Sisi Lain Pengamen Boneka Mampang di Perempatan Jogja yang Tak Kamu Ketahui

Konten dari Pengguna
2 Agustus 2020 17:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rinno, pengamen boneka mampang sedang beraksi di perempatan Jalan Parangtritis, Bantul, DIY. Foto: Widi Erha Pradana.
zoom-in-whitePerbesar
Rinno, pengamen boneka mampang sedang beraksi di perempatan Jalan Parangtritis, Bantul, DIY. Foto: Widi Erha Pradana.
ADVERTISEMENT
Badannya kurus, sorot matanya tenang. Beberapa saat mengobrol, dia tampak kurang nyaman dengan masker yang dikenakannya. Dia melepaskan maskernya, wajahnya yang legam dengan senyum tipis kini tanpa penghalang lagi. Wajahnya bisa menggambarkan, betapa sering dia terpanggang terik matahari.
ADVERTISEMENT
Kamis merupakan jadwal Rinno, 33 tahun, menghibur para lansia dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di panti milik Yayasan Anugerah Tuhan Hafara di Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. Dia sampai rela tidak bekerja demi menghibur para penghuni panti.
Setiap hari Rinno hidup di jalanan, mencari rupiah dengan cara menjadi pengamen badut di tiap lampu merah kota. Setidaknya sudah sekitar empat tahun dia menjalani aktivitas itu, menghibur orang-orang yang berhenti di lampu merah dari balik boneka mampang.
“Sudah empat tahun lebih. Paling sering di perempatan Jalan Parangtritis, Druwo,” ujar Rinno saat ditemui di Panti Hafara, Kamis (30/7).
Tapi beberapa waktu terakhir kesibukannya bertambah, yaitu harus menghibur para lansia dan ODGJ di Panti Hafara. Menghibur orang memang sudah menjadi keahliannya, tentu di balik boneka mampang raksasa dengan warna kuning, hitam, dan merah miliknya. Karena itu, sekarang tidak bisa setiap hari lagi dia bekerja menghibur orang di jalanan.
ADVERTISEMENT
“Keahlian saya kan menghibur, jadi saya pengin berbagi juga dengan cara menghibur mereka (lansia dan ODGJ),” lanjut dia.
Hasil 20 Ribu, Disisihkan untuk Lansia
Rinno sedang menghibur para lansia. Foto: Widi Erha Pradana.
Biasanya, Rinno ngamen dari dari sore menjelang ashar sampai maghrib. Tempat mangkalnya di perempatan Ring Road Jalan Parangtritis Bantul, DIY. Sekali ngamen, rata-rata hasilnya Rp 20 ribu. Dia maklum, perekonomian memang sedang sulit karena pandemi. Dalam satu kali lampu berwarna merah, belum tentu ada yang menyisihkan uangnya untuk Rinno.
“Seringnya enggak ada malah. Biasanya paling ngasih kalau di dashboard motor itu ada uang, RP 500 atau Rp 200 gitu,” ujarnya.
Koin demi koin dia kumpulkan. Hasilnya memang tidak seberapa, tapi dari hasil tidak seberapa itu dia sisihkan sebagian untuk para lansia dan ODGJ di panti maupun di jalanan.
ADVERTISEMENT
“Kalau dapet Rp 20 ribu ya Rp 15 ribu buat kebutuhan keluarga, Rp 5 ribu ditabung buat berbagi,” ujar ayah dua anak itu.
Justru karena situasi sulit begini menurutnya saling berbagi menjadi sangat penting. Jika semuanya egois, mementingkan diri sendiri, yang penting dia selamat dari situasi sekarang, maka manusia akan kalah dalam pertarungan melawan pandemi ini.
Uang yang dia sisihkan sedikit demi sedikit sejak sekitar dua tahun silam itu kemudian dia belikan sembako untuk para lansia di panti maupun di jalanan.Tujuan dia tidak muluk-muluk, Rinno hanya ingin jadi orang yang bermanfaat bagi sesama.
“Jumlahnya memang enggak seberapa, tapi kalau nunggu kaya dulu buat berbagi ya mau nunggu sampai kapan?” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Tertangkap Satpol PP dan Ditahan 11 Hari
Sosok Rino. Foto: Widi Erha Pradana.
Awalnya Rinno bekerja seperti orang pada umumnya, mencari uang untuk kebutuhan hidup dia dan keluarganya. Hingga sekitar dua tahun silam, dia terjaring razia oleh Satpol PP dan Dinas Sosial Kabupaten Bantul ketika akan pulang sehabis ngamen.
