Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten Media Partner
Sultan HB X-Hilmar Farid Isi Simposium ‘Arkipelagis: Refleksi Kebudayaan’ di UGM
29 Januari 2025 17:05 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Simposium bertajuk ‘Arkipelagis: Refleksi Kebudayaan’ digelar di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK), Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (28/1), dari pagi hingga sore. Acara ini menghadirkan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X; mantan Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid; dan budayawan Nirwan Dewanto sebagai pembicara utama.
ADVERTISEMENT
Acara ini dihadiri ratusan peserta, termasuk tokoh budaya seperti Butet Kertaradjasa.
Pidato Sultan HB X
Dalam pidatonya, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengangkat tema pembangunan budaya visioner melalui konsep Kebudayaan Indonesia Baru yang berkaitan dengan ide Arkipelagis. Ia menjelaskan bahwa konsep ini merupakan gagasan yang menghubungkan akar tradisi dengan energi pembaruan untuk masa depan bangsa.
“Apabila menarik kesimpulan awal dari TOR agenda ini, konsep Kebudayaan Indonesia Baru sejatinya berkelindan dengan ide besar Arkipelagis. Sebuah gagasan yang merangkai akar tradisi dengan energi pembaruan untuk masa depan bangsa,” ujar Sultan.
Sultan menambahkan, semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebaiknya tidak hanya menjadi slogan, tetapi juga strategi kebudayaan yang diterapkan dalam kebijakan publik.
“Dalam hal ini hendaknya Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya digunakan sebatas slogan, tetapi strategi kebudayaan yang dituangkan ke dalam kebijakan publik,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Ia berharap tema diskusi Arkipelagis dapat menjadi motor penggerak semangat dan keterampilan bahari.
Pidato Nirwan Dewanto
Nirwan Dewanto, dalam pidatonya, menyoroti Yogyakarta sebagai salah satu pusat perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia yang tumbuh secara informal tanpa keterlibatan langsung negara.
“Yogyakarta sendiri sebagai satu situs perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia, itu bebas dari faktor negara. Cirinya apa? informalitas,” kata Nirwan.
Ia menyebut, pameran seperti Artjog yang rutin digelar tiap tahun menunjukkan keberagaman seniman nusantara yang tumbuh di Yogyakarta.
“Orang-orang yang tumbuh di Jogja adalah orang yang datang dari kampung di nusantara. Kalau kita melihat Artjog misalnya, ada seniman dari Papua, ada seniman dari Sumatera, dan sebagainya,” jelasnya.
Pidato Hilmar Farid
Hilmar Farid menyampaikan pidatonya setelah sesi diskusi dengan para peserta. Ia menekankan pentingnya terus berkarya tanpa bergantung pada sumber daya tertentu atau otoritas tertentu.
ADVERTISEMENT
“Di manapun kita, terus berkarya. Tidak bergantung pada sumber daya yang tersedia, tidak bergantung kepada otoritas apapun. Kita bergerak karena ingin melakukan sesuatu,” ujar Hilmar.
Hilmar juga mengajak para budayawan untuk mulai berkomunikasi dengan pemimpin-pemimpin daerah, seperti Bupati/Wali Kota hingga Gubernur, dalam mengembangkan konsep Arkipelagis.
“Kalau kita mau berpikir serius mengadopsi kerangka berpikir Arkipelagis, inilah stasiun yang mulai kita datangi, kita periksa, dan kita komunikasikan untuk melihat apakah upaya memajukan kebudayaan di dalam ruangan itu tersedia atau tidak,” katanya.
Ia berharap diskusi ini dapat memunculkan energi positif yang mampu mendorong gerakan kebudayaan ke depan.
“Saya kira tadi teman-teman juga mengatakan ya, cuma Jogja yang bisa begini. Harapan saya energi baik ada yang tumbuh dari pertemuan ini. Bisa kita tularkan dan menjadi energi yang meningkatkan gerakan kebudayaan kita ke depan,” pungkas Hilmar Farid.
ADVERTISEMENT