Serial Tua, Bahagia, di Jogja (3): Perempuan Tertua di Jogja yang Aneh

Konten Media Partner
4 April 2021 16:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Nek ngarani, ngrekasani, sakontene mawon. Adu arep ojo tau njaluk,” Mbah Par, 119 tahun, warga Nanggulan, Kulon Progo, DIY.
Mbah Suparni. Foto: ESP
Sejak dimuat di berbagai situs berita pada pada medio Juli 2017 sebagai orang tertua di Jogja, banyak orang yang datang menemui Mbah Par di gubugnya yang beratap asbes, berkuran 3 x 3 meter, persis di sebelah rumah limasan milik anaknya.
ADVERTISEMENT
Punggung Mbah Par telah membungkuk, rambutnya putih semua, saat bercakap susunya yang kempot dan keriput sesekali ndelosor keluar melalui bawah kutangnya. Tapi jangan tanyakan kekuatan fisiknya.
“Saya masih kuat nimba tua-tua gini,” kata Mbah Par.
Merasa tak cukup hanya dengan kata-kata, dia bergegas dari kursinya menuju belakang rumah. Di sana, terdapat sebuah sumur timba yang dalam. Mbah Par langsung melempar ember ke dalam sumur. Setelah terisi penuh oleh air, dia tarik dengan kedua tangannya sampai ember itu berada di bibir sumur dan segera buang airnya. Begitu terus dia lakukan hingga tiga kali.
“Percaya?, eh eh eh eh eh,” katanya terkekeh riang.
Tawa kencang Mbah Par. Foto: ESP
Secara fisik, sulit membayangkan darimana kekuatan Mbah Par berasal. Padahal Mbah Par mengaku jarang makan nasi, kalau pun makan, hanya tiga sendok dan sudah membuatnya kekenyangan. Itu pun tak melulu nasi, bisa ketan, tape, jadah, grontol, gethuk, apa saja. “Cuma minum teh kental terus nggak boleh berhenti ngeteh, sama ngerokok tembakau ngelinting sendiri atau nginang.”
ADVERTISEMENT
Kerja dan mandiri, tak mau merepotkan siapa pun itulah kata kunci yang dinyatakan Mbah Par sebagai resep sehatnya. Setiap hari dia benar-benar masih bekerja, menganyam tali pandan yang kemudian diambil oleh para pembuat tas dan kerajinan lainnya. Nanggulan, memang sentra kerajinan pandan di Jogja.
Jadi orang, kata Mbah Par, jangan pernah minta-minta. Bahkan kalau bertemu Pak Jokowi, dia tak akan meminta apapun. Nggak mau merepotkan dan kalau pun dikasih malah nanti jadi urusan panjang seluruh negara.
ADVERTISEMENT
Seluruh kata-kata filsafat berat itu keluar lancar tak berjeda dari mulut Mbah Parni yang tak henti mengeluarkan asap tembakau.
Artinya kira-kira, orang hidup di dunia itu semestinya menjauhi keramaian. Siapa yang tidak punya dikasih tak perlu menunggu diminta. Kalau minjami uang tak boleh meminta bunga. Kalau dibohongi silahkan, jangan pernah membohongi. Topo ngrame, itu artinya sensitif pada keadaan sekeliling. Ada orang kerja bakti, ya dikasih makan, tak ada gula ya dibelikan. Yang bisa mikir begitu layak dipanggil simbah, sebab bocah pikirannya belum sampai.
Pikiran Fair
Foto: Widi Erha Pradana
Usianya 119 tahun, sebenarnya lebih tepat kalau keterangan usia berada dalam tanda tanya. Google saja dengan kata kunci orang tertua di Jogja, mesin pencari itu akan membawamu ke nama Mbah Suparni. Mbah Par atau Mbah Parni, begitu ia biasa dipanggil. Mengikuti logika usianya, ia berarti lahir pada 1902. Tapi ketahuilah, tak satu pun tetangganya percaya ia setua itu.
ADVERTISEMENT
Pasal pertama yang membuat tetangganya ragu, anak pertama Mbah Par lahir pada 1954, anak keduanya pada 1957. Artinya, saat melahirkan anak pertamanya, Mbah Par telah berusia 52 tahun, sebuah hal yang sulit diterima oleh disiplin ginekologi.
Hal berikutnya, Mbah Par baru pindah ke Nanggulan, dari Kedu, pada 1945. Tetangga yang usianya mendekati Mbah Par di Nanggulan sudah jarang. Yang masih ada, meski tak memiliki argumen, tapi tak ingat ada orang yang jauh lebih tua dari mereka.
