Tak Ada Jokowi di Gejayan

Konten dari Pengguna
1 Oktober 2019 18:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Empat pemuda desa Tegal Krapayak Sewon Bantul mengikuti aksi Gejayan Memanggil 2 Senin (23/9) di Yogyakarta. Foto oleh : ES Putra.
Pada Aksi Gejayan Memanggil 1 Senin (23/9) Eko Yanuardi datang sendiri. Ia mengaku bukan mahasiswa, tak tergabung pada elemen-elemen aksi yang membentuk Aliansi Rakyat Bergerak, melainkan warga kampung biasa dari Tegal Krapyak Sewon Bantul. Pada Aksi Gejayan 2 (30/9) Eko mengajak 3 pemuda kampungnya untuk ikut serta. Salah satunya, Syahrul.
ADVERTISEMENT
Saat aksi Gejayan 1 Eko tak membawa atribut apapun, tapi saat Aksi Gejayan 2 Eko membawa 2 poster bikinan Syahrul. Poster ini berisi unek-unek mereka. Poster 1 bertuliskan, semua dengan huruf kapital, ‘GAWEANMU KOK MUNG TURA-TURU,’ dengan ilustrasi gambar DPR MPR, seorang laki-laki dewasa berjenggot, berdasi, yang tangannya menutupi mulutnya yang tengah menguap lebar, dan lembaran uang Rp. 50 ribu dan Rp. 100 ribu yang berserakan di halaman Gedung DPR. Poster kedua, gambar Jokowi memenuhi separuh lembar bawah poster berukuran kira-kira 20 cm x 40 cm itu. Kata-katanya jelas berisi sebuah permohonan, ‘ PAKDHE TOLONG DENGAR SUARA KAMI.’
“Saya bikin ini sehari-semalam. Lalu kami cetak kemarin selembar Rp. 5.500 dengan biaya sendiri,” kata Syahrul.
ADVERTISEMENT
Eko dan ketiga temannya, sama seperti yang mereka perlihatkan pada bahasa poster, termotivasi untuk ikut aksi karena merasa mentok dengan DPR. Sebaliknya, mereka masih dan terus berharap pada presiden untuk memberi jalan keluar bagi persoalan mereka.
“Sudah kerja 5 tahun nggak bener, giliran mau selesai bikin UU yang nggak bener,” kata Eko.
Apa yang mereka sebut sebagai nggak bener, menurut keduanya, yang paling penting adalah RUU KPK.
Anti KKN dan Tuntut Hak Sipil
Aksi Gejayan Memanggil 2 pada Senin (30/9) diikuti ribuan peserta dari berbagai elemen mahasiswa dan masyarakat di Yogyakarta. Foto oleh : ES Putra
Sepanjang munculnya Joko Widodo dalam pentas politik nasional, energi publik disedot untuk isu agama vs pluralisme. Media sosial dan aksi massa kampanye politik penuh dengan jargon dan idiom agama vs pluralism, khilafah vs Pancasila.
ADVERTISEMENT
Tapi seiring isu rasisme yang menimpa asrama mahasiswa Papua, kebakaran hutan, dan terakhir pengesahan RUU KPK dan pembahasan sejumlah UU di DPR, kritik oleh akademisi di sejumlah kampus diikuti oleh kemarahan publik yang ditumpahkan di media sosial mendorong gelombang aksi besar tak hanya di Jakarta tapi juga sejumlah daerah.
“Saatnya People Power” menjadi trending topic dunia pada Senin 23 September 2019 yang mengiringi aksi mahasiswa di sejumlah daerah seperti Jakarta, Yogya, Bandung, dan Purwokerto. Pada hari itu tagar “Gejayan Memanggil” untuk aksi damai di Yogya juga sempat menjadi trending topic nasional. Esok hari Selasa 24 September demontrasi di Jakarta yang dikoordinir oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI) di Jakarta yang berlangsung damai hingga sore, mulai ricuh sejak magrib sampai tengah malam seiring dengan tagar “Anak STM” yang menjadi trending topic di twitter. Aksi di Kendari pada 25 September 2 korban tewas diterjang peluru yang sampai saat ini masih diselediki.
