Tak Dilibatkan Susun RUU, 7 Organisasi Kesehatan di DIY Tolak Omnibus Law

Konten Media Partner
18 November 2022 19:30 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
7 organisasi kesehatan di DIY sepakat menolak RUU Kesehatan yang jadi bagian Omnibus Law. Foto: Widi RH Pradana
zoom-in-whitePerbesar
7 organisasi kesehatan di DIY sepakat menolak RUU Kesehatan yang jadi bagian Omnibus Law. Foto: Widi RH Pradana
ADVERTISEMENT
Sebanyak tujuh organisasi kesehatan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tegas menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang menjadi bagian dari Omnibus Law. Tujuh organisasi itu di antaranya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Persatuan Terapis Gigi dan Mulut Indonesia (PTGMI), Ikatan Psikolog Klinis (IPK), Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), serta Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI).
ADVERTISEMENT
Ketua IDI Wilayah DIY, Joko Murdianto, mengatakan bahwa salah satu alasan mereka menolak RUU Kesehatan karena mereka tak pernah dilibatkan dalam penyusunan naskah akademik RUU tersebut. Karena tak dilibatkan dalam penyusunan naskah akademik, mereka khawatir hal itu akan mempengaruhi kualitas layanan mereka kepada masyarakat.
“Ada 454 pasal RUU itu siapa yang buat (kami) tidak tahu. Karena isi rencana RUU Kesehatan Omnibus Law kita tidak tahu, kami tidak bisa menjamin pelayanan untuk masyarakat,” kata Joko Murdianto di Yogyakarta, Jumat (18/11).
Saat ini, pengurus IDI pusat menurutnya terus mengkaji dan melobi supaya naskah RUU Kesehatan yang saat ini beredar tidak jadi disahkan.
“Karena taruhannya masyarakat yang terdampak,” ujarnya.
Ilustrasi aksi penolakan terhadap Omnibus Law. Foto: ANTARA
Dia juga mengatakan bahwa selama ini implementasi dari UU Praktik Kedokteran sudah berjalan dengan baik, sehingga tak ada urgensi untuk menggantinya dengan RUU Kesehatan Omnibus Law.
ADVERTISEMENT
Salah satu poin yang disoroti oleh IDI dalam RUU Kesehatan tersebut adalah tidak adanya kewajiban memperbarui sertifikasi dokter setiap lima tahun sekali. Artinya, izin tersebut akan berlaku selamanya. Pemberian izin tanpa batas waktu menurut Joko dapat membahayakan masyarakat sebagai konsumen.
“Kalau seumur hidup kita tidak bisa memantau lagi. Ketika seseorang berhenti bekerja, lalu tiba-tiba membuka praktik maka akan berbahaya bagi
Ketua DPW PPNI DIY, Tri Wibowo, mengatakan bahwa organisasi profesi seharusnya dilibatkan dalam proses pembentukan perundang-undangan. Tujuannya, supaya UU yang dihasilkan bisa sesuai dan relevan dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan.
Berlakunya sertifikasi profesi seumur hidup menurut dia adalah salah satu kengawuran di dalam RUU Kesehatan di Omnibus Law. Hal terjadi karena penyusunannya tidak melibatkan organisasi profesi yang memahami situasi di lapangan.
ADVERTISEMENT
“Kalau sertifikasi profesi tidak dikedepankan, maka akan sangat berbahaya bagi masyarakat. Bagaimana cek dan riceknya di lapangan?” kata Tri Wibowo.
“Kemudian organisasi profesi juga terancam, kalau orang tak kompeten (tapi membuka) praktik bisa merusak nama organisasi selain merugikan masyarakat,” tegasnya.