Sultan Ingin Terapkan Parkir Mahal di Malioboro, Berapa Tarif yang Pas?

Konten Media Partner
6 Juni 2021 18:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana Jalan Malioboro Yogya di malam hari. Foto oleh Doddy Hananto dari Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Jalan Malioboro Yogya di malam hari. Foto oleh Doddy Hananto dari Pexels
ADVERTISEMENT
Gubernur DIY, Sri Sultan HB X mengusulkan pemberlakuan tarif parkir premium di kawasan Malioboro setelah adanya keluhan seorang wisatawan yang dikenai tarif parkir Rp 20 ribu saat memarkirkan sepeda motornya di sekitar Titik Nol Km. Dia mengusulkan, tarif parkir di kawasan Malioboro sekalian diberlakukan lebih mahal dan semakin jauh dari Malioboro tarif parkir semakin murah.
ADVERTISEMENT
Usulan ini diungkapkan oleh Sultan selain untuk menertibkan kawasan parkir di kawasan Malioboro juga untuk mengurangi kemacetan. Aturan parkir premium ini menurut dia bisa saja diberlakukan mengingat Malioboro merupakan kawasan wisata utama di Kota Jogja.
Saat ini, penentuan tarif parkir di kawasan Malioboro masih mengacu pada Perda No 2 tahun 2020 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir. Dalam UU tersebut, Malioboro termasuk ke dalam Kawasan I, yakni kawasan yang disediakan untuk melayani dan menunjang kegiatan wisata dan kegiatan perdagangan dengan intensitas ekonomi tinggi.
Adapun tarif yang berlaku sesuai peraturan tersebut yakni tarif parkir mobil sebesar Rp 5.000 untuk dua jam pertama dan setiap jam selanjutnya dikenai tambahan sebesar Rp 2.500. Sedangkan untuk sepeda motor, pada dua jam pertama dikenai tarif sebesar Rp 2.000, dan tiap jam selanjutnya dikenai tambahan tarif parkir sebesar Rp 1.500.
ADVERTISEMENT
Tarif dan Distribusi Adil Hasil Parkir
Wisata dengan becak di Malioboro. Foto oleh Doddy Hananto dari Pexels
Peneliti senior Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Arif Wismadi mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada masalah dengan adanya wacana pemberlakuan tarif parkir premium untuk kawasan Malioboro.
Kota-kota padat penduduk dengan lahan terbatas di berbagai negara juga sudah banyak yang menggunakan skema parkir premium dan tarif progresif. Misalnya di Singapura, yang telah menetapkan 21 lokasi parkir menggunakan skema tersebut.
“Bahkan dimulai dengan tarif gratis pada satu jam pertama dan baru kemudian ada penambahan 1 dolar setiap satuan 30 menit,” kata Arif Wismadi ketika dihubungi, Kamis (3/6).
Skema parkir seperti ini bisa saja diterapkan di Jogja, khususnya kawasan Malioboro, mengingat saat ini ruang yang ada semakin terbatas namun intensitas kendaraan semakin padat.
ADVERTISEMENT
Tarif parkir, menurut Arif bisa dimulai dari Rp 3.000 pada jam pertama. Setelah melewati satu jam, baru dikenai tarif parkir progresif yang diterapkan tiap 30 menit dengan penambahan Rp 5.000. Jika penambahan makin tinggi, maka tarif di satu jam pertama bisa diturunkan atau bahkan digratiskan.
Namun untuk menentukan angka pastinya perlu membandingkan antara penerimaan skema lama dengan skema baru. Dan yang kalah penting, untuk memberlakukan skema parkir premium dan progresif dibutuhkan transparansi penerimaan dan distribusi pendapatan parkir.
“Kota-kota yang sehat dari sisi keuangan publik akan cenderung menyegerakan penggunaan IT dan teknologi yang menjamin transparansi keuangan yang diperoleh dari ruang publik,” kata Arif.
Arif menyinggung kemungkinan kendala yang muncul dari pemberlakuan tarif baru. Yakni, banyaknya pelaku usaha parkir yang punya kepentingan masing-masing. Hal ini sangat rawan memicu ketegangan jika distribusi hasil pendapatan dari parkir tidak dilakukan secara adil dan transparan.
ADVERTISEMENT
Di dalam Malioboro terdapat banyak kepentingan, yang terlihat maupun yang tidak. Jika ingin menghindari ketegangan dengan akar rumput dan struktur laten yang tidak terlihat maka yang terpenting bukan hanya pendapatan yang lebih besar, tapi juga distribusi yang adil dan transparan.
“Jika salah satu kelompok ada yang merasa dirugikan akan ada gerakan untuk mempersulit implementasinya,” ujarnya.
Untuk menyatukan berbagai kepentingan yang ada, menurut Arif Pemerintah Provinsi DIY mesti menjadi penengah dengan membawahi langsung kantong-kantong parkir yang ada di kawasan Malioboro. Dengan begitu, ketegangan-ketegangan antara berbagai kepentingan di sana bisa dihindari.
Parkir Premium Membuat Malioboro Jadi Eksklusif?
Suasana Malioboro di siang hari. Foto oleh Doddy Hananto dari Pexels
Arif melanjutkan bahwa tanpa distribusi yang baik, pemberlakuan skema parkir premium memang hanya akan membuat Malioboro menjadi kawasan yang ekslusif. Skema parkir premium hanya akan menjadi kebijakan yang pro kepada orang kaya yang mampu membayar saja. Karena itu, distribusi penerimaan parkir juga mesti ditujukan untuk meningkatkan pelayanan publik yang mengakomodir kepentingan kalangan menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
“Misalnya membiayai subsidi angkutan umum dan operasi shuttle bus dari dan ke lokasi parkir,” ujar Arif Wismadi.
Kaitannya dengan kemacetan kota, skema parkir premium memang bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kemacetan. Sebab, skema ini bisa meningkatkan sirkulasi pengunjung dan mempertahankan kesediaan tempat parkir untuk pengunjung lain.
Selama ini, kemacetan di kawasan Malioboro utamanya disebabkan karena adanya antrean drop off dan pickup yang tidak diatur dan dikelola dengan baik. Kendaraan tersebut melambat dan menimbulkan tundaan beruntun untuk kendaraan lain. Dengan parkir progresif serta lokasi penjemputan dan penurunan yang diatur maka aliran menjadi lebih lancar, ketersediaan ruang parkir cukup, dan perputaran uang atau penerimaan retribusi bisa meningkat.