ADVERTISEMENT
Di media sosial, meme-meme lucu yang dibawa massa aksi demonstrasi, dirayakan. Kebanyakan berupa kemarahan dan sindiran pada kinerja DPR (anti KKN) dan penolakan terhadap pengekangan hak sipil (soal privat yang diintervensi negara).
Dari poros yang lain, ada tema lain yang memenuhi timeline dengan tema konspirasi elit yang menunggangi gerakan mahasiswa : dicari martir untuk menggagalkan pelantikan presiden. Ini adalah tema sama seperti yang disodorkan oleh pemerintah, baik oleh Menteri-menteri kabinet, Panglima TNI, maupun polisi.
Aksi di berbagai daerah itu sebenarnya membawa detil tuntutan yang berbeda-beda. Di Yogyakarta misalnya, BEM KM Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menyatakan sikap penolakan secara kelembagaan (dan tidak melarang mahasiswa UNY) untuk ikut Aliansi Rakyat Bergerak dalam aksi Gejayan 1 yang membawa 7 tuntutan karena selain mau fokus pada aksi 24 September di Jakarta bersama aliansi BEM-SI, juga keberatan dengan tuntutan aksi agar DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
ADVERTISEMENT
“Bem km uny menyikapi revisi/penundaan RUU PK-S. Sedangkan point tuntutan pada point ke 6 dari 7 tuntutan aksi hari ini di Gejayan adalah mendesak pengesahan RUU PK-S,” kata poin kedua dari empat poin pernyataan sikap BEM KM UNY yang dimuat di Instagram dengan akun bem.uny.
Aksi Gejayan Memanggil 2 masih membawa 7 tuntutan yang sama yakni,
1. Menghentikan segala bentuk represi dan kriminalisasi terhadap gerakan rakyat.
2. Menarik seluruh komponen militer serta mengusut tuntas pelanggaran HAM dan membuka demokrasi seluas-luasnya di Papua.
3. Mendesak presiden menerbitkan Perppu terkait UU KPK.
4. Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
5. Menuntaskan pelanggaran HAM dan HAM berat serta mengadili penjahat-penjahatnya.
6. Menolak RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, dan RUU Minerba.
ADVERTISEMENT
7. Mendesak presiden untuk menerbitkan Perppu terkait UU
Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.
Dan ditambah 2 tuntutan baru, yakni,
8. Merevisi pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam RKUHP serta meninjau ulang pasal-pasal tersebut dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil.
9. Mendesak pemerintah pusat untuk segera menanggulangi bencana dan menyelamatkan korban, menangkap dan mengadili pengusaha serta korporasi pembakar hutan, dan mencabut HGU serta menghentikan pemberian izin baru bagi perusahaan besar perkebunan.
KPK vs DPR
Salah satu peserta aksi Gejayan Memanggil 2 membawa poster bertuliskan, ‘Fahri Hamzah Good Sleep.’ Padahal, kita semua tahu, soal KPK, Fahri adalah salah satu anggota DPR yang sejak awal paling tidak pernah tidur. Dia adalah anggota DPR yang paling vokal dengan keberadaan KPK bahkan mendorong pembubaran KPK.
ADVERTISEMENT
Pembatalan Revisi UU KPK sebenarnya tak hanya didukung oleh DPR dan pemerintah. Beberapa politisi dan akademisi yang relatif mendapat kepercayaan publik, terang mengatakan dukungannya.
Mahfud MD, seperti dimuat oleh beberapa media massa, sepakat dengan beberapa poin penting revisi yang menjadi gelombang penolakan publik, seperti pembentukan dewan pengawas KPK, kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3, dan pengangkatan pegawai KPK sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM yang juga rektor Universitas Nadhlatul Ulama (NU) Yogyakarta, Purwo Santoso menulis di Media Indonesia pada 12 September 2019 mengenai pentingnya transformasi tata kuasa anti korupsi. Memperjelas poin penting argumennya, saya mewanwacarai Purwo di kediamannya di Perum Candi Indah Sleman pada Sabtu 14 September 2019.
