SMP Stella Duce 1 Yogya, Melalui Batik Membangun Karakter Siswa

Konten dari Pengguna
5 Oktober 2019 9:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto oleh : Widi Hermawan
Jumat (4/9) pagi, siswa siswi SMP Stella Duce 1 Yogyakarta berseragam batik. Bukan pemandangan aneh, karena memang begitu aturan sekolah. Dan di sekolah lain, menggunakan batik sebagai seragam juga sudah jamak dilakukan. Tapi batik yang dipakai oleh pelajar SMP Stella Duce 1 setiap Jumat bukan sembarang batik. Jika diamati lebih lanjut, dari ratusan siswa, tidak ada satupun batik yang motifnya sama dengan batik lainnya.
ADVERTISEMENT
Bukan tanpa alasan, tidak adanya persamaan antara satu motif dengan yang lainnya karena batik tersebut dibuat sendiri oleh para siswa. Teknik yang digunakan dalam proses pembuatan batik juga masih menggunakan cara tradisional, memakai canting dan malam, bukan dengan teknik cap atau sablon. Hasilnya, motif batik yang mereka hasilkan benar-benar tak ada yang sama satupun. Terlebih mereka bebas berekspresi dalam membuat motif apapun yang mereka suka.
Guru Pembimbing Batik SMP Stella Duce 1 Yogyakarta, Darmayanti mengatakan bahwa pihak sekolah memang sengaja membuat aturan tersebut. Dari perbedaan tersebut, Darmayanti mengatakan bahwa pihak sekolah ingin menjunjung tinggi nilai-nilai keragaman di tengah siswa mereka.
“Bagi kami memang yang namanya seragam itu tidak harus sama. Jadi prinsip kami seperti itu. Di sini justru menampakkan keberagaman mereka,” ujar Darmayanti kepada Pandangan Jogja, Jumat (4/9).
ADVERTISEMENT
Batik Membangun Karakter Siswa
Darmayanti tidak menampik, bahwa tujuan sekolah memasukkan teknik membatik ke dalam mata pelajaran kurikuler adalah untuk melestarikan budaya Indonesia yang sudah diakui Unesco sebagai warisan budaya dunia sejak 2009 silam. Tapi ada tujuan lain yang tidak kalah penting dari itu bahwa mereka percaya membatik bisa menjadi salah satu medium membangun karakter siswa.
Sekolah yang terletak di Kawasan Malioboro ini sudah mendidik siswanya membatik sejak 1982 silam. Tapi bukan hasil karya siswa yang menjadi nilai penting bagi sekolah, melainkan proses yang dilalui siswa dalam membatik mulai dari menyiapkan bahan, menggambar motif, mewarnai, hingga akhirnya mereka kenakan sebagai seragam. Proses-proses itulah yang diyakini dapat membangun karakter positif di dalam diri siswa.
ADVERTISEMENT
“Dalam proses itu kan ada beberapa hal, misalnya dia harus sabar, telaten, harus bisa menghargai orang lain,” ujar Darmayanti.
Selain itu, proses membatik itu juga dapat mengasah kreativitas anak. Pasalnya, para siswa dibebaskan untuk membuat motif apapun yang mereka sukai. Di sana kemudian anak-anak didorong untuk menemukan ide dan gagasan terutama dalam menggambar dan mewarnai batik.
Meski begitu, Darmayanti menyadari karakter siswa tidak dapat dibentuk semata-mata secara instan hanya dengan membatik. Ada faktor-faktor lain yang juga ikut andil membangun karakter siswa. Namun Darmayanti bisa merasakan bagaimana membatik dapat menumbuhkan karakter-karakter positif dalam diri siswa.
“Tapi ada perkembangan. Waktu pertama kali membatik itu kan pasti sempat salah, biasanya anak-anak itu mengeluh sambil mengeluarkan kata-kata. Tapi setelah beberapa kali membatik, apa lagi yang sudah kelas IX, itu lebih bisa ngerem, lebih bisa sabar dan telaten,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Mendekatkan Siswa dengan Lingkungannya
“Erat sekali membatik ini dengan lingkungan,” ujar Darmayanti.
Selain dipercaya dapat menumbuhkan karakter siswa, membatik juga diyakini dapat mendekatkan siswa dengan lingkungan. Pendekatan ini salah satunya melalui motif-motif yang digambar oleh para siswa. Jika diamati, kebanyakan motif batik yang digambar oleh para siswa bertema alam atau lingkungan. Misalnya ada yang motif dedaunan, berbagai macam tanaman, bunga, burung, serta motif-motif berbau alam lainnya. Secara tidak langsung, hal tersebut diyakini dapat menumbuhkan rasa cinta anak-anak kepada alam dan lingkungannya.
