Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Serial Tua, Bahagia, di Jogja (1): Sariyem Buruh Gendong Pasar Beringharjo
8 Maret 2021 15:50 WIB
ADVERTISEMENT
Pada Minggu (28/2) siang, di parkiran lantai tiga Pasar Beringharjo sejumlah petugas sibuk menata tenda dan kursi bersiap menyambut kedatangan Presiden Jokowi esok hari untuk meninjau langsung proses vaksinasi bagi para pedagang di Pasar Beringharjo. Buruh gendong tentu jadi salah satu golongan yang akan mendapat jatah vaksin. Pada hari Minggu itu, mereka senang sekali.
ADVERTISEMENT
“Menanti Pak Jokowi, suenenggg poll,” kata salah satu buruh gendong mengekspresikan kebahagiannya, jempolnya, dua-duanya, diacungkan ke udara.
Buruh gendong perempuan di Pasar Beringharjo adalah salah satu kelompok rentan namun tak bisa diam di rumah untuk menghindari sergapan virus corona. Rentan, sebab usia rata-rata mereka tak lagi muda, banyak di antara mereka yang sudah lewat 70 tahun dan mereka bekerja di pasar yang penuh lalu lalang orang.
Dalam percakapan yang seluruhnya menggunakan bahasa Jawa halus, Sariyem, 79 tahun, berharap besar bahwa vaksinasi akan membuat Pasar Beringharjo kembali ramai.
“Lha gimana kalau belum divaksin pasar sepi, nggak dapat uang,” katanya.
Kalau sepi kenapa terus berangkat ke Pasar Beringharjo?
Dari pertanyaan pendek itu, jawaban meluncur panjang dari Sariyem dan beberapa buruh gendong perempuan lain yang siang itu merumpi saja, karena pasar hanya ramai oleh petugas yang menyiapkan acara vaksinasi, bukan oleh pembeli.
ADVERTISEMENT
Alasan pertama adalah tak ada yang bisa mereka kerjakan di rumah. Rata-rata tak punya sawah kecuali tegalan kecil di belakang rumah. Jadi, Pasar Beringharjo adalah sawah mereka. Setiap hari mereka kudu berangkat. “Kalau enggak berangkat badan malah pegel-pegel semua. Mau apa di rumah?” yang lain menyaut,”kalau ke pasar kan ketemu teman-teman, geguyon, hati senang.”
Sebelum pandemi mereka bisa mendapat penghasilan sampai 50 ribu rupiah dari menggendong barang 10 kali karena sekali gendongan minimal mereka mendapat 5 ribu rupiah. Kalau pas datang wisatawan mereka bisa dapat lebih untuk sekali gendongan.
Biaya yang mereka keluarkan untuk berangkat dari rumah ke Beringharjo 14 ribu rupiah sekali jalan atau 28 ribu rupiah bolak-balik. Dari 200an buruh gendong perempuan di Beringharjo, memang separuhnya berasal dari Sentolo, Kulon Progo, 30 kilometer jauhnya dari Beringharjo.
ADVERTISEMENT
“Jadi pas pandemi ini ya sering tombok, ya resiko kerja. Mau bagaimana lagi, pokoknya semangat, kalau sedih nanti malah sakit nggak bisa cari makan,” kata mereka lagi, tak ada ekspresi sedih kecuali satu, yang menyaut,” halah, ya sedih, kalau uang sedikit diminta anak terus, habis nggak ada sisa.”
Tak ada yang memberi aba, bersautan, yang lain menimpali, seperti menerangjelaskan, bahwa ibu yang diminta duit anaknya kok jadi sedih itu berarti tidak ‘trimo ing pandum.’ “Dia itu dapat uang terus lho padahal, tapi syukurnya kurang,” kata salah satu buruh gendong termuda.
Menurut Sariyem, buruh-buruh gendong dari Sentolo, Kulon Progo yang sudah berusia di atas 70 tahun itu, sudah jarang bisa sedih. Dalam keadaan apapun, mereka sudah tak bisa sedih, semua dianggap biasa saja.
ADVERTISEMENT
Dari Sariyem juga keluar cerita bahwa di awal karirnya di Beringharjo, dia musti jalan kaki ke Beringharjo. Sariyem semula berjualan rokok keliling di Malioboro, pada usianya yang belum genap 20 tahun, artinya kira-kira pada medio 1960an. Dia ikut tetangganya begitu saja. Namun, usahanya bangkrut lalu ikut tetangga yang lain jadi buruh gendong di Beringharjo.
Tapi semua mengaku tak tahu kapan pertamakali orang-orang Sentolo, Kulon Progo, jadi buruh gendong di Beringharjo.
ADVERTISEMENT
Takdir Dewi Nawangwulan
Ada banyak versi sejak kapan para buruh gendong pertama kali ada di Pasar Beringharjo. Sebuah versi menyebutkan ia ada sejak zaman kolonial pada abad ke-18. Versi lain menyebutkan keberadaan mereka tak lepas dari sejarah kerajaan Mataram.