ADVERTISEMENT
“Kita gelisah dengan kegigdayaan KPK karena itu berarti logika darurat masih dirawat sampai sekarang. Negeri ini tidak bisa ditata dengan cara biasa, lalu kemudian solusi darurat, KPK. Padahal lembaga yang super power, extraordinary, itu hanya masuk akal ketika situasinya darurat, “ katanya.
Purwo menerangkan bahwa Korupsi Kolusi Nepotisme memang masih menjadi pekerjaan rumah negara ini. Tetapi tidak hanya KKN yang menjadi PR besar tapi keseluruhan system cara bernegara. Yang berbahaya bagi dipertahankannya UU KPK lama, publik terus menerus membesarkan fantasi super hero. Padahal di dalam nalar sistem, tidak boleh ada seorang hero sendirian yang hebat sebab faktanya manusia selalu berada dalam kondisi setengah setan setengah malaikat, bisa salah dan bisa benar, tidak mungkin benar setiap kali.
ADVERTISEMENT
Dalam fantasi heroistik warga negara, menurut Purwo, KPK ialah ruang nyaman untuk tidak mengasosiasikan diri kita di fenomena korupsi. Bahwa karena kita adalah orang baik-baik, maka korupsi adalah urusan mereka yang terjerat kasus, termasuk yang terjebak operasi tangkap tangan. Dan dalam situasi ketiadaan sistem ini, yang muncul kemudian adalah personifikasi suci atas pribadi-pribadi di dalam sebuah lembaga. Lembaga satu berisi malaikat semua dan lembaga lainnya full penuh berisi setan. Tidak ada nalar perbaikan system bersama yang menjadi desakan publik karena yang utama adalah panggung bagi malaikat, sebagai utusan Tuhan, dalam menghukum setan.
“Kalau mau memperbaiki itu, lalu mulai darimana? Dari menerima bahwa kita semua itu munafik termasuk saya. Atau cengeng sajalah. Mintanya normatif yang baik tapi kejahatan kita, kita ingkari. Kejahatan kita adalah menolak bahwa kita semua, seluruh lembaga dan orang, bertanggung jawab terhadap pembenahan negeri ini, bukan hanya KPK, tapi semua,” tandas Purwo.
ADVERTISEMENT
Sayangnya DPR yang mengesahkan revisi UU KPK adalah salah satu lembaga yang paling tidak dipercaya publik telah mengemban tanggung jawabnya untuk memperbaiki dirinya. Berbagai survei terus menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup. Forum Masyarakat Peduli Parleman Indonesia (Formappi) menilai kinerja DPR periode 2014-2019 buruk dan justru melahirkan UU yang melayani kepentingan elit.
Namun menurut Purwo, justru di perbaikan partai politik dan kewarganegaraan lah kunci dari pembenahan system bernegara. Semua harus dikelola secara modern di mana hak privat dan hak publik tegas dibedakan. Dan Purwo percaya pada perubahan gradual yang terukur dalam system yang jelas bagaimana mengevaluasinya.
Namun berbeda pendapat adalah esensi dari pilihan demokrasi. Maka, protes publik terkait UU KPK menurut Purwo adalah hak publik dan dia pun termasuk salah satu guru besar UGM yang menandatangani desakan pada presiden untuk mengevaluasi kinerja Pansel KPK. Dalam setiap protes akademisi UGM terkait KPK, Purwo Santoso mengaku selalu terlibat.
ADVERTISEMENT
“Saya bagian dari orang yang ingin menguatkan KPK sekaligus membenahi system. Untuk saat ini bagaimana, bola di tangan presiden, dia punya kewenangan dan kekuasaan untuk menyaring aspirasi publik, masing-masing musti melakukan kewajibannya, dan harus selalu dalam koridor hukum,” paparnya.
Di Gejayan Memanggil 1 ataupun 2, tidak ada sama sekali ujaran, poster, ataupun orasi dari berbagai pimpinan elemen orasi yang mengajak untuk melanggar hukum : seperti upaya menggagalkan pelantikan Jokowi sebagai presiden.
