Suka Duka Bisnis Wedding Organizer di Jogjakarta

Konten dari Pengguna
3 Februari 2020 11:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pernikahan anak muda. Foto : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pernikahan anak muda. Foto : Pixabay
ADVERTISEMENT
Ada dua jenis bisnis yang akan terus laku, pertama bisnis pemakaman dan kedua bisnis pernikahan. Itu yang menjadi alasan Antim Surya Nurrina menekuni bisnis pernikahan di Jogja. Antim adalah Owner Bunga Kinasih, sebuah wedding organizer (WO) di Jogja yang sudah berdiri sejak 1999.
ADVERTISEMENT
“Seperti halnya orang pasti akan meninggal, sampai kapan pun, pasti akan terus ada orang menikah,” ujar perempuan yang akrab disapa Rina itu.
Awalnya Rina bekerja di dunia perbankan, namun karena krisis moneter yang sempat melumpuhkan perekonomian Indonesia pada 1998, akhirnya dia memutuskan untuk banting setir membuka bisnis wedding organizer. Saat itu, belum ada bisnis WO lain di Jogja.
Meski belum ada pesaing, namun bisnisnya juga bukan tanpa kendala, kultur gotong royong masyarakat Jogja yang saat itu masih sangat kental membuat bisnis perkawinan justru dipandang aneh. Masyarakat belum bisa mempercayakan acara pernikahan kepada WO.
Namun Rina tetap menekuni bisnisnya, dia percaya, ke depan orang-orang akan semakin sibuk, sehingga tidak akan sempat ikut membantu tetangganya yang sedang punya hajat.
ADVERTISEMENT
“Setahun pertama itu yang makai jasa kami cuma satu, itu pun teman sendiri,” ujarnya.
Namun dari pelanggan pertama itu, informasi kemudian menyebar dari mulut ke mulut. Sang pelanggan puas dengan pekerjaan tim Bunga Kinasih dan bercerita kepada teman-temannya. Pelanggan Rina mulai banyak, seiring dengan mulai bermunculan juga WO-WO lain yang turut menjaring ikan di kolam bisnis perkawinan itu.
Hal serupa juga dikatakan oleh Novitasari, Owner Palma Wedding Organizer. Menurutnya, selama masih ada orang menikah, selama itu juga peluang bisnis perkawinan masih terbuka. Apa lagi dengan kesibukan orang-orang yang semakin meningkat, membuat WO menjadi solusi jika seseorang tidak ingin ribet mempersiapkan acara pernikahannya.
“Kalau di Jogja sekarang memang cukup bagus ya peluangnya,” ujar Vita, panggilan sehari-hari Novitasari.
ADVERTISEMENT
Kualitas Jadi Harga Mati
Foto : Pixabay
Semakin menjamurnya bisnis WO di Jogja membuat para pelakunya harus memutar otak agar tetap bisa bersaing. Rina mengatakan, kualitas pekerjaan mereka menjadi harga mati agar tetap mendapat kepercayaan konsumen. Sekali saja mereka mengecewakan konsumen, maka hal itu akan sangat cepat menyebar dan konsumen akan lebih memilih WO lain ketimbang acara perkawinannya berantakan.
“Karena itu kami batasi, sehari hanya menerima dua pesanan. Itu buat menjaga kualitas juga, karena tenaga kami kan juga terbatas,” ujar Rina.
Setiap mengerjakan sebuah pesta perkawinan merupakan momentum mereka untuk unjuk kebolehan. Banyaknya tamu undangan yang datang akan melihat kualitas pekerjaan mereka, jadi kualitas ini merupakan harga mati dalam setiap event pernikahan.
Pembatasan pesanan juga dilakukan oleh Vita, dia hanya menerima maksimal tiga pesanan dalam sehari. Namanya bisnis, tentu tidak setiap hari ramai. Apalagi masyarakat Jogja masih banyak yang menggunakan perhitungan Jawa untuk menentukan hari pernikahan.
ADVERTISEMENT
“Biasanya ramai itu pas bulan Haji sama sebelum puasa, kalau puasa biasanya sepi. Tapi (bulan) puasa kemarin kita masih dapet delapan (pesanan),” ujar Vita.
Selain menjaga kualitas, Rina dan Vita juga memanfaatkan media sosial dan website sebagai media promosi untuk menggaet konsumen. Promosi lewat media sosial ini berdampak cukup signifikan.
