Konten Media Partner

Sisik Melik Rumah Joglo di Yogya: Dulu Rumah Ningrat Sekarang Jadi Warung Kopi

4 September 2021 14:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir banyak sekali bangunan joglo yang dibuat di Yogyakarta, jauh lebih banyak ketimbang 50 tahun silam. Tapi dengan peruntukan yang sangat berbeda.
Joglo sebagai bangunan utama sebuah kedai kopi di Sleman, DIY. Foto: Maya P
zoom-in-whitePerbesar
Joglo sebagai bangunan utama sebuah kedai kopi di Sleman, DIY. Foto: Maya P
Dulu rumah joglo yang merupakan salah satu rumah tradisional Jawa hanya dimiliki kalangan tertentu, seperti keluarga ningrat atau bangsawan. Dalam beberapa tahun terakhir di Jogja, bangunan joglo mulai banyak bermunculan lagi, tapi bukan untuk rumah ningrat atau keluarga kerajaan. Rumah bangunan joglo sekarang justru lebih banyak digunakan dalam dunia pariwisata seperti warung kopi, kafe, resto, resort, hingga lobby hotel.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut disampaikan oleh Dosen Arsitek Universitas Islam Indonesia yang juga pakar arsitektur Jawa, Revianto Budi Santosa. Menurutnya, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir banyak sekali bangunan joglo yang dibuat di Yogyakarta, bahkan jauh lebih banyak ketimbang 50 tahun silam.
“Tapi joglo tersebut bukan untuk rumah ningrat, melainkan untuk lobby hotel, ruang resto, resort, dan sebagainya. Lebih banyak digunakan untuk usaha, khususnya yang berkaitan dengan pariwisata,” kata Revianto Budi Santosa, Selasa (24/8).
Bangunan tradisional Jawa sebenarnya bukan hanya joglo. Setidaknya ada lima jenis bangunan tradisional Jawa yang berdasarkan pada bentuk atapnya. Selain joglo, ada juga tajug, limasan, kampung, serta panggang pe. Jenis bangunan yang berdasarkan pada bentuk atap ini dinamakan dengan istilah dhapur griya.
ADVERTISEMENT
Dhapur griya yang ada saat ini merupakan ciri rumah Jawa yang berkembang antara abad ke-18 sampai abad ke-20 yang dipengaruhi oleh kerajaan Mataram Islam. Sebelumnya, rumah tradisional Jawa lebih banyak dipengaruhi oleh Mataram Hindu dan Majapahit.
“Cirinya berupa bangunan berkolong seperti panggung dengan variasi ketinggian lantainya,” ujarnya.
Meski sudah berabad-abad, namun sampai saat ini bangunan tradisional Jawa masih tetap relevan, meskipung fungsinya makin berkembang tak hanya sebagai tempat tinggal. Hal itu justru menunjukkan bahwa bangunan tradisional Jawa bisa terus beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Mengenal Jenis Rumah Tradisional Jawa
Desain atap tajug pada masjid Gedhe Kauman. Foto: Instagram Masjid Gedhe Kauman
Perbedaan utama antara tajug, joglo, limasan, kampung, dan panggang pe terletak pada bentuk atapnya. Rumah tajug, misalnya memiliki bentuk atap bujur sangkar yang bertingkat. Pada ujung atap rumah tajug memiliki bentuk segitiga yang melambangkan keabadian dan keesaan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Karena itu, biasanya rumah tajug dipakai secara spesifik untuk tempat ibadah seperti masjid, jarang sekali dipakai untuk rumah hunian. Di Jogja, bangunan yang memakai konsep tajug salah satunya adalah Masjid Gedhe Kauman.
Lain lagi dengan jenis bangunan joglo. Atap pada rumah joglo memiliki ciri utama berupa empat tiang pokok di tengah sebagai sokoguru yang berfungsi sebagai tumpuan utama atap. Pada bagian mahkota atap, terdapat balok-balok yang disebut wuwung atau molo, fungsinya sebagai elemen penyeimbang dari seluruh sistem atap. Dari kejauhan, atap joglo akan terlihat bertumpuk dan mengecil pada bagian atasnya.
Dulu, rumah joglo bisa menjadi sebuah acuan untuk menakar status sosial seseorang. Sebab meskipun bentuknya terlihat sederhana, namun karena konstruksinya yang sangat rumit menjadikan pembuatannya memakan waktu dan biaya yang besar. Karena itu, zaman dulu hanya kalangan priyayi atau ningrat saja yang memiliki rumah joglo. Di Keraton Jogja, ada beberapa bangsal yang konstruksinya menggunakan model joglo, di antaranya bangsal kencana, srimanganti, tamanan, magangan, kamandungan, dan Museum Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
ADVERTISEMENT
“Kalau limasan itu memiliki atap yang berbentuk limas. Karena memiliki bentuk limas maka dinamakan limasan,” kata Revianto.