Foto: ESP
Menanyakan hal itu pada Mbah Par, pun, sia-sia belaka. Dia akan terkekeh dengan tawa yang sangat memesona: kekeh yang kencang dengan binar mata seperti binar mata bocah yang baru saja dapat hadiah. Dan dia akan memberondongmu dengan serentatan kisah yang membuatmu lupa apa arti penting menanyakan kebenaran akan usianya.
ADVERTISEMENT
Orang sekarang, kata Mbah Par, kebanyakan pikiran yang tidak bersih. “Pikirannya nggak per (fair, bersih), padahal hidup di dunia kuncinya di pikiran (yang bersih),” katanya.
Jika mengandalkan pikiran (yang nggak per), Mbah Par telah jadi pegawai administrasi pemerintahan Belanda di Jogja. Di jaman Belanda, dia sekolah hingga kelas 3, saat itu, katanya tak ada sekolah hingga kelas 6. Siapa saja yang sudah lulus kelas 3 bisa jadi pegawai. Tapi Mbah Par menolak.
“Sekolah zonder biaya, lulus langsung kerja, zonder biaya. Tapi saya nggak mau, kulo tasih pingin mayeng-mayeng (saya masih ingin berkelana),” katanya.
Pergi ke mana? Mbah Par mengaku suka ikut kumpulan di tempat Raja Jogja ngumpul di rumah Ndoro Wisnuwardhana. “Presiden yang sudah almarhum, Pak Karno, juga kumpulan di sana. Kalau Pak Harto nggak ada,” terang Mbah Par.
ADVERTISEMENT
Pembelajar yang Tekun
Mbah Par menggulung tali pandan di halaman rumah anaknya. Foto: Widi Erha Pradana
Fisik yang terus bergerak, pikiran dan hati yang tak henti belajar, itulah kelebat jawab akan rasa penasaran darimana kekuatan tubuh dan kata-kata ajaib yang bisa terus meluncur deras dari Mbah Parni.
Kisah-kisah perjalanan, perjumpaan dengan orang-orang, dan falsafah hidup yang dikisahkan Mbah Par terus berputar di seputar peristiwa menempuh perjalanan jalan kaki dari Nanggulan ke Kraton Jogja, sekitar 30 kilometer jauhnya.
Di masa mudanya, Mbah Par sepertinya terlibat dalam sebuah kelompok pembelajar spiritual tertentu yang secara rutin berkumpul di Kraton Jogja. Ia juga mengaku pernah menjadi sinden. Dan rahasianya bisa fasih mengikuti peristiwa terkini dari seluruh penjuru dunia adalah sebuah radio lawasan dengan baterai ukuran c yang ia akui sebagai pemberian Sri Sultan HB IX.
Mbah Par dan radio kesayangannya. Foto: ESP
“Saya hanya dengerin berita. Baik buruknya situasi jadi ngerti. Ono ontran-ontran ngerti. Kalau cuma lagu-lagu nggak mau mendengarkan. Baterai mahal, 13 ribu hanya untuk 5 hari,” kata Mbah Par. Selain berita, Ia hanya mau mendengarkan wayang dengan dalang Gito dan siaran kelompok tani. “Dalang selain Gito cuma hura-hura, ceritanya apa nggak jelas.”
ADVERTISEMENT
Pendengaran Mbah Par kelewat sempurna untuk fisik yang jelas sekali tampak sangat renta. Penglihatannya, jauh lebih sempurna. Menjalani hari dengan rutinitas kerja menganyam pandan, melayani cerita orang-orang yang masih sering datang, harapan terbesar Mbah Par kini hanyalah sering-sering mengadakan pengajian dengan mengundang kyai setempat dan tetangga di setiap pasaran hari lahirnya tiba. Tak ada yang lain.
Kalau menginginkan malah merepotkan, seadanya bersyukur. Bahkan kalau bertemu Tuhan, jangan meminta, tapi bersyukurlah. (Widi Erha Pradana / ES Putra / YK-1)
ADVERTISEMENT
* Ini adalah seri kedua dari serial panjang yang mengulik bagaimana arti kebahagiaan di Jogja.
Seri 1 dan 2:
Nantikan serial berikutnya:
Serial Tua, Bahagia, di Jogja (4): 13 Tahun Tubuhnya Memanggul Kanker Stadium Lanjut