Serial Tua, Bahagia, di Jogja (2): Lady Banana Sisters Company

Konten Media Partner
3 April 2021 14:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Terbuat dari apakah kebahagiaan? Di Pasar Dekso, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kebahagiaan terbuat dari setandan pisang.
Mbah Ponirah (kiri) dan Mbah Selamet (kanan), keduanya saudara kandung yang sama-sama menekuni jual beli pisang. Foto: ESP
Perdagangan pisang di Pasar Dekso, Kulon Progo, dimulai pada pukul 04.00 pagi. Pelaku utamanya, sekelompok nenek-nenek berusia rata-rata 75 tahun yang telah menempuh karir ini selama lebih dari 50 tahun. Sekali lagi, lebih dari 50 tahun.
ADVERTISEMENT
Sulit membayangkan bagi generasi hari ini untuk menempuh sebuah profesi yang sama selama puluhan tahun kecuali ia seorang pegawai, negeri atau swasta. Itu pun pasti akan mengalami pindah-pindah posisi. Itu pun akan sudah pensiun di pertengahan usia 60-an. Tapi nenek-nenek penguasa perdagangan pisang di Pasar Dekso, tak pernah menyentuh profesi lain.
Mbah Setro, sementara memegang rekor tertua di antara nenek-nenek tua penguasa perdagangan pisang Pasar Dekso ini. Ia, menempuh karirnya hingga usia 90 tahun, sebelum 5 tahunan yang lalu tertabrak motor pukul 05.00 pagi saat ia dengan kakinya yang renta, berjalan kukuh dari rumahnya ke Pasar Dekso yang berjarak sekitar dua kilometer. Kejadiannya persis di perempatan Dekso atau hanya kurang dari 100 meter sebelum pasar Dekso berada.
ADVERTISEMENT
“Belum ada yang ngalahin Mbah Setro soal usia dan kecanggihan dalam berjualan pisang. Ia selalu jalan kaki ke pasar, pisangnya dari rumahnya diangkut pakai tossa sama karyawannya,” kata Siti, 45 tahun, generasi termuda penguasa pisang Pasar Dekso.
Mbah Ponirah (kiri) dan Mbah Selamet (kanan), keduanya saudara kandung yang sama-sama menemuki jual beli pisang. Foto: ESP
Canggih, entah bagaimana cara negosiasi dan meyakinkan petani, stok pisang Mbah Setro, sampai saat ini, menurut Siti, tak ada yang mengalahkannya. Untuk diketahui Siti selalu membawa satu pick up penuh pisang dalam sekali berjualan. Dan ia masih kalah dari Mbah Setro.
“Stok ditumpuk di rumah, dibagi-bagi mana yang buat ecer, buat grosir, pokoknya hebat sekali. Saya saja stok pisangnya kalah,” katanya.
Kini Yu Precil, 80 tahun, yang memegang rekor tertua. Tapi Pasar Dekso, bukan arena utama Yu Precil dalam berniaga pisang. Pasar Dekso hanya sebagai tempat kulakan dan berbagi stok lebih untuk beberapa jenis pisang. Selebihnya, pada pukul 05.00-06.00 pagi Yu Precil telah meninggalkan Pasar Dekso dan menuju pasar-pasar lain seperti Pasar Muntilan, Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Jadi, selain Siti sebagai generasi paling muda, penguasa sejati perdagangan pisang Pasar Dekso saat ini adalah Sinem, Ponirah, dan Slamet, ketiganya berusia 75 tahun. Ketiganya, sejak awal memulai karir pada usia 20-an hingga saat ini, menjadikan Pasar Dekso sebagai tambatan utama. Ketiganya, saudara seperjuangan.
Naik Turun Gunung Jalan Kaki, Masa Menyenangkan
Mbah Sinem menggelar dagangannya. Foto: ESP
Siti berkata, saat dia masih berlarian telanjang di halaman, Mbah Sinem telah menyunggi pisang di kepalanya, bersama suaminya yang membopong pisang dengan pikulan.
Begini cara kerjanya, Sinem akan naik gunung, ke pelosok-pelosok desa untuk mencari pisang dari petani pisang terjauh. Pisang yang dibeli, bisa langsung dijual ke pemukiman yang lebih padat atau disimpan dulu sampai matang dan diantar ke langganan.
ADVERTISEMENT
Pembeli terbesar sejak dulu adalah, secara berurutan, penduduk setempat untuk keperluan konsumsi atau upacara adat (pernikahan misalnya), para pedagang pisang yang menjual pisangnya ke kota, dan warung-warung.
“Itu benar-benar masa senang. Jalan kaki jauh tapi hasilnya banyak. Sekarang enggak jalan kaki, naik colt umum, tapi hasilnya sedikit,” kata Sinem Jum’at (5/3) pagi di Pasar Dekso.
