Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten Media Partner
Siddharta Melihat Orang Tua, Orang Sakit, dan Orang Mati Lalu Hidupnya Berubah
16 Mei 2022 14:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
ADVERTISEMENT
Suatu hari pada tahun 563 sebelum masehi, di Taman Lumbini, kaki Gunung Himalaya di Nepal, seorang bayi laki-laki lahir ke dunia. Kelahirannya disambut gembira, terutama oleh kedua orangtuanya: Raja Suddhodana dan Ratu Mahamaya Dewi, raja dan ratu dari Suku Sakya. Bayi kecil itu diberi nama Siddhartha Gautama.
ADVERTISEMENT
Ketika dia lahir, dua arus air kecil jatuh dari langit, yang satu dingin dan satunya lagi hangat. Arus air tersebut kemudian membasuh tubuh Siddhartha. Tak seperti bayi pada umumnya, Siddharta lahir dalam keadaan tanpa noda, bahkan dia bisa langsung berdiri tegak dan melangkah ke utara. Di atas tanah yang dia injak kemudian tumbuh bunga teratai.
“Jadi Buddha Gautama sebenarnya merupakan anak seorang raja, bahkan dia adalah seorang putra mahkota,” kata Sekretaris Vihara Vimalakirti DIY, Majelis Nichiren Shoshu Buddha Dharma Indonesia (MNSBDI), Misdianto, Sabtu (14/5).
Seorang pertapa bernama Kondanna dari Asita Kaladewala melihat ada 32 tanda pada tubuh bayi Siddhartha yang merupakan pertanda tentang kehidupan agung di masa depan. Siddhartha bisa saja menjadi maharaja jika saja dia menguasai kearifan mengenai cara-cara duniawi. Namun, Siddhartha juga bisa menjadi seorang Buddha.
ADVERTISEMENT
Ramalan itu membuat sang raja khawatir, sebab dia ingin anaknya jadi pewaris tahtanya. Sang peramal mengatakan supaya sepanjang hidupnya Siddhartha jangan sampai melihat empat hal: orang tua, orang sakit, orang mati, dan seorang pertapa, supaya di masa mendatang Siddhartha akan menjadi penerus kerajaan, bukan jadi Buddha.
Karena itu, sejak kecil sang pangeran hidup dalam lingkungan kerajaan yang serba mewah. Dia selalu dimanjakan dan dilayani oleh pelayan serta dayang-dayang yang masih muda dan cantik di dalam istana.
Siddhartha tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas. Bahkan pada usia 7 tahun dia sudah menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Pada usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikahi Putri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. Di usia itu, Siddhartha telah mendiami tiga istana, yaitu istana musim semi, musim hujan, dan pancaroba.
ADVERTISEMENT
Namun suatu hari Siddhartha meminta izin untuk jalan-jalan ke luar istana. Di jalanan Kapilavasta, dia menemukan empat hal yang selama ini jadi pantangan, yakni orang tua, orang sakit, orang mati, dan seorang pertapa. Melihat empat hal yang belum pernah dia lihat sebelumnya itu, Siddhartha merasa sedih.
“Berhari-hari dia resah dan merenung, bagaimana menolong orang-orang yang susah dan papa itu,” ujar Misdianto.
Kesempurnaan di Bawah Pohon Bodhi
Perasaan cemas dan resah itu membuat Siddhartha memutuskan untuk meninggalkan istana pada usia 29 tahun. Siddhartha mulai mengembara untuk mencari tujuan dan arti hidup yang sejati. Apakah hidup hanya sekadar untuk menikmati kesenangan indrawi, mendapatkan kekayaan dan status, serta meningkatkan kekuasaan? Atau ada sesuatu yang lebih berharga, lebih nyata, dan lebih berarti daripada hal-hal itu?
ADVERTISEMENT
Mengutip Buddha dan PesanNya yang ditulis Bikhu Bodhi, Siddhartha kemudian memotong rambut dan jenggotnya, mengenakan jubah saffron, dan menjalani kehidupan tanpa rumah untuk melepaskan keduniawian, mencari jalan untuk bebas dari kelahiran, usia tua, dan kematian yang berulang-ulang.
