Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Setiap 1 dari 3 Remaja Indonesia Ternyata Alami Gangguan Mental
24 Oktober 2022 18:36 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Hasil survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), mencatat 1 dari 3 remaja Indonesia usia 10-17 tahun memiliki masalah kesehatan mental. Angka itu setara dengan 15,5 juta remaja yang mengalami gangguan mental.
ADVERTISEMENT
Sementara 1 dari 20 atau sekitar 2,45 juta remaja di Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Survei ini berdasar pada panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5), yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia.
“Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan kesehariannya yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang ia miliki,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM yang merupakan peneliti utama I-NAMHS, Siswanto Agus Wilopo.
Siswanto mengatakan bahwa hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7 persen, diikuti oleh gangguan depresi mayor sebanyak 1,0 persen, gangguan perilaku sebanyak 0,9%, serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5%.
ADVERTISEMENT
Meski pemerintah sudah meningkatkan akses ke berbagai fasilitas kesehatan, namun hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental mereka. Padahal, hampir 20 persen dari total penduduk Indonesia berada dalam rentang usia 10 sampai 19 tahun, sehingga populasi remaja dapat dikatakan memiliki peran penting bagi perkembangan Indonesia, terutama untuk meraih bonus demografi dan merealisasikan visi Indonesia Emas 2024.
“Hanya 2,6 persen dari remaja yang memiliki masalah kesehatan mental menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan terakhir,” ujarnya.
“Angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka,” lanjut dia.
I-NAMHS juga mengumpulkan data mengenai pengaruh kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pembatasan kontak sosial selama pandemi COVID-19 terhadap kesehatan mental remaja. Sebanyak 1 dari 20 remaja melaporkan merasa lebih depresi, lebih cemas, lebih merasa kesepian, dan lebih sulit untuk berkonsentrasi dibandingkan dengan sebelum pandemi COVID-19.
Temuan lain dari I-NAMHS adalah bahwa kebanyakan (38.2 persen) pengasuh remaja memilih untuk mengakses layanan kesehatan mental dari sekolah untuk remaja mereka.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, dari semua pengasuh utama yang menyatakan bahwa remaja mereka membutuhkan bantuan, lebih dari dua perlima (43.8 persen) melaporkan bahwa mereka tidak mencari bantuan karena lebih memilih untuk menangani sendiri masalah tersebut atau dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman.
Sebagai informasi, I-NAMHS merupakan bagian dari National Adolescent Mental Health Survey yang juga diselenggarakan di Kenya dan Vietnam. Penelitian ini dikerjakan melalui kerja sama antara Universitas Gadjah Mada, University of Queensland Australia, Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health Amerika Serikat, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Hasanuddin.
I-NAMHS berfokus untuk menghitung beban penyakit atau prevalensi enam gangguan mental yang paling umum di antara remaja, yaitu fobia sosial, gangguan cemas menyeluruh, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, gangguan stres pasca trauma (PTSD), dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD).
ADVERTISEMENT
I-NAMHS juga mengidentifikasi faktor risiko dan pelindung yang berhubungan dengan gangguan mental remaja seperti perundungan, sekolah dan pendidikan, hubungan teman sebaya dan keluarga, perilaku seks, penggunaan zat, pengalaman masa kecil yang traumatis, dan penggunaan fasilitas kesehatan.
Menurut Siswanto, ketersediaan data prevalensi berskala nasional seperti I-NAMHS sangat diperlukan. Sebab, selama ini data yang dimiliki Indonesia tidak dapat merepresentasikan kondisi yang sebenarnya.
“Sehingga perencanaan program dan advokasi mengenai kesehatan mental remaja menjadi tidak tepat sasaran. Harapannya I-NAMHS bisa membantu pemerintah dan pihak lain yang terkait dengan kesehatan mental remaja dalam mendesain program dan advokasi yang lebih baik bagi remaja kita,” kata Siswanto Agus Wilopo.