Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Tak Ada Sekolah Dalang, Dalang Cilik Belajar dari Youtube Ki Seno Nugroho
14 Juni 2021 19:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
ADVERTISEMENT
Tiga puluh dua dalang cilik tampil meramaikan Festival Dalang CIlik (FDC) yang digelar oleh Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sejak Selasa (8/6) kemarin. Di antara semua yang tampil, Moissani Abyan Ardita Putra adalah peserta paling kecil. Dia baru berumur 7 tahun, dan masih duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar.
ADVERTISEMENT
Meski paling muda di antara yang lain, Moissani tampil trengginas membawakan lakon Aji Narantaka. Tangan mungilnya dengan lincah memainkan wayang-wayang yang sebenarnya ukurannya terlalu besar untuk dia. Suaranya menggelegar, terutama ketika menampilkan pertempuran antara Gatotkaca dan Dursala.
Untuk ukuran dalang seusianya, jam terbang Moissani bisa dibilang mengagumkan. Dia pernah menjadi juara 2 ketika mewakili TK-nya dalam lomba mendalang di tingkat Kabupaten Bantul. Terakhir, Moissani menjadi salah seorang penampil dalam salah satu gelaran musik paling bergengsi di Jogja, Ngayogjazz 2019, tepat sebelum pandemi COVID-19 melanda dunia.
“Dari kecil sudah dikenalin wayang sama simbah,” kata Moissani setelah pentas, Rabu (9/6).
Sebenarnya di keluarga besarnya tak ada yang berprofesi sebagai dalang. Namun sudah sejak lama, kakek dan nenek Moissani adalah seorang perajin wayang kulit di rumah mereka. Sehingga kecil, dia sudah akrab dengan wayang kulit.
ADVERTISEMENT
“Jadi sejak 2 tahun sudah bisa main wayang sedikit-sedikit,” kata nenek Moissani, Sumaryani, 54 tahun.
Witing tresna jalaran saka kulina, seperti itulah kira-kira yang dialami oleh Moissani. Dia jatuh cinta dengan wayang karena memang sejak kecil setiap hari sudah bertemu dengan wayang. Karena di rumah sudah banyak wayang, Moissani tak pernah bingung untuk latihan, semua fasilitas telah tersedia.
Apalagi sekarang di YouTube semakin banyak video-video pementasan wayang dari berbagai dalang sehingga memudahkan dia untuk mencari referensi berlatih. Dari YouTube juga Moissani mengenal almarhum Ki Seno Nugroho dan almarhum Ki Sutono Hadi Sugito, yang keduanya kemudian menjadi dalang yang paling dia kagumi dan menginspirasinya untuk menjadi dalang kondang masa depan.
“Akhir-akhir ini ikut aktif di sanggar, gurunya yang di sanggar dari ISI, namanya mas Rendy (Ratnanto Adhi Putra Wicaksono),” lanjut Sumaryani.
ADVERTISEMENT
Rumah dan Darah Seni
Bukan hanya Moissani yang mengagumi sosok Ki Seno Nugroho, Raden Nurwaskita Cahyo Darmawan, peserta lain yang masih berusia 10 tahun juga mengagumi sosok dalang kondang yang berpulang akhir tahun lalu. Ketika usianya baru 2,5 tahun, neneknya mengenalkan gambar-gambar wayang yang ada di rumah mereka. Sehingga, sebelum bisa membaca, Cahyo sudah bisa membedakan mana Werkudara, Bima, Arjuna, dan tokoh-tokoh wayang lain dari bentuknya.
“Kalau mulai serius belajar itu baru dua tahunan,” kata Cahyo.
Di keluarga Cahyo juga belum ada yang menjadi dalang sebelumnya. Meski begitu, keluarganya sebenarnya sudah sangat dekat dengan dunia seni. Ibunya adalah seorang penari tradisional, sedangkan sang ayah aktif di seni musik. Sejak kecil, Cahyo juga sudah sering diajak untuk menonton pertunjukan-pertunjukan seni seperti wayang orang.
ADVERTISEMENT
“Mungkin karena memang ada darah seni dari bapak dan ibunya, tapi kalau darah dalang tidak ada,” kata ayah Cahyo, Surtihadi, 50 tahun.