Siddhartha pergi mencari pertapa-pertapa paling kondang, tak butuh lama dia telah menguasai doktrin-doktrin dan sistem meditasi mereka. Namun, Siddhartha kemudian menyadari sepenuhnya bahwa ajaran-ajaran tersebut tidak membawa ke tujuan yang dia cari.
“Kemudian beliau menempuh jalan pertapaan ekstrem, pertapaan menyiksa diri, yang membuatnya nyaris meninggal dunia,” tulis Bikhu Bodhi.
Saat itu, baru Siddhartha berpikir tentang jalan lain menuju pencerahan, yakni jalan yang menyeimbangkan perhatian yang tepat terhadap tubuh dengan kontemplasi yang mendukung dan investigasi yang dalam. Jalan itu kemudian dikenal dengan jalan tengah.
ADVERTISEMENT
Setelah pulih dan sehat, Siddhartha kemudian mendekati sebuah tempat indah di tepi Sungai Neranjara di dekat kota Gaya. Dia duduk menyilangkan kaki di bawah sebatang pohon yang kemudian dikenal dengan pohon bodhi, tepat di bawah sinar bulan purnama. Dia mengucapkan kebulatan tekad yang kuat bahwa dia tidak akan bangkit dari tempat duduknya sebelum mencapai tujuan.
Malam semakin larut, ketika Siddhartha mulai memasuki tahap meditasi yang lebih dalam, dan semakin dalam. Ketika pikirannya telah tenang secara sempurna, Siddhartha mulai mampu mengingat kelahiran-kelahiran lampaunya.
Pada tengah malam, dia mengembangkan ‘mata-dewa’, yang membuatnya mampu melihat makhluk-makhluk berlalu dan lahir kembali sesuai dengan karma mereka. Dia menembus kebenaran-kebenaran yang terdalam dan hukum-hukum realitas yang paling mendasar.
ADVERTISEMENT
“Tatkala fajar merekah, sosok yang duduk di bawah pohon itu bukan lagi Bodhisattva, seorang pencari kebenaran, tetapi seorang Buddha, seorang yang tercerahkan sepenuhnya, yang telah melenyapkan selubung-selubung ketidaktahuan yang paling tipis,” lanjut Bikhu Bodhi.
Waisak: Mencabut Penderitaan, Memberikan Kebahagiaan
Menurut tradisi Buddhis, peristiwa Siddhartha mendapatkan pencerahan sempurna ini terjadi pada bulan Mei pada saat usianya 35 tahun, pada bulan purnama di bulan Waisak. Menurut Bikhu Bodhi, ini adalah peristiwa besar kedua dalam kehidupan Buddha yang dirayakan pada bulan Waisak, yakni pencapaianNya dalam pencerahan.
Selama beberapa minggu, Buddha yang baru saja tercerahkan tetap tinggal di sekitar pohon Bodhi. Dia merenungkan kebenaran yang telah ditemukan dari berbagai segi yang berbeda.
“Kemudian ketika beliau menatap dunia, hati beliau digerakkan oleh belas kasih yang dalam terhadap orang-orang yang masih diliputi ketidaktahuan, dan beliau memutuskan untuk pergi dan mengajarkan Dharma yang membebaskan,” tulisnya.
ADVERTISEMENT
Setiap Waisak, umat Buddha menurutnya memperingati Buddha sebagai seorang yang telah berjuang sepanjang kehidupan-kehidupan lampau yang tidak terhitung untuk menyempurnakan semua kebaikan mulia, yang akan memampukan dia untuk mengajarkan jalan menuju kebahagiaan dan kedamaian tertinggi kepada dunia.
Misdianto, mengatakan hal serupa. Nilai utama dalam setiap perayaan Waisak menurut dia adalah Metrikaruna, yakni mencabut penderitaan dan memberikan kebahagiaan. Menurutnya, dua hal itu merupakan ajaran utama dari Siddhartha Buddha Gautama yang mesti diteladani oleh umat Buddha.
“Kita harus bisa memberikan kebahagiaan untuk semua orang dan menolong orang-orang yang kurang beruntung,” kata Misdianto.
Umat Buddha akan merayakan detik-detik Waisak 2566 BE yang akan jatuh pada Senin (16/5) tepat pukul 11.13.46 WIB.