terkait perdagangan satwa liar yang telah ditetapkan.
ADVERTISEMENT
Jalan Tengah
Ilustrasi primata. Foto: Pixabay
Tantangan lain untuk membangun pusat peternakan monyet ekor panjang adalah adanya pihak-pihak penentang penggunaan binatang sebagai model penelitian dengan alasan melanggar hak asasi binatang. Karena itu, menurut pihak yang pro, perlu adanya pendekatan secara persuasif dalam rangka mencari jalan tengah.
“Kalau kita lihat arti pentingnya sebagai biomedis, saya pikir lama-lama orang juga akan menghargai dan menerimanya, dan tentu regulasi yang jelas,” ujar Ketua Yayasan Swara Owa, Arif Setiawan, lagi.
Sementara itu, Pudji Astuti memaklumi adanya pihak yang menentang penggunaan monyet sebagai model penelitian medis.
“Jangankan primata, untuk NGO tertentu bahkan saklek tidak boleh menggunakan hewan apapun untuk penelitian, itu memang sangat dimengerti,” ujar Pudji.
Menurutnya, bisa saja penelitian medis tidak menggunakan hewan sebagai model. Misalnya menggunakan kultur sel. Sayangnya, dengan metode itu belum bisa memperlihatkan efek yang ditimbulkan dari obat baru yang sedang diuji terhadap makhluk hidup.
ADVERTISEMENT
“Di tes pakai komputer ya enggak bisa, akhirnya tidak bisa tidak, kita tetap harus menggunakan animal model,” ujarnya.
Karena di satu sisi manusia juga sangat membutuhkan hewan sebagai model penelitian, akhirnya diambil jalan tengah yakni animal welfare atau memastikan kesejahteraan hewan yang digunakan untuk penelitian.
“Makanya harus diperhatikan benar kesejahteraan hewannya, jangan sampai kita ambil darah seenaknya, jangan sekali-kali,” ujarnya.
Bahkan, simpanse yang sudah digunakan sebagai model penelitian, menurutnya harus dipelihara sampai dia mati. Dan selama hidup, kesejahteraannya harus benar-benar diperhatikan.
“Maka dari itu, biayanya sangat besar, baik untuk breeding maupun untuk penelitiannya,” ujar Pudji Astuti. (Widi Erha Pradana / ES Putra / YK-1)