Pasar Beringharjo memang telah menjadi daerah untuk transaksi ekonomi sejak Kasultanan Ngayogyakarta berdiri pada 1758. Baru pada 1925 keraton resmi membangun sebuah pasar di daerah Beringharjo itu dimana keraton menugaskan Nederlansch Indisch Beton Maatschappij (Perusahaan Beton India Belanda) untuk membangun beberapa los pasar.
Ketua II Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) Yogyakarta, Umi Asih, yang riset dan fokus melakukan pendampingan terhadap buruh gendong di DIY mengatakan, awalnya buruh gendong di pasar Beringharjo menjadi pengabdi keluarga kerajaan. Merekalah yang akan membawakan barang-barang belanjaan keluarga kerajaan ketika berbelanja di pasar Beringharjo.
ADVERTISEMENT
“Kan enggak mungkin ndoro-ndoro itu membawa sendiri belanjanya, jadi dia (buruh gendong) merasa terpanggil untuk mengabdi kepada Keraton,” kata Umi Asih, Senin (1/3).
Selama bertahun-tahun, endong-endong (sebutan untuk buruh gendong perempuan. Buruh gendong laki-laki disebut manol) itu mengabdi kepada keluarga kerajaan. Seiring bertambahnya waktu, jumlah mereka semakin besar dan tetap bertahan hingga sekarang.
Ketika zaman berganti, fungsi mereka berubah. Kini, mereka melayani siapapun yang berbelanja di pasar Beringharjo; wisatawan, pedagang, dan sebagainya.
Tapi Umi Asih, dalam risetnya pada 1980-an juga menemukan sebuah oral history yang diceritakan turun temurun, bahwa dulu masyarakat Sentolo punya keyakinan yang kuat atas keberadaan Dewi Nawangwulan, seorang bidadari yang selendangnya dicuri oleh Jaka Tarub ketika mandi di telaga. Karena tak ada selendang, mereka percaya, Dewi Nawangwulan kerap menggendong berbagai jenis barang menggunakan srumbung (sejenis alat gendong dari anyaman bambu).
ADVERTISEMENT
Kepercayaan itu kemudian membuat banyak orang dari Sentolo, Kulon Progo, ingin menjadi endong-endong. Ada kebahagiaan tersendiri ketika mereka menggendong srumbung di punggung mereka.
Sampai sekarang, pekerjaan menjadi endong-endong terus diturunkan. Sehingga saat ini masih sangat banyak buruh gendong di pasar Beringharjo yang berasal dari Sentolo. “Tapi ya sekarang sudah jarang yang tahu. Mereka ke sini ya karena butuh pekerjaan karena di kampung tidak menawarkan apa-apa,” kata Umi.
Pukul 12 Siang yang Rawan
Sariyem biasa bangun sebelum pukul 5 pagi. Langsung menjereng air untuk membuat teh nasgitel (panas, legi, kenthel) yang dia akui sebagai satu-satunya jamu bagi tubuhnya agar kuat bekerja. Tak ada asupan vitamin atau jamu, hanya air teh yang panas, manis, dan kental. Sesruput teh akan membuat badannya segar kembali untuk segera melakukan ritual paginya di rumah yakni mencuci baju miliknya dan suami, mencuci piring, dan memberi makan ayam.
ADVERTISEMENT
“Ayam ini juga tabungan, bisa dijual ke Beringharjo kalau sudah gedhe,” katanya.
Suaminya yang beberapa tahun lebih tua, sudah beberapa tahun ini memakai ring di jantungnya sehingga tak bisa mengerjakan banyak pekerjaan berat. Tanggung jawab suaminya adalah bersih-bersih rumah, merawat tegalan kecil di rumah, dan memberi makan ayam saat dia pergi ke Pasar Beringharjo, pukul 7 pagi.
“Sarapannya nasi putih, sayur seadanya, paling suka ya oseng kacang dowo (panjang) sama tahu tempe. Sudah enggak pernah makan amis-amis seperti ayam enggak, telur saja paling. Ini udah senang, enak,” katanya.
Ia juga membawa bekal nasi ke pasar dan air putih. Tapi tak membawa teh. Karena teh akan menjadi ritual sore saat ia pulang pukul 3 sore dari Beringharjo.
ADVERTISEMENT
“Sampai rumah ya langsung nggodog wedang, sama kayak bangun tidur,” jelasnya.
Setelah minum teh, mandi, ritual malam hari Sariyem adalah nonton sinetron Ikatan Cinta. “Pokoknya kalau nonton Andin (karakter utama di Ikatan Cinta), sudah seneng. Mau apalagi kita sudah tua nonton sinetron sudah senang sekali, ndak pingin ke mall, belum pernah seumur hidup ke mall malahan,” terang Sariyem.