Sebaliknya, seperti tertuang dalam poster pemuda Tegal Krapyak Sewon Bantul, masih ada harapan besar pada Presiden Jokowi untuk menganulir revisi UU KPK.
Eskalasi Gerakan
Massa dari UIN Yogya bergerak menuju titik kumpul pertigaan Colombo Jalan Gejayan. Foto oleh : ES Putra.
Orasi dari perwakilan Universitas Widya Mataram, di mobil pick up yang diset sebagai panggung di Gejayan Memanggil 2, mengatakan, bahwa revisi UU KPK adalah usaha DPR untuk melindungi kepentingan elit borjuasi seperti halnya revisi UU Ketenagakerjaan yang menindas kelas pekerja, dan revisi UU Pertanahan yang merampas tanah rakyat.
ADVERTISEMENT
“Ini semua adalah paket regulasi yang tidak berpihak pada rakyat. Ini semua agenda neolib,” katanya.
Orasi dari Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD,” Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY), Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Universitas Mercubuana, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, UAD, dan semua anggota Aliansi Rakyat Bergerak lainnya secara umum berisi kesembilan tuntutan aksi. Tapi tidak ada yang spesifik menunjuk Jokowi sebagai penanggungjawab dari seluruh persoalan yang ada. Mayoritas orator menyebut “negara’ sebagai biang keladi yang sesekali ditimpali oleh massa aksi dengan ledekan-ledekan pada DPR seperti ujaran, “DPR Goblog!”
Berikut salah satu video saat orasi perwakilan dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) yang menegaskan bahwa aksi hari ini adalah akumulasi kemarahan pada negara yang belum baik-baik saja, reformasi 1998 meninggalkan banyak cacat.
ADVERTISEMENT
Para orator juga terus mengingatkan pada massa aksi agar eskalasi gerakan bisa terus terjaga sampai tercapainya cita-cita perjuangan yakni, apa yang mereka sebut sebagai oligarki pengusung neo liberalism, tumbang.
Tapi, aksi Gejayan 2 sebenarnya diikuti oleh lebih sedikit peserta aksi daripada Gejayan 1. Tentang hal ini, salah satu peserta aksi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengatakan, “iya lebih sedikit ini. Teman-teman berat di kuliah,” katanya. Saat aksi Gejayan 1, UMY menjadi salah satu kampus yang membawa massa aksi berjumlah banyak.
Sulit untuk memastikan bagaimana eskalasi masa aksi di Yogyakarta ke depan. Sepertinya belum ada isu bersama yang membuat sebagian besar mahasiswa keluar kampus dan pemuda seperti Eko dan Syahrul keluar dari kampungnya, kecuali soal RUU KPK di September ini. Pada 30 September 2019 kemarin, perbedaan sikap tentang RUU PKS juga telah memunculkan komite aksi berbeda di Yogya atas nama Forum BEM Daerah (FBD) DIY yang diikuti oleh BEM UII, BEM Universitas Respati, BEM Universitas Cokroaminoto, dan lain-lain di depan Gedung DRPD DIY Malioboro.
ADVERTISEMENT
Yang bisa dipastikan dari aksi Gejayan 1 dan 2, tak ada sama sekali tanda-tanda huru-hara seperti yang terjadi di Jakarta, Kendari, dan Makasar. Dan di sini, Jokowi tak disebut sama sekali.
Begitu banyak elemen gerakan dan massa yang terlibat dalam demonstrasi yang dimotori mahasiswa sepanjang September 2019 ini. Di tiap kota, corak dan agenda aksi bisa berbeda-beda. Membayangkan semua aksi sebagai ditunggangi oleh kepentingan elit barangkali lahir dari kecenderungan realitas bias relevansi yang disorongkan timeline media sosial (atau karena kelewat banyak main sama elit ?). Mungkin mereka butuh ikut aksi sesekali. Tapi malam selalu menyembunyikan bayang-bayang. Aksi di Jakarta malam hari yang terus berujung bentrok, bukan aksi yang cocok untuk iseng. Dan bernegara memang bukan permainan orang iseng. (ES Putra, wartawan)
ADVERTISEMENT