Sosiolog UGM: Sudah Muncul Gejala Pengulangan Narasi Politik Berbasis Kebencian

Konten Media Partner
4 November 2022 16:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Arie Sudjito. Foto: Dok. Fisipol UGM
zoom-in-whitePerbesar
Arie Sudjito. Foto: Dok. Fisipol UGM
ADVERTISEMENT
Sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sujito, mengungkapkan bahwa saat ini sudah mulai muncul gejala pengulangan narasi politik berbasis kebencian seperti yang dipertontonkan pada 2 kali pilpres sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Pembelahan sosial dengan konstruksi stereotype sebuah kelompok ini dilakukan menggunakan narasi agama, etnis, dan golongan sebagai komoditas politik dukung mendukung.
“Di WhatsApp group, di timeline Facebook, di hampir semua media sosial bahkan di beberapa media mulai muncul narasi yang lagi-lagi basisnya adalah konstruksi stereotype. Umpat-umpatan, hate speech, hoax, mulai deras mengalir ke percakapan sehari-hari kita lewat online maupun offline,” kata Arie kepada media di Yogya, Jumat (4/11).
Meski Pilpres 2024 masih 2 tahun lagi, kebencian dan jejak rivalitas berdasar kelompok dan identitas, mulai diangkat kembali. Perkumpulan di grup-grup offline dan online tidak menyajikan menu baru, melainkan menu basi yang hari ini dihangatkan kembali.
Yang membuat miris menurut Arie Sujito, reproduksi isu lama tersebut tidak hanya dilakukan oleh kalangan awam namun juga kelas menengah terdidik atau golongan terpelajar di kampus-kampus.
ADVERTISEMENT
“Ini semua seperti hilang akal untuk membuat pertanyaan dan ide tentang problem bangsa. Politisi juga sama, mengalami pendangkalan melihat problem secara jernih. Dan lagi-lagi selalu menyalahkan teman sendiri hanya gara-gara perbedaan identitas,” kata Arie.
Ilustrasi kesadaran manusia. Foto: Pixabay
Menurut Arie Sujito setidaknya ada tiga hal penting yang bisa dibaca dari munculnya kembali gejala narasi politik kebencian ini.
Pertama, ada kelompok-kelompok lama yang memang sengaja memelihara politik berbasis kebencian itu karena dia ingin bisa survive. Satu-satunya yang ia bisa hanyalah dengan memelihara politik identitas berbasis kebencian itu.
“Cara itu dipakai karena dulu dianggap efektif untuk membelah masyarakat,” kata Arie.
Yang kedua, media dan publik terlalu terpukau oleh manuver-manuver elit kandidat yang mau maju, misalnya soal deklarasi, pertemuan dukungan, dan manuver politik pilpres. Padahal, ada masalah-masalah mendasar negara yang tidak bisa selesai hanya dengan sosok figur tanpa mengurai masalahnya.
ADVERTISEMENT
“Energi publik habis kalau terus disodori hal beginian. Semestinya elit dan media mendorong isu fundamental sehingga publik punya pilihan rasional, adu merumuskan masalah dan adu program donk,” jelas Arie.
Dan ketiga, pendekatan yang selama ini kita pakai untuk mentransformasikan politik demokrasi kurang berhasil gara-gara tidak mengoreksi pendekatannya, yakni hanya mengandalkan pendekatan hukum yang elitis.
“Sebaliknya pendekatan sosio kultural bagaimana mencegah pendangkalan politik ini tidak ada yang melakukannya. Kita semua semestinya memiliki cara bagaimana membuat masyarakat terlibat aktif dalam upaya pencegahan pendangkalan politik yang berbasis kebencian ini,” papar Arie.
Bangsa ini menurut Arie, akan kehilangan energi untuk menghadapi masalah sesungguhnya yakni resesi dunia, perubahan iklim, ketimpangan, kemiskinan, dan isu kesehatan, jika terus diajak bertarung dalam arena politik yang dangkal tersebut.
ADVERTISEMENT
Arie melihat pentingnya komitmen bersama pimpinan partai maupun para calon kandidat untuk menghentikan narasi politik identitas di pilpres 2024.
“Kita tidak ekstrim ingin deklarasi atau manuver kandidasi dihentikan, tapi mesti diimbangi dengan narasi baru tentang Indonesia masa depan, bagaimana menghadapi masalah-masalah riil dan konkrit di depan mata kita,” papar Arie Sujito.
"Jadikan pilpres 2024 sebagai politik harapan bagi rakyat," pungkasnya.