Sering Juara Lomba, Kenapa Desa Wisata di Jogja Tak Diminati Wisatawan?

Konten Media Partner
24 Juni 2022 14:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kegiatan wisatawan di Desa Wisata Nglanggeran. Foto: Instagram @gunungapipurba
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan wisatawan di Desa Wisata Nglanggeran. Foto: Instagram @gunungapipurba
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat ini ada sekitar 130 desa wisata di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Beberapa di antaranya sudah menjadi langganan juara lomba desa wisata baik di tingkat nasional maupun internasional.
ADVERTISEMENT
Bahkan Desa Wisata Nglanggeran di Patuk, Gunungkidul, tahun lalu mendapatkan gelar desa wisata terbaik dari Organisasi Pariwisata Dunia di bawah PBB (UNWTO). Desa wisata pun menjadi salah satu wisata andalan Pemerintah Provinsi DIY.
Namun, pakar pariwisata dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Amiluhur Soeroso, mengatakan bahwa sejak awal desa wisata di DIY tidak dirancang dengan baik. Pengembangan desa wisata di DIY menurut dia tidak didasarkan pada kesadaran dan kemauan masyarakat luas, melainkan kemauan beberapa orang saja, termasuk pemerintah.
“Meskipun dia juara, dikenal sampai dunia, tapi tidak by design. Mereka muncul karena kemauan beberapa orang saja,” kata Amiluhur Soeroso, saat dihubungi Pandangan Jogja @Kumparan, Rabu (22/6).
Hal itu membuat desa-desa wisata di DIY tidak memiliki keunikan yang bisa dijual dan hampir semua konsepnya seragam. Misalnya menyajikan wisata atraksi alam seperti outbound atau kegiatan-kegiatan lain yang sebenarnya bisa didapatkan di desa lain.
ADVERTISEMENT
“Kalau kita ke desa yang dekat-dekat kota saja sudah mirip, ngapain kita harus ke Gunungkidul atau Kulon Progo yang jauh?” lanjutnya.
Pakar pariwisata dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Amiluhur Soeroso. Foto: Dok. Pribadi
Desa wisata menurut Amiluhur juga belum memiliki ikon yang kuat untuk menarik wisatawan datang dan tinggal di sana. Berbeda dengan wisata perkotaan yang punya ikon kuat untuk mendatangkan wisatawan seperti pusat perbelanjaan atau bangunan-bangunan bersejarah.
“Desa wisata itu ikonnya enggak jelas. Padahal itu adalah hal utama yang membuat orang mau datang. Ini mengapa saya bilang sejak awal tidak dirancang dengan baik,” ujarnya.
Banyak desa wisata yang pengembangannya justru meniru apa yang ada di kota. Padahal, tujuan orang datang ke desa wisata tujuannya adalah untuk bisa menyaksikan dan menikmati suasana kehidupan perdesaan. Hal ini membuat desa wisata menjadi kehilangan identitasnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Amiluhur juga menyoroti banyaknya desa wisata yang mengada-adakan konten wisatanya, bukan menawarkan apa yang sudah ada. Akhirnya, desa wisata hanya menjadi wisata mainstream. Meskipun banyak dikunjungi oleh wisatawan, nilai ekonomi desa wisata justru rendah.
“Dan orang tidak akan datang lagi untuk kedua kalinya. Karena hanya foto-foto, sudah. Tidak berkelanjutan. Karena yang dijual bukan pengalaman tinggal di desa,” kata Amiluhur Soeroso.
Pakar pariwisata dari Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Ike Janita Dewi, mengatakan bahwa inti dari desa wisata mestinya memang wisatawan tinggal dan belajar tentang budaya serta kehidupan di desa selama beberapa waktu.
Namun saat ini sebagian besar desa wisata di DIY berupa mass tourism dan hanya mengandalkan atraksi alam. Ike juga mengatakan jika masih terdapat kesenjangan yang sangat lebar antardesa wisata di DIY.
Pakar pariwisata dari Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Ike Janita Dewi
Menurutnya, ada desa wisata yang baru tumbuh, berkembang, maju, tapi ada juga beberapa yang mandiri. Desa wisata yang masih tumbuh dan berkembang memang sulit mendapatkan pasar. Karena itu, banyak dari desa wisata yang kemudian mengandalkan atraksi wisata alam demi mendatangkan wisatawan.
ADVERTISEMENT
“Banyak desa wisata yang ramai sebenarnya, tapi kan sajiannya atraksi alam, bukan wisatawan yang betul-betul melakukan kunjungan dalam rangka homestay atau tinggal,” kata Ike Janita Dewi.
Karena masih ada kesenjangan yang lebar, pembangunan desa wisata juga mesti dilihat dalam rentang yang lebar dari yang masih tumbuh sampai mandiri. Selain siap menerima tamu, desa wisata yang sudah maju dan mandiri bahkan siap untuk bekerja sama dengan industri.
Kegiatan wisatawan di Desa Wisata Nglanggeran. Foto: Instagram @gunungapipurba
Di sisi lain, desa wisata yang masih tumbuh dan berkembang butuh intervensi lebih besar dari pemerintah. Hal ini karena konsep desa wisata tersebut biasanya belum kuat.
“Kelembagaannya belum kuat, penginapannya belum standar, paket wisatanya belum ada, pengelolanya masih punya pekerjaan tetap yang sulit mengalokasikan waktu, dan masih banyak lagi,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Namun, desa-desa wisata yang tengah tumbuh itu menurut Ike juga tidak bisa dipaksakan untuk menerapkan konsep desa wisata secara ideal. Yang paling penting saat ini adalah potensi wisata di desa tersebut bisa dikelola oleh masyarakat untuk mendatangkan wisatawan, meskipun basisnya masih mass tourism.
“Karena memang tidak mudah membangun desa wisata. Yang penting kan sekarang ada potensi wisata yang dikelola masyarakat sehingga bisa meningkatkan perekonomian masyarakat setempat,” ujar Ike Janita Dewi.