“Kebanyakan yang saya tanya itu justru tahu dari Instagram, kan gampang mungkin ya,” lanjutnya.
Intimate Wedding Lebih Disukai
Foto : Pixabay
Beberapa orang masih ada yang menggunakan adat Jawa untuk upacara pernikahannya. Upacara detil pernikahan menggunakan adat Jawa memakan waktu cukup lama, antara dua sampai tiga hari. Sebenarnya, anak-anak muda sekarang cenderung tidak ingin ribet tapi biasanya yang meminta menggunakan cara adat adalah orangtua mempelai.
ADVERTISEMENT
Negosiasi dari itu adalah tetap menggunakan adat Jawa namun tidak secara menyeluruh, hanya bagian utama saja yang dipakai seperti dalam busana dan ritual bertemu antar mempelai. Maka muncullah tradisi baru pesta pernikahan adat Jawa namun dengan prosesi yang lebih pendek dan intim. Di bisnis WO hal itu dikenal sebagai Intimate Wedding.
“Kalau sekarang trennya lebih ke arah intimate ya, jadi tamunya sedikit, hanya kerabat, keluarga, atau teman-teman terdekat aja,” kata Vita.
Rina juga mengatakan demikian, anak-anak muda sekarang lebih suka dengan gaya intimate wedding yang selesai dalam sehari. Intimate wedding dirasa lebih akrab, mempelai juga bisa benar-benar merasakan pestanya sendiri.
“Kalau pakai adat secara lengkap mereka malah enggak menikmati, udah telanjur capek juga,” ujar Rina.
ADVERTISEMENT
Suka Duka Bisnis WO
Foto : Pixabay
Hampir setiap calon pengantin merasa cemas dan panik ketika beberapa hari menjelang hari pernikahannya. Menjelang hari bahagia itu, mereka akan lebih sensitif dari biasanya. Kecemasan itu terutama karena khawatir acara mereka tidak berjalan sesuai rencana.
“Biasanya mereka rewel saat menjelang hari H, ini hampir dialami semua pengantin,” ujar Vita.
Ini menjadi tugas tambahan pemilik usaha WO, selain merencanakan konsep acaranya dan melaksanakannya, mereka juga harus menenangkan calon pengantin tersebut. Tidak hanya itu, selisih antar keluarga mempelai kerap kali juga menjadi beban tambahan bagi mereka.
“Jadi keluarga laki-laki maunya begini, keluarga perempuan maunya begitu, mungkin karena merasa mengeluarkan biaya juga ya,” ujar Rina.
Kadang, ada juga pelanggan yang tidak terbuka, misalnya dalam hal jumlah tamu undangan yang akan hadir. Jumlah tamu yang datang dengan yang diperkirakan ternyata jauh lebih banyak, akibatnya banyak tamu yang tidak kebagian makanan.
ADVERTISEMENT
“Kan yang malu kami, nanti orang kan pasti tanya, ini WO-nya siapa? Padahal itu karena mereka yang tidak terbuka,” lanjutnya.
Masalah berikutnya juga cukup sering dialami oleh pemilik usaha WO, yakni klien dengan bujet minim tapi ekspektasinya terlalu tinggi.
Berapa Biaya Nikah di Jogja?
Vita mematok harga jasa wedding planner sebesar Rp 6 juta. Untuk paket all in, yakni perencanaan sekaligus pelaksanaan, tarif yang dikenakan adalah Rp 8 juta. Sedangkan tarif jasa WO all in yang dikenakan Bunga Kinasih yakni Rp 10 juta.
Itu baru jasa WO, belum termasuk biaya gedung, katering, dekorasi, dokumentasi, undangan, dan sebagainya. Vita menawarkan paket one stop wedding dengan tarif Rp. 40 sampai Rp. 160 juta. Tarif itu akan sangat dipengaruhi oleh jumlah tamu yang diundang.
ADVERTISEMENT
“Kalau sekarang, standarnya Rp 100 juta, itu sedang, dengan jumlah tamu 600 sampai 700 orang,” ujar Vita.
Standar Rina lebih tinggi lagi, menurutnya untuk menikah di Jogja, setidaknya perlu anggaran sebesar Rp. 150 juta. Jumlah itu sudah cukup aman untuk melaksanakan pesta pernikahan. (Widi Erha Pradana / YK-1)
Baca Juga :