Siswi Diduga Dipaksa Pakai Jilbab, Sosiolog Khawatir Ini Fenomena Gunung Es

Konten Media Partner
4 Agustus 2022 18:28 WIB
·
waktu baca 2 menit
Sosiolog UGM, Arie Sudjito. Foto: Dok. Fisipol UGM
zoom-in-whitePerbesar
Sosiolog UGM, Arie Sudjito. Foto: Dok. Fisipol UGM
ADVERTISEMENT
Kasus seorang siswi SMA Negeri 1 Banguntapan, Bantul, yang diduga dipaksa untuk mengenakan jilbab oleh gurunya menjadi perhatian publik. Gubernur DIY Sultan HB X, telah menonaktifkan kepala sekolah dan 3 guru terkait hal tersebut untuk memudahkan penyelidikan lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal itu, Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sujito, mengatakan bahwa fenomena ini mesti menjadi pelajaran bagi dunia pendidikan di Yogyakarta. Sebab, kasus pemaksaan serupa bukan kali ini saja terjadi.
"Yang saya takutkan ini adalah gunung es, karena sudah berkali-kali terjadi," kata Arie Sujito ketika ditemui selepas acara pertemuan alumni UGM di Medan, Rabu (⅜).
Meski sampai saat ini pihak sekolah membantah telah melakukan pemaksaan dengan alasan sedang memberikan tutorial mengenakan hijab, namun dari tanda-tanda yang ada memperlihatkan bahwa pemaksaan itu memang terjadi.
"Masa diberi tutorial sampai nangis, depresi," lanjutnya.
Menurut Arie, meski sekolah memiliki tujuan yang baik untuk mendidik, namun mestinya bisa dilakukan dengan cara yang lebih ramah terhadap anak, bukan dengan cara-cara represif. Sebab, tindakan represif yang dilakukan sekolah atau guru hanya akan membuat siswa melakukan resistensi. Tindakan represif atau paksaan, pasti akan menimbulkan penolakan.
ADVERTISEMENT
"Makanya, mendidik itu jangan pakai cara represif," ujarnya.
Usia anak-anak adalah usia dimana mereka ingin lebih banyak didengar, bukan malah dipaksa mendengar dan menuruti orang yang lebih tua. Karena itu, guru dan sekolah juga mesti memiliki metode yang tepat untuk mendidik.
Dari kasus ini, Arie menilai bahwa pemerintah Provinsi perlu mengundang semua kepala sekolah, bukan hanya kepala sekolah yang bersangkutan saja. Setelah dikumpulkan, mereka kemudian diberikan pemahaman bersama bahwa fase mendidik anak mestinya lebih banyak memfasilitasi mereka untuk menumbuhkan dan mengembangkan kecerdasannya, bukan malah melakukan penundukan, asal membuat siswa menurut gurunya atau aturan sekolah.
"Kita tahu lah, banyak juga ulama-ulama bagus yang memberikan pendekatan dalam berdakwah dengan cara-cara yang meng-empower, bukan dengan cara represif," kata Arie Sujito.
ADVERTISEMENT
Tindakan represif juga akan mengganggu psikologis siswa. Meskipun nantinya mereka mengenakan hijab, namun itu bukan didasarkan pada kesadarannya, melainkan karena rasa takut akan dihukum atau dimarahi gurunya jika tidak menurut. Setiap hari, mereka akan merasa terteror, bahkan bukan tidak mungkin sampai depresi.
"Dan depresi itu akan terus dia ingat sampai tua nanti lho, itu yang sering dilupakan. Jadi kalau memang benar ada represi, maka harus dikoreksi," tegasnya.