Cita-cita Sariyem sederhana saja, dia ingin membuat warung di rumahnya yang jualan kebutuhan pokok sehari-hari, seperti gula, teh, mie instan, dan jajanan anak. Makanya, kalau pas ada wisatawan yang memberinya 50 ribu rupiah sekali gendong, senangnya minta ampun. Nyicil ayem, katanya.
“Mbah Sariyem ini anak 5 sudah kerja semua, ya kerja apa saja tapi sudah kerja semua, jadi ya tinggal mikir buat makan berdua sama suami dan paling ngasih jajan cucu,” terang salah satu buruh gendong termuda yang selain tetangga Sariyem juga pernah menjadi koordinator buruh gendong Pasar Beringharjo selama 5 tahun.
ADVERTISEMENT
Sariyem menambahi bahwa dia juga masih punya butuh untuk biaya transport kontrol suaminya ke rumah sakit, kalau biaya rumah sakit sudah ditanggung BPJS.
“Terus kan juga butuh untuk tilik tetangga sakit, njagong manten, macam-macam kebutuhan. Makanya kalau ada uang lebih bisa buat sampingan beli apa di sini dijual di rumah,” jelasnya.
Jualan apa saja di pasar dengan membawa barang dari rumah atau sebaliknya membawa barang dari Beringharjo untuk dijual di tetangga rumah memang menjadi pekerjaan sampingan dari banyak buruh gendong Beringharjo. Tapi hal itu juga bukan harapan besar, karena keterbatasan modal mereka. Kecuali bagi yang masih muda masih bisa membuat makanan kecil seperti kue-kue tradisional untuk dijual kepada para pedagang. Bagi yang sudah tua seperti Sariyem, tiada yang lain, Beringharjo adalah rumah keduanya, tempat ia bertemu dengan segala kemungkinan baik: harapan.
ADVERTISEMENT
“Beringharo kan icon kota, pasar, jadi pasti ada saja rejeki,” kata yang muda menjelaskan.
Mbah Sariyem berkata dalam bahasa jawa halus,
Adakah memang Dewi Nawangwulan yang melindungi mereka dari kesedihan paling dalam, seperti kesedihan karena miskin yang dirasakan banyak orang-orang kota besar?
Tepat pukul 12 siang adalah waktu paling rawan bagi endong-endong Pasar Beringharjo. Itulah waktu dimana doa-doa terbaik mereka panjatkan ke langit. Setelah pukul 1 lewat, mereka sudah biasa pasrah. Tapi menginjak pukul 12, itulah tingkat stress utama mereka datang.
ADVERTISEMENT
“Jadi kalau jam 12 belum nggendong apa-apa, waduh agak pusing, mengalahkan apapun pusingnya,” kata Sariyem yang disambut tawa yang lain. Tapi di pukul 12 yang rawan itulah, mereka melakukan apa yang sulit dimengerti dalam ekosistem pasar bebas dimana mengalahkan lawan dalam persaingan adalah harga mati yang harus ditempuh apapun resikonya. Mereka malah melakukan sebaliknya.
“Sana buat kamu saja untuk pembukaan, aku tadi sudah ada pembuka. Pecah telur awal itu penting, kalau sudah pecah biasanya lalu dapat-dapat terus. Tapi kalau direbut ya marah, ngomel, intinya ada kesadaran tapi ya jangan merebut rejeki orang,” begitu endong termuda menerangkan bagaimana mereka biasa berbagi konsumen gendong di pukul 12 siang.
Manyaksikan Sariyem yang berusia 79 tahun dan masih kuat menggendong sampai 50 kilogram adalah menyaksikan kekuatan fisik nyata yang memberi alasan kenapa ia bisa begitu sulit untuk sedih. Ia juga jarang sakit sebagaimana lansia endong-endong yang lain. Dan menyaksikan bagaimana mereka bisa berbagi bahkan dalam ukuran yang bagi kebanyakan orang adalah kekurangan, sulit untuk tidak percaya bahwa kebahagiaan tidak berada pada keberlimpahan materi.
ADVERTISEMENT
Minggu sore itu, sebuah whatsapp masuk dari endong-endong termuda yang siang itu kami temui. Begini bunyinya,”Mbah Sariyem cuma 1 yang bikin dia sedih. Empat tahun yang lalu, salah satu anaknya yang belum menikah, masih muda, meninggal karena bunuh diri. Dia sering nangis kalau ingat anaknya itu saja, lainnya ndak pernah sedih.”**
**Ini adalah seri pertama dari serial panjang yang mengulik bagaimana arti kebahagiaan pada sosok perempuan lanjut usia di Jogja. Nantikan seri yang bakal terbit dalam waktu dekat:
ADVERTISEMENT
Serial Tua, Bahagia, di Jogja (2): Lady Banana Sisters Company
Serial Tua, Bahagia, di Jogja (3): Perempuan Tertua di Jogja yang Aneh