Sisa jualan sekaligus hasil kulakan yang harus diperam lagi di rumah untuk dijual di rumah dan di pasaran berikutnya dibawa pulang naik colt ompreng. Foto: ESP
Bagi Sinem, berjualan pisang adalah takdir hidupnya. Pisang rojo, kutuk, lembang, kepok, ambon, segala jenis pisang yang ditanam di bumi Kulon Progo, adalah teman hidupnya.
Dua anaknya telah kerja di Jakarta, lulusan SMA yang mencari nafkah halal di Ibu Kota.
“Kerja di mana kurang faham yang jelas gajian rutin tiap bulan, sudah cukup buat hidup, ndak pernah kirim uang karena buat mereka sendiri saja kan ya pas-pasan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Mbah Ponirah dan Mbah Selamet, keduanya saudara kandung, menempuh jalan hidup yang mirip dengan Sinem. Juga, tak ada anak-anak mereka yang mau melanjutkan bisnis mereka.
“Malah milih bertani dan kerja serabutan, padahal dagang pisang juga ada hasilnya. Nggak tau siapa yang nerusin nanti pokoknya selama masih sehat Mbah akan terus jualan pisang,” kata Ponirah.
Kemandirian Hidup
Siti membawa sendiri pick upnya. Siti berjualan di banyak pasaran. Dia kini menjadi pedagang pisang terbesar di Pasar Dekso. Foto: ESP
Pasar Dekso adalah pasar tradisional khas perdesaan di Jogja, luas dan relatif bersih. Para penguasa pisang menguasai area depan, persis di pinggir jalan sebab mereka sejatinya bukanlah penjual ecer. Para pembeli mereka kebanyakan adalah para pedagang pisang di Jogja kota atau Magelang, berjarak 30 kilometer jauhnya dari Pasar Dekso.
Di area dalam, pasar yang hanya hidup saat hari pasaran Kliwon tiba ini, penuh dengan aneka penjual yang jika Presiden Jokowi mengeluhkan serbuan barang impor, niscaya tak akan Anda temukan sebiji barang impor pun di Pasar Dekso.
Penjual roti produksi industri rumah tangga menjajakan dagangannya di dalam Pasar Dekso. Foto: ESP
Seluruh yang dijual di Dekso adalah hasil bumi petani Kulon Progo dan hasil karya kerajinan warga sekitar.
ADVERTISEMENT
Lihatlah kepang anyaman bambu yang indah, caping aneka jenis, jajanan kampung lawasan yang bahkan namanya susah diingat, penjahit baju yang siap membesarkan ukuran pinggang celanamu, keriuhan pande besi menempa pacul dan arit petani, dan keterampilan tangan tukang cukur di pojok pasar yang penuh antrian pakdhe dan simbah.
Kemana para nenek penguasa pisang memotong rambutnya?
“Potong sendiri. Ndak pernah ke salon seumur hidup,” kata Sinem, senyum.
Penjual caping dan aneka karung bekas. Foto: ESP
Seperti keseluruhan Pasar Dekso yang menjual karyanya sendiri, Sinem, Ponirah, dan Selamet, memiliki harta yang menjadi kemewahan generasi mereka: mandiri sampai tua sekali, persisten dengan pilihan hidupnya, dan sikap nerimo ing pandum (bersyukur dengan apa dan berapapun yang mereka dapatkan).
“Makan pokoknya sudah nggak mau amis-amis, telur juga enggak, daun kates dioseng sudah senang,” kata Ponirah.
Mbah Ponirah. Foto: ESP
Pusing membayangkan bagaimana tubuh mereka bisa begitu kuat hingga usia tua sementara asupan makan mereka begitu sederhana.
ADVERTISEMENT
Lady Sisters Company, perusahaan nenek-nenek tua yang tak memproduksi benda-benda yang membuat orang lain merasa kekurangan: ketekunan menjalani takdir hidup adalah produksi utama mereka. Inikah arti bahagia, di usia tua, di Jogja? (ES Putra / YK-1)
* Ini adalah seri kedua dari serial panjang yang mengulik bagaimana arti kebahagiaan di Jogja. Nantikan seri yang bakal terbit dalam waktu dekat:
Seri pertama:
Seri berikutnya:
Serial Tua, Bahagia, di Jogja (3): Perempuan Tertua di Jogja yang Aneh
Serial Tua, Bahagia, di Jogja (4): 13 Tahun Tubuhnya Memanggul Kanker
** Frasa Lady Banana Sisters Company berutang kepada arsitek Eko Prawoto yang mengenalkan kehidupan para penjual pisang di Pasar Dekso di postingan instagramnya, yang sering ia sebut sebagai Lady Banana.
ADVERTISEMENT