Pihak sekolah juga sedang gencar-gencarnya meminimalisir penggunaan pewarna kimia atau sintetis. Sebagai gantinya, mereka menggunakan pewarna alami yang berasal dari kulit pohon, kayu, daun, dan bahan-bahan alami lainnya. Meski begitu, mereka belum bisa sepenuhnya menggunakan pewarna alami ini.
ADVERTISEMENT
“Karena kalau sejak awal menggunakan pewarna alam nanti anak-anak nggak tertarik. Karena pewarna alam kan tidak bisa merah, kuning seperti ini. Warnanya soft,” lanjutnya.
Apa yang Dirasakan Siswa?
Sejumlah siswa SMP Stella Duce 1 sedang mengikuti pelajaran membatik pada Jum'at (4/10). Foto : Widi Hermawan.
Glory Esterica, salah seorang siswa kelas XI mengaku sangat senang bisa membuat batik sendiri, terlebih dia kenakan juga untuk seragam sekolahnya. Siswi asal Kalimantan ini juga mengakui kalau membatik merupakan pekerjaan yang butuh kesabaran ekstra tinggi. Tak jarang dia juga sempat kesal ketika melakukan kesalahan ketika membatik.
“Kadang kesel juga pas bikin motif itu keluar-keluar garis. Tapi kan harus tetap sabar, biar selesai,” ujarnya.
Menurutnya, kesabarannya benar-benar diuji ketika harus membuat motif menggunakan malam dan canting. Namun proses inilah yang menurut Glory memberikan pelajaran bagaimana untuk bersabar di era yang serba cepat dan penuh ketergesa-gesaan ini.
ADVERTISEMENT
“Paling suka motif bunga. Karena selain paling gampang, hasilnya juga paling indah,” lanjutnya.
Sementara itu, Farel Ardan Lesmana, siswa lainnya juga merasakan kesenangan seperti Glory ketika membatik. Ketika awal-awal membatik, dia juga mengaku kerap kesal, terutama karena batik buatannya ternyata tidak sesuai ekspektasi. Tapi lama-lama, dia mulai menikmati setiap proses dalam membatik.
“Ya seneng juga, melatih kesabaran, kreativitas, udah paket komplit lah,” ujarnya sembari terkekeh.
Glory dan Farel juga merasakan kebanggaan dan kepuasan tersendiri ketika mengenakan batik buatan mereka sendiri. Dari situ, mereka menjadi paham bahwa membuat batik tidak semudah yang terlihat. Dengan mengalami sendiri betapa sulitnya membatik, mereka kini semakin bisa menghargai salah satu budaya Indonesia itu.
Kesempitan Melahirkan Inovasi
ADVERTISEMENT
Pelajaran membatik di SMP Stella Duce 1 Yogyakarta ini tidak hanya mengajari siswa membatik secara tradisional menggunakan canting. Para siswa juga diajari bagaimana membuat batik dengan teknik cap. Namun ada satu kendala, harga alat cap batik yang biasanya terbuat dari tembaga tidak bisa dibilang murah. Harga alat cap batik tembaga ada di kisaran ratusan ribu bahkan sampai jutaan rupiah.
“Kan nggak mungkin membebani siswa. Jadi saya mikir, bagaimana solusinya,” kata Darmayanti yang merupakan satu-satunya guru batik di sekolah itu.
Akhirnya Darmayanti menemukan ide brilian setelah menonton sebuah video di Youtube tiga tahun lalu. Dia menemukan cara membuat alat cap batik menggunakan tripleks dan kardus bekas. Meski hanya berbahan baku kardus, ternyata alat cap batik buatannya cukup awet, bisa sampai seratus kali cap. Dan yang paling penting tentunya, Darmayanti bisa memangkas biaya praktikum dengan sangat signifikan.
ADVERTISEMENT
“Buat satu ini (alat cap batik kardus) paling mahal Rp 20 ribu. Dan hasilnya bagus juga. Nggak kalah (dengan alat cap tembaga),” ujarnya.
Pada peringatan Hari Batik Nasional di Surakarta, Rabu (2/10), Presiden Joko Widodo memberikan penghargaan kepada SMP Stella Duce 1 Yogyakarta sebagai Sekolah Pelopor Pengguna Batik Karya Siswa. Pada 2012 Museum Rekor Indonesia (MURI) juga telah memberi penghargaan serupa pada SMP Stella Duce 1 Yogyakarta.
Pada Jum’at (4/9) kemarin Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo mewacanakan agar batik dimasukkan sebagai pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah di daerah yang memiliki tradisi membatik. (Widi Hermawan / YK-1)