Sekilas, rumah limasan terlihat mirip dengan rumah adat Sumatera Selatan. Namun rumah limasan khas Jawa memiliki perbedaan berupa tembok yang tidak dicat. Biasanya, tembok rumah limasan dibangun menggunakan batu bata merah.
Sementara itu, rumah kampung memiliki desain yang berbeda lagi. Rumah kampung memiliki bentuk atap yang seimbang pada sisi kanan dan kirinya sehingga membentuk segitiga runcing. Rumah kampung inilah yang zaman dulu menjadi tempat tinggal rakyat biasa seperti petani, peternak, pekerja, dan sebagainya.
Rumah kampung memiliki ruangan seperti rumah pada umumnya, seperti dapur, ruang tamu, kamar, hingga teras. Keunikannya, rumah kampung memiliki tiang yang jumlahnya harus kelipatan empat dengan jumlah tiang minimal delapan.
ADVERTISEMENT
Jenis rumah tradisional Jawa yang terakhir adalah panggang pe. Nama ini berasal dari kata panggang dan ape, yang berarti dijemur. Hal ini karena pada zaman dulu rumah panggang ape biasa dipakai untuk menjemur hasil pertanian yang telah dipanen petani.
Dibandingkan dengan semua jenis rumah tradisional yang lain, panggang ape merupakan yang paling sederhana. Rumah ini lebih banyak didominasi oleh tiang-tiang penyangga atap dibandingkan temboknya. Atap panggang ape berbentuk miring ke satu sisi atau berat sebelah.
Pemaknaan dan Pengaplikasian Rumah dalam Tradisi Jawa
Rumah limasan di Kotagede, Yogya, tetap lestari hingga hari ini. Foto: ESP
Menurut Revianto, sebenarnya bentuk rumah dan bentuk atap tidak berkaitan secara eksplisit dengan makna-makna tertentu. Peruntukan atau pengaplikasiannya juga tidak harus untuk kalangan tertentu secara spesifik. Misalnya, tak ada regulasi yang ketat atau pakem bahwa rumah joglo hanya boleh dibuat oleh kalangan ningrat saja, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
“Tapi lebih ke kepantasan. Di Jeron Beteng (dalam benteng) misalnya, kalau bukan ningrat enggak enak bikin rumah joglo. Tapi di Kotagede siapapun yang punya uang dan lahan enggak masalah bikin joglo,” ujarnya.
Pengaplikasian jenis bangunan atau bentuk atap ini juga tidak memiliki aturan yang ketat, melainkan lebih kepada asas kecocokan. Misalnya bangunan joglo yang gagah dan berwibawa, tidak cocok jika dipakai untuk dapur.
Selain dhapur griya, menurutnya juga ada istilah guna griya dalam budaya Jawa. Jika dhapur griya mengacu pada jenis rumah berdasarkan bentuk atapnya, guna griya merupakan penggunaan atau pengapikasian bangunan rumah. Ada beberapa jenis guna griya, seperti pendopo, pringgitan, dalem, gandhok, gadri, dan regol. Baik dhapur griya maupun guna griya tak memiliki keharusan untuk selalu berkaitan.
ADVERTISEMENT
“Pendopo bisa berupa joglo, limasan, atau kadang kampung, sedangkan joglo juga bisa untuk pendopo, dalem, atau kadang regol, jadi tidak ada aturan pakem yang mengharuskan keterkaitan keduanya,” ujarnya.
Ita Rohianah dalam penelitiannya, Konsep Rumah dalam Budaya Jawa, mengatakan bahwa arsitektur Jawa merupakan potret dinamika internal masyarakat Jawa dalam mengekspresikan ruang. Arsitektur Jawa memiliki pengaruh maupun dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat dan budaya Jawa yang eksistensinya terus berlangsung sampai kini.
Eksistensi rumah Jawa menurutnya tidak lepas dari pandangan hidup masyarakat Jawa yang tercermin dalam cara mereka berhuni dan memilih tempat tinggal. Karena itu, rumah bagi masyarakat Jawa mesti mengakomodasi kebutuhan kepercayaan yang dianut, menambah pengetahuan, mengakomodasi etika sosial, serta rasa estetika.
“Rumah harus mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang tidak lain merupakan kebutuhan rohani, spiritual, dan simbolik bagi penghuninya,” tulis Ita Rohianah.
ADVERTISEMENT