Rinno kemudian dibawa ke Camp Assessment dan mendekam di sana bersama para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) lainnya. Rinno ditempatkan dalam satu ruangan bersama para pengamen, gelandangan, pengemis, juga ODGJ.
“Dibiarkan gitu aja, jadi satu ada yang orang gila, pengamen, pengemis. Cuman dikasih makan saja,” ujarnya.
Tapi dari situlah kemudian dia menemukan rasa empati yang begitu besar kepada para lansia dan ODGJ. Selama 11 hari hidup dalam satu sel bersama mereka membuat Rinno sadar, bahwa dia bukanlah manusia paling menderita di bumi ini seperti yang biasa dia rasakan. Bahwa menjalani masa tua sendiri di jalanan, tanpa rumah yang bisa dijadikan tempat tujuan pulang ternyata jauh lebih memilukan.
ADVERTISEMENT
Harusnya Rinno mendekam di Camp Assessment selama tiga bulan, tapi karena mendapat bantuan dari pimpinan Yayasan Anugerah Tuhan Hafara, dia bisa keluar di hari ke-12. Dan ternyata 11 hari di dalam sel Camp Assessment adalah 11 hari yang telah mengubah hidupnya. Keluar dari sel, dia kemudian memutuskan untuk menjadi relawan di Panti Hafara sebagai penghibur para lansia dan ODGJ.
Dia juga memutuskan untuk mulai berbagi dengan para lansia dan ODGJ di jalanan dengan segenap kemampuannya. Tapi dia terkendala oleh penghasilan yang masih minim. Atas persetujuan sang istri, pria asal Cilacap ini kemudian nekat menggadaikan BPKB miliknya senilai Rp 500 ribu.
“Saya belikan puluhan paket sembako buat para lansia yang ada di sana, di jalanan sama yang di sini (panti) juga,” ujar Rinno.
ADVERTISEMENT
Di Balik Topeng Boneka Mampang
Rinno membuka topeng boneka mampang. Foto: Widi Erha Pradana.
Tidak ada yang tahu bagaimana wajah kecewa Rinno di balik boneka mampang ketika hanya mendapat gelengan atau bahkan tidak direspons sama sekali oleh pengendara motor maupun mobil. Ya, jangankan dianggap penting, Rinno bahkan sering merasa tak ada yang melihat keberadaannya.
“Pengamen badut kayak saya emang masih dipandang sebelah mata mas, padahal kami kan juga kerja halal, enggak korupsi,” ujar Rinno.
Meski sudah menjadi makanan sehari-hari, tapi perasaan sedih setiap mendapat penolakan masih tetap ada. Apalagi menjadi pengamen badut tidak bisa dikatakan pekerjaan gampang, bukan sekadar joget-joget di pinggir jalan. Rinno juga harus menahan beban, serta rasa pengap dan panas selama memakai kostum itu karena minimnya sirkulasi udara. Kadang bahkan ada yang takut dengan kostum boneka mampang yang dia kenakan, terutama anak-anak.
ADVERTISEMENT
“Sampai nangis. Tapi ada juga yang sampai turun dari motor terus minta foto sama saya,” lanjutnya.
Bagi kebanyakan orang, hidup dengan uang Rp 20 ribu selama sehari tentu tidak masuk akal. Apalagi harga berbagai kebutuhan pokok setiap hari semakin naik. Rinno pun bingung menjelaskan bagaimana dia dan keluarganya bisa hidup dengan penghasilannya itu. Yang dia tahu, jalannya untuk berbagi selalu dipermudah. Entah dari mana, rezeki selalu datang. Entah dagangan istri yang semakin laris, atau dari mana saja. Baginya, pintu rezeki itu tidak terbatas jumlahnya.
“Berbagi itu enggak akan bikin miskin kok, justru akan memperlancar pintu rezeki,” ujarnya.
Sejak 14 Juli, Rinno mendaftarkan aksi sosialnya di Kitabisa.com untuk penggalangan dana. Dana yang terkumpul nantinya akan digunakan untuk dibelikan kebutuhan pokok para lansia yang selama ini dia bantu. Setengah bulan penggalangan dana dibuka, saat ini donasi yang terkumpul sudah lebih dari Rp 235 juta, jauh dari ekspektasi Rinno.
ADVERTISEMENT
“Sama sekali enggak nyangka bakal seantusias itu masyarakat. Semoga semua sumbangan itu bisa dimanfaatkan sebaik mungkin besok, itu kan amanah juga,” ujar Rinno. (Widi Erha Pradana / YK-1)