Saat ini, belum ada sekolah formal di tingkat SD maupun SMP yang menyediakan jurusan pedalangan. Di tingkat SMK, juga hanya ada satu, yakni di SMKI Yogyakarta, sedangkan di tingkat perguruan tinggi hanya ada di ISI Yogyakarta. Kendati demikian, hal itu tidak jadi masalah bagi Hadi, karena di Jogja sangat banyak sanggar-sanggar yang menyediakan latihan mendalang untuk anak-anak.
Selama ini, Cahyo telah belajar pada banyak dalang senior di Jogja. Beberapa dalang senior yang menjadi gurunya adalah Ki Alib Biyono, KRT Sunaryadi Maharsiworo, serta Aneng Krismantoro. Cahyo juga kerap berlatih bersama dalang-dalang muda seperti Rendy dan Ebenheser Wahyu.
ADVERTISEMENT
“Sekolah formal memang enggak ada, tapi sanggar-sanggar itu banyak sekali, dilatih langsung oleh maestro,” lanjutnya.
Selain guru-guru di sanggar, kini Cahyo juga semakin banyak berlatih mendalang dari YouTube. Terlebih selama pandemi yang membuat sanggar-sanggar tempat dia latihan sempat tutup.
“Jadi gurunya YouTube juga,” kata Surtihadi terkekeh.
Titik Terang Dunia Pedalangan
Festival Dalang Cilik tahun ini adalah festival ke-10 yang telah digelar oleh UNY berturut-turut setiap tahun kecuali 2020 kemarin. Ketua panitia Festival Dalang Cilik UNY, Sukisno, mengatakan setiap tahun jumlah peserta selalu mengalami peningkatan. Bahkan, pada gelaran beberapa tahun terakhir, jumlah kuota yang disediakan selalu penuh ketika hari pertama pendaftaran.
“Bahkan banyak yang mengantre kalau ada yang mengundurkan diri,” kata Sukisno.
ADVERTISEMENT
Tak hanya kuantitas, soal kualitas, peserta yang mengikuti festival juga semakin meningkat. Perkembangan teknologi digital, terutama YouTube yang kini banyak menampilkan wayang kulit dari berbagai dalang, telah memberikan kontribusi penting bagi perkembangan ini. Sebab, kini dalang-dalang cilik itu lebih banyak memiliki referensi untuk berlatih dan menentukan karakternya.
Banyaknya sanggar-sanggar latihan juga membuat dunia pedalangan tak perlu khawatir, meski pendidikan formal yang menyediakan jurusan pedalangan sangat terbatas. Di samping itu, banyak juga dalang yang mewariskan keterampilannya kepada anak-anak mereka.
“Sehingga tidak ada kekhawatiran lagi kalau wayang kulit ini akan punah,” ujarnya.
Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) DIY, Ki Edy Suwondo, juga mengatakan bahwa perkembangan regenerasi dalang saat ini memang sangat menggembirakan. Meski terus digempur globalisasi, namun dalang-dalang cilik terus lahir dengan kualitas yang semakin baik.
ADVERTISEMENT
“Kaderisasi dalang anak DIY menggembirakan. Mereka belajar di sanggar-sanggar atau privat personal kepada dalang secara intens, ditambah referensi dari YouTube,” kata Edy Suwondo ketika dihubungi, Kamis (10/6).
Regenerasi ini juga didukung dengan adanya lomba rutin tahunan yang diadakan oleh Pepadi dan Pemprov DIY, serta lembaga-lembaga lain. Dukungan dari Pemerintah DIY melalui dana keistimewaan juga memberikan dampak yang signifikan. Sehingga kegiatan-kegiatan lain untuk mendukung perkembangan wayang kulit selain lomba juga dapat dilaksanakan seperti workshop, pelatihan, atau sarasehan di sanggar-sanggar pedalangan.
“Dengan dukungan itu, anak-anak yang belum bisa diakomodir oleh sekolah formal bisa tetap berlatih dan menjadi penerus di dunia pedalangan,” ujarnya.
Baca Juga: