Siapa yang Durhaka? Kita Semua Para Hakim Medsos atau Anak Ibu Trimah?

Konten Media Partner
4 November 2021 13:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Berita kisah Bu Trimah mendorong penghakiman pada anak-anaknya. Pengamat Media, Wisnu Prasetya Utomo, mengingatkan kita bahaya dari reaksi cepat kita atas sebuah berita.
Crazy Rich Malang sekaligus Presiden Arema FC, Gilang Widya Pramana, bersama J99 Foundation dan istri berfoto bersama Ibu Trimah. Foto: Instagram Juragan 99
Ketika berita tentang sosok Bu Trimah, seorang lansia asal Magelang yang dititipkan anak-anaknya ke sebuah panti jompo atau panti wreda di Malang, Jawa Timur, publik ramai-ramai menghakimi peristiwa tersebut dengan memberikan justifikasi kepada anak-anak Bu Trimah sebagai anak yang jahat, durhaka, dan sebagainya. Padahal informasi yang ada saat itu baru sepihak, hingga akhirnya salah seorang anak Bu Trimah muncul dengan memberikan klarifikasi berupa alasan mereka menitipkan ibunya ke panti wreda.
ADVERTISEMENT
Tapi, kasus Bu Trimah hanya satu contoh kecil dari reaksi cepat dan menghakimi masyarakat kita dalam menanggapi setiap peristiwa yang terjadi di jagat maya. Dosen Ilmu Komunikasi UGM yang juga seorang pengamat media, Wisnu Prasetya Utomo, mengatakan bahwa hal tersebut sebenanya bukan menjadi karakter khusus yang dimiliki oleh pembaca media di Indonesia, tapi lebih luas sebagai psikologi pengguna media sosial.
Perkembangan teknologi informasi yang begitu masif di Indonesia, membuat pengguna media sosial bisa mendapatkan akses informasi lebih cepat sekaligus bisa memberikan reaksi saat itu juga meskipun informasi yang didapat tidak utuh. Hal ini berbeda dengan psikologi konsumen media pada era sebelumnya, dimana mereka masih mendapatkan informasi dari koran, televisi, maupun radio.
ADVERTISEMENT
“Era sebelumnya, mereka tidak bisa memberikan reaksi atau komentar secara real time seperti yang terjadi saat ini,” kata Wisnu Prasetya Utomo saat dihubungi, Rabu (3/11).
Karakter yang cenderung reaktif dan cepat memberikan penghakiman atas setiap peristiwa yang ada di media, sebenarnya tak hanya terjadi di Indonesia. Menurut Wisnu, masyarakat di luar negeri juga memiliki kecenderungan yang sama, terutama setelah berkembangnya media sosial. Hal ini bisa dilihat dari seringnya kasus warganet yang melakukan bullying atau penghakiman terhadap orang lain seperti selebriti atau tokoh publik yang melakukan kesalahan.
“Dan itu terjadi di banyak negara, jadi bukan kasus yang spesifik terjadi di Indonesia,” ujarnya.
Rawan Dimanfaatkan
Bantuan untuk Ibu Trimah. Foto: Facebook Arief Camra
Warganet di Indonesia memang kerap disorot oleh dunia internasional. Hasil riset Microsoft bahkan menyebutkan bahwa warganet Indonesia termasuk yang paling tidak sopan di dunia berdasarkan riset tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020.
ADVERTISEMENT
Hal ini dipengaruhi oleh tingkat literasi digital masyarakat Indonesia yang sangat variatif, ada yang tingkat literasinya sudah baik namun banyak juga yang masih rendah. Hal itu membuat cara masyarakat dalam mendapatkan dan mencerna informasi juga berbeda-beda, ada yang mencerna lebih dulu hingga mendapatkan data dan fakta secara lengkap tapi banyak juga yang begitu mendapatkan informasi langsung ikut menyebarkan dan memberikan komentar saat itu juga. Maka tak heran jika berita-berita hoaks begitu mudah menyebar dan dipercaya oleh masyarakat.
“Dan itu yang sebenarnya berbahaya,” ujar Wisnu.
Situasi ini sangat mungkin, dan pasti, dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk membangun opini publik dalam banyak konteks dan kepentingan. Dan itu merupakan konsekuensi logis dari karakter pengguna media sosial yang sangat reaksioner.
ADVERTISEMENT
Yang paling gamblang, situasi ini kerap kali dimanfaatkan dalam dunia politik untuk memanipulasi opini publik.
“Bisa kita lihat banyak sekali politisi yang menggunakan buzzer untuk memanipulasi opini publik,” ujarnya.
Tak hanya untuk kepentingan politik, situasi ini juga banyak dimanfaatkan dalam konteks marketing di dunia bisnis. Banyak yang memanfaatkan gimmick-gimmick tertentu untuk mempengaruhi opini publik atas produk atau jasa tertentu di internet.
Ibu Trimah. Foto: Istimewa
Tapi tak tak jarang juga karakter pengguna media sosial yang reaktif ini juga dimanfaatkan dalam konteks yang positif. Di situasi pandemi seperti sekarang misalnya, reaksi tersebut banyak dimanfaatkan untuk membangun solidaritas sosial, menggalang donasi, dan sebagainya.
Hal ini menjadikan karakter seperti itu ibarat pisau bermata dua, di satu sisi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan yang positif tapi di sisi lain juga bisa dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan jahat.
ADVERTISEMENT
“Pasti akan ada yang memanfaatkan, pertanyaannya siapa yang memanfaatkan dan untuk tujuan apa? Karena bisa ke arah negatif dan positif,” kata Wisnu.
Karena itu, menurutnya perlu adanya pendidikan literasi digital untuk masyarakat Indonesia, sehingga mereka bisa mengkritisi suatu informasi dan tidak menelannya secara mentah-mentah. Sehingga, masyarakat bisa merespons sebuah informasi atau peristiwa dengan bekal yang memadai.
Pendidikan literasi tersebut bisa dimulai dari bawah, misalnya melalui komunitas-komunitas tertentu yang tujuannya untuk saling belajar satu sama lain dan meningkatkan literasi digital. Tapi, bisa juga dimulai dari atas oleh pemerintah, misalnya dengan memasukkan pendidikan tentang literasi digital ini ke dalam kurikulum pendidikan.
“Jadi kita tidak reaktif, tidak reaksioner, dan tidak terjebak untuk memberikan penghakiman kepada orang lain dengan cepat sebelum kita tahu fakta-faktanya seperti apa,” kata Wisnu Prasetya Utomo. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT