Tak Bisa Asal, Ini Resep Rahasia Gabungkan Makanan dari Budaya yang Berbeda

Konten Media Partner
14 Juni 2022 16:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Inovasi kuliner Nusantara. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Inovasi kuliner Nusantara. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Kuliner menjadi salah satu media yang paling aman untuk melakukan akulturasi atau menggabungkan budaya yang berbeda. Dua atau lebih budaya yang berbeda dapat disatukan melalui kuliner tanpa banyak menimbulkan perlawanan.
ADVERTISEMENT
Hal itu disampaikan oleh pakar kuliner dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwi Larasatie Nur Fibri. Proses akulturasi budaya menggunakan budaya hampir selalu dapat dilakukan dengan penuh harmoni.
Selama ini, budaya dari berbagai belahan dunia dengan budaya yang berbeda-beda nyaris selalu dapat dipadukan melalui kuliner. “Karena memang sedikit sekali yang melahirkan perlawanan,” kata Dwi Larasatie saat dihubungi, Selasa (14/6).
Dalam disertasinya tentang modernisasi kuliner Nusantara, Dwi Larasatie menemukan lima faktor yang mempengaruhi berhasil dan tidaknya penggabungan dua jenis makanan dengan latar belakang budaya yang berbeda.
Pertama, jika bahan yang digunakan kurang dikenal, maka agar dapat diterima oleh masyarakat luas makanan itu harus dikenalkan dalam bentuk hidangan yang sudah dikenal.
Misalnya zucchini yang merupakan jenis terong-terongan. Di negara asalnya, Italia, sayuran ini biasa diolah menjadi ratatouille. Karena masyarakat Indonesia tidak mengenal jenis sayuran ini, untuk mengenalkannya mesti diolah menjadi hidangan yang sudah banyak dikenal.
ADVERTISEMENT
“Misalnya dibalado atau dilodeh zucchini-nya. Itu akan lebih mudah mengenalkannya,” ujarnya.
Sebaliknya, jika bahan makanan itu sudah dikenal, namun ingin diolah menjadi hidangan yang kurang dikenal, maka perlu waktu cukup lama untuk dapat diterima masyarakat. Misalnya tempe yang sudah sangat dekat dengan masyarakat Indonesia. Ketika tempe diolah menjadi hidangan kompleks yang belum dikenal sama sekali, seperti masakan-masakan western, maka butuh waktu lama untuk diterima oleh masyarakat.
“Jadi meskipun bahannya sudah dikenal tapi presentasinya tidak familiar, itu butuh waktu,” lanjutnya.
Ragam jenis tumpeng Indonesia. Foto: Arfiansyah Panji/kumparan
Faktor ketiga yang sangat mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap jenis makanan baru adalah informasi, terutama untuk bahan asing yang dihidangkan dalam bentuk sederhana dan bahan yang sudah dikenal tapi dihidangkan dalam bentuk yang tidak familiar.
ADVERTISEMENT
Tanpa informasi yang cukup, orang akan merasa asing dan tidak percaya dengan hidangan tersebut sehingga akan timbul rasa takut untuk mencicipi. Informasi yang cukup tentang bahan dan metode pengolahan akan memunculkan koneksi antara konsumen dan makanan yang dibuat, sehingga akan meningkatkan penerimaan masyarakat.
“Keempat, tentang pemilihan produk baik bahan maupun cara penyajiannya itu perlu dilakukan dengan cermat,” ujarnya.
Yang terakhir, penggabungan dua jenis makanan juga perlu mempelajari latar belakang psikografis konsumennya. Misalnya masyarakat Jogja cenderung lebih suka masakan yang manis-manis, masyarakat di Jawa Timur lebih suka makanan yang asin-asin, atau masyarakat di Pulau Sumatra yang cenderung menyukai makanan yang serba pedas. Latar belakang psikografis tersebut menurut Dwi Larasatie penting untuk diketahui dan dipelajari.
ADVERTISEMENT
“Supaya ketika kita melakukan sebuah inovasi misalnya dengan menggabungkan dua jenis makanan, kita bisa mengarahkan ke profil sensoris yang sudah bisa diterima masyarakat setempat,” kata dia.
Namun khusus untuk kuliner tradisional yang memiliki pakem tertentu seperti tumpeng, maka perlu dilakukan konfirmasi ke pemangku adat atau masyarakat yang selama ini melestarikannya. Apakah setelah dikembangkan jenis makanan tersebut masih bisa diberi nama yang sama atau tidak.
"Misal tumpeng, pakemnya adalah nasi yang dibentuk kerucut tanpa undak-undakan," kata Dwi Larasatie.